Pertemuan yang membuat jatuh hati perempuan bernama Maharani Adhitama yang belum pernah mendapatkan restu dari sang ayah dengan pacar-pacar terdahulunya.
Baskara, pria yang awalnya dilirik oleh Maharani sebagai model untuk koleksi terbaru Hera -fashion brand milik Maharani- dekat sebagai lunch mate, kemudian rasa suka itu tumbuh di hati Maharani.
Namun, semuanya tidak bisa berjalan mulus seperti pertemanan mereka. Baskara masih "tersangkut" dalam masa lalunya.
Bagaimana dengan akhir kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Laila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
*Hari itu, Baskara mengunjungi kediaman Adhitama saat Maharani sedang melanjutkan studinya. Berbincang dengan kedua orang tua sang kekasih dengan niatan meminta izin untuk meminang anak perempuan mereka*.
*Setelah Andi mendengar maksud Baskara dan memberikannya izin, Andi melihat wajah kaget dengan senyuman mengembang di wajah pemuda yang duduk di hadapannya*.
“Bapak serius?”
Andi tertawa dan berkata, “kamu mau narik ucapan kamu barusan? Atau gak ngira kami akan memberikan restu?”
“Bukan, bukan, saya lebih ke kaget. Maaf saya memberikan kesan yang gak serius. Hanya saja, saya sudah mikirin banyak scenario dari kemarin,” kata Baskara dengan senyum dan wajah gugupnya, “saya hanya gak nyangka Bapak dan Tante akan merestui saya untuk meminang Ara.”
“*Bas, sejak awal kamu datang dan meminta izin pada kami untuk memacari Ara, sejak saat itu kami merestui kalian. Diiringi doa kalau memang kalian benar-benar berjodoh, kami berharap kalian adalah jodoh yang baik untuk satu sama lain. Menjadi pasangan yang saling menguatkan, saling percaya, dan saling membahagiakan,” ucap Ratna*.
“Bapak sama Tante gak takut saya akan membawanya dalam kesusahan?”
Andi berkata, “Rumah tangga kalian akan menjadi cerita kalian kepada anak cucu kalian nantinya. Bagaimana kalian membangun ‘istana’ kalian akan menjadi cerita tersendiri,” katanya tak lepas menatap wajah Baskara, “Selain itu,” tambahnya, “saya dan istri saya juga sudah melihat bagaimana kamu selalu berusaha memberikan yang terbaik dari diri kamu untuk anak kami.”
*Senyum penuh lega terpancar di wajah Baskara. Memiliki pengalaman mengenai kemampuan dan hal berbau materi yang selalu ditekankan oleh orang tua mantan kekasihnya, ternyata berdampak pada dirinya. Rasa percaya pada dirinya seakan sedang merangkak di atas tanah pada saat itu*.
“*Yang perlu kamu siapkan hanyalah diri kamu yang siap menjadi kepala keluarga dan imam bagi anak kami, Bas,” tambah Ratna*.
“Baik, Tante. Saya gak bisa berjanji gak bikin Ara nangis, tapi kalau Ara menangis, saya pastikan bukan karena saya dan hubungan kami. Saya akan selalu berusaha memberikan bahagia untuk Ara.”
“Kalau dulu, kenapa Ayah gak pernah kasih restu aku sama mantan aku?” tanya Maharani membuat pria paruh baya itu terbangun dari pikirannya.
“Apa ya. Yang pertama kali, kayaknya Ayahmu ini cemburu, anak remajanya sudah kenal cowok,” ujarnya sambil terkekeh, “tapi lambat laun, Ayah tau, kalau hubungan kalian tidak sesehat yang terlihat. Ayah hanya tak ingin kamu akan merelakan dan melepas mimpi kamu untuk pria yang bahkan saat itu gak tau tujuannya. Ayah mungkin terlalu keras karena kalian saat itu baru SMA, tapi Ayah hanya tak ingin hal buruk yang ayah pikirkan itu sampe kejadian.”
