"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Mantu Rahasia
"Apa sih yang kamu percayai dari dia?" Ayu melotot ke arah adiknya dan ngomel, "Kamu nggak bisa asal bilang dia hebat. Aku udah nikah sama dia setahun, masa aku nggak tahu suamiku bisa apa aja?"
"Kak, kamu tuh bener-bener belum ngerti siapa Rama sebenarnya," balas adiknya, Juli. "Aku yakin, kemampuan dia tuh jauh di atas yang kamu pikirkan."
Ayu mendengus, "Wah, kamu kayaknya ngerti banget, ya."
"Aku emang baru kenal Rama beberapa hari, tapi aku ngerasa dia tuh cowok luar biasa. Pintar, punya prinsip, suka bercanda, tapi serius kalau perlu. Aku tuh nggak ngerti kenapa kamu nggak pernah kelihatan cinta sama dia. Nggak cinta nggak apa-apa sih, tapi masa percaya aja nggak?"
Juli ngomong tanpa ragu, terus terang banget.
"Kamu dengerin ya, Jul. Masalah aku sama suamiku tuh bukan urusanmu. Jadi jangan ikut-ikutan komentar," kata Ayu dengan suara yang agak tinggi.
"Bukan aku yang mau ikut campur, Kak. Aku cuma udah nggak tahan aja lihat kamu terus-terusan kayak gini. Sekarang aku nggak mau bahas soal hubungan kalian. Aku cuma mau bilang, soal penyakit Kakek, aku setuju Rama yang bantu. Ayah juga setuju. Mau keluarga kamu setuju atau nggak, itu bisa dibicarain pelan-pelan," jawab Juli dengan wajah serius.
"Ayah kamu setuju? Kayaknya nggak mungkin deh beliau izinin Rama buat obatin Kakek," kata Ayu ragu.
"Kalau nggak setuju, kenapa Ayah izinin Rama tinggal dan makan di rumah Kakek? Kak, jujur deh, kamu itu belum bener-bener kenal suamimu sendiri. Karena kamu nggak cinta sama dia, kamu juga jadi ngeremehin dia. Cobalah ubah cara pandangmu tentang Rama. Dia itu manusia, bukan pembantu. Mungkin kata-kataku nyakitin, tapi aku harus ngomong. Mau kamu dengerin atau nggak, itu terserah kamu."
Ayu cuma bisa diam setelah mendengar itu.
Kelihatan banget wajahnya jadi murung.
Tapi makin dipikir, makin masuk akal juga omongan adiknya tadi.
Apa iya selama ini dia terlalu menyepelekan Rama?
Cuma, mikirin Rama punya kemampuan medis tuh bener-bener nggak masuk di akalnya.
Soalnya dia inget banget waktu Rama kena flu sama demam tinggi, panasnya sampai 39 derajat, dan Ayu yang panik bawa ke rumah sakit tengah malam. Kalau Rama emang jago soal pengobatan, masa sih dia nggak bisa ngobatin dirinya sendiri?
"Kak, gimana kalau kita panggil aja Paman sama Bibi? Kita ngobrol bareng, bahas ini baik-baik. Gimana menurutmu?"
“Ya udah, ayo kita lakuin aja,” kata Ayu sambil berbalik dan jalan pergi.
“Tunggu bentar,” Rama manggil pelan. “Sayang… soal Kakek, kita bisa obrolin lagi. Tapi apapun yang terjadi, aku cuma minta satu hal, percaya sama aku.”
“Nanti aja kita omongin,” sahut Ayu tanpa menoleh. Dia naruh dua kantong belanja di meja, “Ini baju, aku beliin buat kamu. Ganti, ya. Jangan terus pakai baju yang itu-itu mulu. Kotor.”
Setelah itu, Ayu langsung jalan pergi. Nada suaranya datar, tapi kelihatan dia agak kesal.
Rama cuma bisa maksa senyum, hatinya kerasa aneh. Dia tahu Ayu lagi nggak enak hati.
“Mas ipar, maafin aku ya… aku tadi ngomongnya kayak keterlaluan,” ucap Juli pelan, kelihatan agak cemas.
Rama nyentuh pelan dahi adik iparnya sambil senyum, “Kamu nggak salah ngomong kok. Ngapain aku marahin kamu?”
“Beneran nggak marah, Mas?”
“Iya. Tenang aja.”
“Hehe… Mas Ipar ternyata nggak keras kepala-keras kepala amat, ya. Kalau ujung-ujungnya nggak berhasil juga, ceraiin aja Kak Ayu terus nikah sama aku. Aku nggak keberatan kamu duda,” ucap Juli sambil ketawa kecil, nada bercanda tapi wajahnya merah.
“Ngaco banget kamu,” Rama langsung geleng-geleng kepala. “Eh, aku mau ngomong serius nih.”
Juli langsung duduk tegak, matanya berbinar penuh rasa penasaran. “Ngomong dong, Mas Ipar.”
“Aku lagi mikir, barusan kamu nyaranin ke Kakakmu buat ngumpulin dua keluarga buat ngobrol bareng, kan? Menurutku sih oke-oke aja. Tapi, aku mau kamu tunda dulu mereka, sementara aku mulai nanganin Kakek langsung. Jadi pas mereka udah ambil keputusan, bisa jadi Kakek udah bangun. Gimana menurutmu?" tanya Rama ke Juli.
