_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia di Balik Pintu
Kirana berjalan dengan langkah kecil namun tergesa, tumit sepatunya berketuk cepat di lantai marmer putih mengilap. Ia menoleh ke belakang sekali, dua kali, memastikan Demian tidak mengikutinya. Dari wajahnya jelas tergambar rasa waspada, seolah apa yang sedang ia lakukan bukan sesuatu yang seharusnya diketahui orang lain.
Ketika yakin koridor luas itu sepi, ia menyelipkan ponsel ke telinga, menutupinya sebentar dengan telapak tangan agar suaranya tak bocor ke sekitar. Begitu terasa aman, barulah ia bicara.
“Ya, sayang…” suaranya dibuat selembut mungkin, ia tahu kalau sebetulnya ia dalam masalah.
Namun suara di seberang langsung membentaknya, tak kasar... karena masih dalam balutan rasa cinta dan kekhawatiran.
“Kirana! Apa yang kamu pikirin sih?!" Kirana terkesiap ketika mendapati nada suara setinggi itu dari kekasihnya, yang bisa dibilang lebih cocok untuk di sebut papanya.
"Satpam di rumah dari pagi tadi melapor kalau kamu pergi pagi-pagi sekali, kelihatan buru-buru dan gak mau di dampingi!" sentaknya.
"Nomor kamu juga sama sekali gak bisa aku hubungi. Terus tiba-tiba kamu kembali dengan seorang pemuda ganteng—dengan rambut emas menyala?" lanjutnya, dengan nada sama yang tak ia turunkan sama sekali.
"Pemuda ganteng berambut keemasan??? Aku tahu betul siapa anak itu! Cuma dia anak rambut keemasan yang pernah ku liat. Bocah jalanan yang di rumah gubuk Alsid itu kan?!"
Kirana terdiam sejenak, bibirnya terkatup rapat. Ia sadar kalau nada suara papa Alsid mengandung bara. Lelaki itu memang terkenal keras dan tidak pernah suka kalau rencananya sedikit saja melenceng.
Hanya saja, Kirana merasa harusnya ia adalah pengecualian. Tak ada yang bisa marah dan membentak, kecuali dirinya. Meskipun ia sadar betul kalau ia memang telah membuat papa Alsid khawatir.
“Tenang dulu,” ucap Kirana, mencoba menenangkan. “Aku bisa jelasin sayang.”
“Apa yang mau kamu jelasin? Anak itu miskin, aku yakin dia hanya numpang hidup di rumah kontrakan kumuh yang di tinggali Alsid."
"Anak jalanan kayak gitu bukan level yang pas untuk di ajak bicara, dia kotor dan menjijikkan meskipun udah mandi. Dia miskin dan melarat. Aku gak suka kamu berhubungan dengan dia! Dan jangan sekali-kali kamu coba berhubungan dengan dia lagi!!" bentak papa Alsid lagi.
Kirana menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak sebelum menjawab. “Aku tahu, dia bukan siapa-siapa. Aku tau dia miskin dan kotor. Tapi justru karena dia bukan siapa-siapa, kita bisa memakainya.”
Di ujung telepon, hening sejenak.
“Memakainya?” suara papa Alsid terdengar lebih rendah, curiga namun sekaligus tertarik.
“Ya. Dengarin aku. Selama ini aku udah mengulur banyak kebaikan pada Demian—aku belikan pakaian, hadiah, aku perlakukan dia seperti adik sendiri. Aku ajak ngobrol tanpa ada batasan, seolah kami emang teman, dan aku ini benar-benar orang yang baik. Kamu tahu sendiri sayang, anak seperti dia itu nggak pernah mendapat perlakuan begitu."
"Terusir, dihina, di caci, di rendahkan oleh orang-orang seperti kita itu adalah makanan bagi dia. Dia marah, tapi tentu tak akan berbuat apa-apa... karena dia tau dia siapa. Dia bukan apa-apa. Dengan memperlakukannya dengan baik, dia bakalan ngerasa berhutang budi, dan tentu aja dia gak punya cara lain untuk membalas, kecuali dengan ikut membalasnya dengan budi. Nanti, saat aku butuh sesuatu darinya, dia tidak akan tega menolak.” Kirana mengangkat kedua alisnya dengan bibir yang terkatup rapat menahan senyum.
"Mainan yang bagus kan?"
Papa Alsid mendengus, seakan masih belum puas. “Dan menurutmu apa gunanya dia untuk kita? Bisa memancing investor luar negeri??"
“Dia temen dekat Alsid,” jawab Kirana cepat. “Kalau kita ingin membuat Alsid kembali pulang ke rumah, gak ada jalan yang lebih baik daripada melalui Demian. Percayalah, dengan polosnya anak itu, kita bisa menyusun cara. Dia akan jadi jembatan, bukan musuh.”