Maharani mengangguk, mengerti maksud ayahnya, “kalo waktu aku sama Caka atau Aldo kenapa ayah dulu gak kasih restu?” tanya Maharani membuat Ayahnya berfikir. Mengingat kejadian yang membuat dia tak memberikan restu.
“Kalau untuk Aldo, Ayah kebetulan kenal anak itu. Pernah bertemu beberapa kali sebelum kamu pacaran sama dia dan ngenalin dia ke ayah ibu. Ayah melihat bagaimana arogannya anak itu. Terutama kepada mereka yang status sosialnya ada dibawah dia. Ayah bahkan sampe kaget kalian pacaran waktu itu.”
“Aku inget dulu Ayah selalu tegas buat pulang sebelum jam 11 tiap kali aku jalan sama Aldo. Belum lagi Ayah akan selalu nunggu di depan rumah.”
“I can’t help,” kekehnya, “dia gak pernah anter anak Ayah sampe depan pintu kalau kalian habis jalan. Apalagi kalau sampe pulang malam.”
“Kalo Caka, Yah?” Maharani sungguh ingin tahu alasan sang Ayah. Dulu, dia tak berani bertanya kenapa pada sang ayah. Pacaran tanpa restu Ayah seperti ada rasa sesak tersendiri.
“Mungkin dia merasa offensive dengan pertanyaan Ayah dulu.”
“Ayah nanya apa emangnya?”
“Ayah nanya biasa, berapa bersaudara, tinggal dimana, orang tuanya kerja apa. Biasa aja. Sekedar mencari obrolan dan mencairkan suasana. Ayah ingat gimana dulu dia keliatan kaku. Mungkin, egonya sedikit tersentil? Merasa dirinya dikucilkan di tempat yang baru pertama kali dia datangi?”
“Terus kenapa gak kasih restu? Karena dia gak percaya diri?”
“Bukan. Tapi karena dia merasa rendah diri. Ayah gak pernah membeda-bedakan status sosial. Kita ada di sini bukan secara tiba-tiba. Semua orang akan punya masanya. Tapi, dia menunjukkan kalau ini bukan tempatnya, dan terlihat tersinggung dengan hal yang biasa menurut kita. Kamu akan susah menyuapi ego lelaki seperti itu.”
“Ayah hebat ya. Bisa liat itu semua.”
“Gak jarang, orang memang menunjukkan hal-hal seperti itu, Ra. Seperti memang terpanggil dari bawah alam sadarnya. Tapi ingatkan, Ayah gak langsung gak kasih restu dari pertemuan pertama? Ayah juga banyak cari tahu soal mantan-mantan kamu dulu.”
“Tapi Ayah gak pernah sampe ngelarang aku. Aku sampe bingung sendiri. Ayah tau gak? Dulu aku selalu ngerasa bersalah dan gak enak. Ayah gak ngasih aku restu, tapi juga gak lantas nyuruh aku putus.”
“Tapi pada akhirnya kamu putus sama pacarmu,” ledek Andi membuat Maharani tertawa.
“Gegara didoain Ayah sih kayaknya,” guyon Maharani dengan suara tawanya yang ringan dan manis.
Andi tertawa dan kemudian berkata, “Ayah cuma gak mau Ayah semakin melukai kamu. Ayah biarkan kamu sendiri yang merasakan up and down hubungan kamu. Jadi, kamu bisa berfikir sendiri dimana yang salah, dimana yang gak baik, pria mana yang cocok dengan kamu, kamu ingin diperlakukan seperti apa oleh pasangan kamu, bagaimana hubungan pria-wanita yang seharusnya, dan sebagainya. Ayah juga gak gini ke kamu aja, ke Mira dan Marcel pun sama.”
Maharani mengangguk mengetahui hal itu. Sudah menjadi perbincangan ketiga bersaudara tiap kali mereka berpacaran. Membahas kenapa Ayah mereka tak memberikan restu sudah menjadi obrolan wajar diantara mereka.