"Serius kamu..."
Juli ngelus dagunya yang manis sambil mikir, matanya mantengin wajah Rama.
"Kamu setuju? Atau kamu sebenernya nggak pengin Kakek bangun?"
"Ya jelas pengin dong, tapi Mas kan minta tolong ke aku, jadi ya... harus ada timbal baliknya dong," kata Juli sambil senyum-senyum jahil.
"Trus, kamu mau minta apa?"
"Peluk aku dulu, abis itu traktir teh susu.." kata Juli, matanya berbinar, senyumnya manis banget.
"Deal."
Tanpa pikir panjang, Rama langsung narik Juli ke dalam pelukannya.
Juli sempat melongo, diam sebentar, matanya terang tapi ada ragu.
"Kamu... kamu masih mau minta cium juga?"
Rama nanya dengan suara pelan.
"Enggak! Kamu kan Suami kakakku! Aku nggak bisa..." Juli langsung panik.
"Haha, ya udah... yuk mulai kerja," Rama nyengir sambil ngelepas pelukannya.
“Kamu… tunggu aja! Aku bakal ngurus bagian aku. Aku cabut dulu ya!”
Kayak kelinci yang kaget, Juli buru-buru pergi dengan gerakan kikuk.
Rama nutup pintu, narik napas dalam-dalam, terus dengan jarum perak di tangan, dia jalan pelan ke ranjang tempat Kakek terbaring.
Apa pun keputusan keluarga Ningrum nanti, Rama tahu dia nggak bisa nunda lagi. Ini kesempatan yang paling pas, pas semuanya lagi sibuk diskusi, dia harus langsung mulai akupunktur ke orang tua itu.
Berhasil atau gagal, semua tergantung sekarang!
Beberapa detik kemudian, Rama udah siap total dan mulai gerak.
"Tiga Belas Jarum... tolong jangan bikin aku kecewa kali ini."
Rama ngomong sendiri pelan.
Tiga Belas Jarum adalah teknik peninggalan dari Medis tradisional. Katanya sih bisa bangkitin orang mati dan nyembuhin tulang yang hancur. Rama nggak berharap muluk-muluk, cukup kakek itu bisa bangun dari komanya aja.
Di ruang tamu, Juli langsung melangkah cepat. Di sana, dia lihat Ayu lagi duduk ngobrol bareng ayahnya Juli, Pak Sodik.
Begitu ngelihat Juli masuk, Pak Sodik langsung ngomong, “Juli, coba panggil kakak iparmu ke sini. Bilang sama dia, kita udah kabarin Paman dan yang lain. Kita semua bakal bahas soal Rama, apakah dia boleh nangani Kakek atau nggak. Ini penting, dia juga harus denger.”
“Kenapa nggak nunggu semuanya kumpul dulu baru dibahas? Paman sama Bibi aja belum datang. Ujung-ujungnya aku cuma disuruh mondar-mandir doang,” gerutu Juli sambil manyun.
“Dasar anak cewek bandel, ngomel mulu. Ya udah, biar Bapak aja yang panggil dia. Kamu sini, temenin kakakmu.”
Pak Sodik berdiri dari duduknya.
“Jangan dong, Pak! Bentar dulu!” Juli langsung narik lengan ayahnya. Misinya jelas ngulur waktu biar Rama bisa beresin akupunktur ke Kakek. Kalau sampai ayahnya nyelonong ke kamar sekarang, semuanya bisa gagal total.
“Ada apa sih kamu ini?”
Pak Sodik mulai curiga.
“Ayah, aku mau ngomong sesuatu yang penting. Bener-bener penting,” ucap Juli dengan nada serius.
“Nanti aja ngomong yang penting-penting.”
“Enggak bisa nanti, harus sekarang… soalnya aku udah punya pacar!”
Juli teriak kecil, tapi cukup keras buat bikin suasana berubah.
“Hah?” Pak Sodik langsung berdiri kaget. Matanya melotot.
“Bener, Ayah nggak salah denger. Aku udah punya pacar. Dan aku mau ajak dia ke sini buat kenalan.”
“Lah terus kenapa? Kamu kan udah gede. Punya pacar juga bukan masalah. Sana gih, main ke luar aja, jangan ganggu Ayah.”
Pak Sodik yang sempat bengong, sekarang udah nyantai lagi. Dia malah ngibasin tangan dan mau lanjut jalan keluar.
Melihat itu, Juli buru-buru narik lagi lengan ayahnya. “Tapi gimana kalau pacarku itu orang yang Ayah paling nggak suka? Gimana? Ayah masih izinin?”
Pak Sodik langsung berhenti. Keningnya mengernyit. “Maksudmu gimana? Emang dia tipe yang kayak apa?”
Juli narik napas panjang, lalu jawab dengan polos tapi sengaja lebay, “Miskin… jelek… terus nggak punya semangat hidup.”
“Juli! Kamu ini ngomong apa sih? Kamu tuh nggak mungkin suka cowok kayak gitu. Jangan becanda yang aneh-aneh, deh!” bentak Pak Sodik.
Wajahnya langsung kelihatan curiga. “Kamu sama Rama ngapain? Jangan bilang kalian lagi bikin skenario?”
Ketajaman intuisi seorang ayah mulai muncul. Pak Sodik mulai mencium gelagat nggak beres.