Hening lagi. Lalu terdengar suara berat papa Alsid yang kini lebih tenang. “Kamu ini licik juga rupanya… baiklah, lakukan sesukamu. Tapi ingat, jangan sampai dia tahu lebih dari yang perlu. Kalau sampai bocor, semuanya bisa kacau.”
Kirana tersenyum samar. “Tenang aja. Aku tahu batasnya.”
Ia menutup telepon dengan gerakan pelan, menatap layar sejenak sebelum memasukannya ke tas. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, penuh misteri.
Sementara itu, di sisi lain rumah megah itu, Demian berjalan cepat di belakang seorang bibi ART berusia paruh baya. Suara langkah mereka berdua menggema di koridor lantai atas yang panjang.
Bibi itu sesekali menoleh, menatap Demian dengan rasa ingin tahu. “Jadi… kamu ini teman sekosan Tuan Muda Alsid, ya?”
Demian mengangguk. “Iya, Bi. Kami satu kosan. Dia baik-baik saja sekarang, sehat dan agak gila.”
Mata bibi itu langsung membesar, lalu wajahnya berubah sendu. “Syukurlah… Astaga, selama ini bibi terus khawatir. Majikan kecil kami itu keras kepala, tidak mau pulang, tidak mau menjawab telepon. Mamanya… oh, mamanya selalu murung memikirkannya, badannya juga jadi makin kurus karena gak nafsu makan.”
"Mungkin bibi mikir, kalau ada tuan muda, pasti seenggaknya bisa nyuapin nyonya. Karena mereka dekat, bibi nangis setiap hari mikirin tuan muda, kenapa tuan sama sekali gak kembali ke rumah ini, padahal kondisi nyonya semakin hari semakin parah." mata bibi berkaca-kaca, membuat Demian tersentak tiap kali bibi menoleh ke arahnya.
Demian terdiam, matanya menunduk. Ia bisa merasakan betapa tulusnya kepedulian si bibi ART ini. Perlahan ia membuka suara. “Kalau begitu… bolehkah saya… ngomong atau berkomunikasi sama beliau?”
Langkah bibi itu langsung terhenti. Ia menoleh cepat, menatap Demian penuh keterkejutan. "Ngobrol??? sama… Nyonya?”
“Iya.” Demian menatapnya serius. “Tolong, antarkan saya ke sana. Saya ingin melihat keadaan beliau dan ngobrol sesuatu.”
Bibi itu ragu, menggigit bibir bawahnya, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Kalau bibi setuju aja, tapi gak tau dari pihak nyonya, mau atau enggak ngobrol sama orang luar. Karena kondisi nyonya itu, gak banyak orang luar yang boleh masuk dan jengukin.”
"Iya gak apa-apa kalau Mama Alsid gak mau ngomong, saya gak bakalan maksa kalau beliau menolak." sahut Demian.
Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri koridor yang semakin sepi. Satu demi satu pintu kamar besar mereka lewati, tapi bibi tidak berhenti di sana. Hingga akhirnya, mereka sampai di ujung paling jauh dari koridor, hampir menempel pada dinding luar rumah.
Pintu kayu besar berwarna cokelat gelap berdiri di hadapan mereka. Aura berbeda langsung menusuk indra Demian. Ia merasakan hawa dingin merayap ke kulit, membuat bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu yang berat, pekat, dan menyesakkan dari balik pintu itu.
Seolah ada ribuan bisikan—penuh kesedihan, dendam, kecewa—semuanya bertumpuk jadi satu.
Demian menelan ludah, jantungnya berdetak kencang.
“Di sinilah kamar Nyonya,” ucap bibi pelan, suaranya seperti tercekat.
Ia mengetuk pintu perlahan. “Nyonya… ini saya, Sumarni. Bolehkah saya masuk?”
Beberapa detik tak ada jawaban, hingga akhirnya terdengar suara pelan dari dalam, parau namun lembut. “Masuklah…”
"Tapi, ada yang mau ketemu. Orang asing yang mungkin nyonya gak kenal. Tapi, dia teman kosannya tuan muda." tukas Bibi lagi.
Hening. Tak ada jawaban. Kemudian suara parau itu kembali terdengar. "Iya."
Bibi menoleh pada Demian sejenak, lalu membuka pintu dengan hati-hati.
Pintu kayu berat itu berderit perlahan. Cahaya dari dalam menyemburat keluar, redup, bukan cahaya lampu terang, melainkan sinar kekuningan dari lampu meja.
Demian menahan napas, lalu melangkah masuk.
Begitu pintu terbuka sepenuhnya, matanya langsung terbelalak.
Apa yang ia lihat di dalam kamar itu membuat seluruh tubuhnya kaku di tempat.
Bersambung…
lanjut thor kerenn/Smile/
ada kun sm agam ga ini