Maharani berdiri dan duduk di arm rest kursi yang di duduki Ayahnya. Memeluk leher Ayahnya dan berkata, “Ayah, makasih ya, Yah, buat semua perlindungan dan kasih sayangnya Ayah ke aku selama ini. Maafin aku dulu sering sambatin Ayah gegara Ayah gak kasih aku restu dan selalu lebih galak kalo mantan-mantan aku dulu dateng.”
Andi menepuk-nepuk lengan anaknya lembut dan tertawa.
“Maafin Ayah juga yang banyak atur-atur kamu.”
“Noooo. Aku tahu yang Ayah lakuin adalah hal yang terbaik buat aku, Kak Mira dan Marcel.”
“Kamu dan Baskara nanti harus bangun kebahagian kalian. Rumah tangga gak akan selalu senang, tapi banyak cobaan, batu krikil, atau mungkin batu kali yang besar, bahkan bisa jadi ada gunung yang akan menghambat kalian. Jadi, apapun itu, kalian harus mempertahankan rasa percaya, rasa sayang, rasa hormat, dan bahagia dalam semua kondisi rumah tangga yang akan kalian jalani nanti,” ucap sang Ayah memberikan wejangan yang sedikit banyak membuat pandangan Maharani buram karena air matanya.
“Iiiihh, apa nih,” suara Marcel dari dalam rumah membuat Maharani melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah adiknya yang datang. Tak lama Mira dan Ibu juga ada di sana. Ulah si bungsu yang memanggil seisi rumah ke balkon.
“Bu, Kak Ara sayang-sayangan sama Ayah sendiri,” kata Marcel merajuk, “peluk-pelukan sama Ayah. Aku juga mau ikut,” katanya memeluk Maharani yang berdiri membelakangi railing balkon. Membuat gadis itu terkekeh melihat tingkah adiknya itu.
“Lo tuh, ganggu momen gue sama Ayah aja,” protesnya sambil tersenyum.
“Biarin. Lo nanti gak ada lagi di rumah. Gue juga mau sayang-sayangan sama kakak gue,” ucapnya memeluk erat kakaknya.
“Marcel jadi anak tunggal deh,” ledek Mira.
“Kalian sering-sering ya nanti main ke rumah,” kata Marcel bergantian memeluk Miranda.
“Males. Lo nya sering keluyuran juga,” kata Miranda penuh canda membuat adik kecilnya itu mencebik, “ini kalo Alisya liat gimana ini. Pasti malu banget punya pacar manja gini,” ledeknya.
“Gak lah. Alisya mah bucin banget sama gue,” ucapnya menghadirkan gelak tawa, “janji ih,” ucapnya lagi menatap kedua kakaknya.
“Iya, Marcel. Ini kakak juga lagi main ke rumah, kan?” kata Miranda.
“Ini kan juga rumah kakak-kakak kamu, Cel,” kata Ibu menenangkan bungsunya, “kamu tenang aja. Gak usah khawatir kakak-kakak kamu gak ada di rumah.”
“Nanti lo juga bisa main ke rumah gue, Cel,” kata Maharani.
“Udah selesai belom, Ra, renovasinya?”
“Belum, Bu. Seminggu lagi sih harusnya udah beres. Terus cek-cek finishing kata Kak Baskara. Baru abis itu pindahan kalo semuanya udah oke.”
“Bilangin Baskara, jangan di forsir kerjanya,” ucap Ibu.
“Iya, Bu. Besok dia baru libur, tadi juga abis liatin kerjaan rumah.”
“Nah, kan, anak itu.”
“Sudah, biarkan, Bu. Dia juga pasti tau batas maksimal badannya,” kata Andi.
“Cuma sampe besok kok, Bu. Aku udah pesenin layanan refleksi di rumah buat Kak Baskara.”
“Bagus-bagus. Biar dia rilex dikit mau nikah, masa sibuk wara-wiri,” kata Ibu lagi.
...♥
...