Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 32 Rumah Ini Tak Akan Runtuh
Rumah Cahaya Aira tak pernah benar-benar sepi. Meski malam telah menggulung waktu, detik-detik di dalam rumah itu tetap hidup. Suara langkah anak-anak, obrolan pelan ibu-ibu yang belum bisa tidur, atau hanya isakan lirih di balik selimut semuanya menyatu menjadi nyanyian luka dan harapan.
Tapi malam itu berbeda.
Aira duduk di ruang tamu, memandangi layar ponsel dengan napas yang belum stabil. Pesan anonim terus berdatangan semua berisi ancaman, ejekan, bahkan foto-foto yang seperti diambil diam-diam dari depan rumah. Ancaman itu bukan hanya padanya, tapi mulai menyentuh satu per satu penghuni rumah ini.
"Kau pikir bisa menyelamatkan mereka semua? Tunggu saja. Rumah itu akan hancur bersamamu."
Kalimat itu jelas di benaknya. Ia tahu ini bukan gertakan. Beberapa hari terakhir, mobil asing beberapa kali terparkir tak jauh dari pagar. Anak-anak pernah berlari ketakutan karena ada pria mencurigakan yang mencoba mengintip dari jendela luar. Dan kini, sebuah botol berisi cairan menyengat dilempar ke halaman belakang nyaris memicu kebakaran kecil di dekat dapur.
“Ini sudah terlalu jauh, Ra,”
ujar Rani, mendekatinya sambil membawa segelas teh hangat.
“Aku tahu kau kuat. Tapi mereka tidak main-main.”
Aira menerima teh itu tanpa bicara sekatapun. Matanya memandang ke sekeliling ke sofa tempat Nisa dan kedua anaknya tertidur, ke dapur yang masih menyala redup karena seseorang belum selesai mencuci piring disana, ke dinding penuh coretan motivasi dari para penghuni yang dulu pernah diselamatkan.
Rumah ini bukan hanya tempat berlindung. Ini rumah yang dibangun dari luka. Fondasinya adalah keberanian.
“Kita perlu pasang CCTV tambahan. Alarm pintu. Dan semua penghuni harus ikut briefing keamanan besok pagi,”
ucap Aira akhirnya.
“Dan mulai malam ini, aku tidak tidur. Aku akan berjaga.”
Rani menatapnya dengan bingung dan khawatir. “Kamu tidak bisa sendirian menjaga semua ini, Ra.”
Aira tersenyum lelah.
“Aku nggak sendiri. Kita semua pernah hancur. Tapi kita bangun bareng. Rumah ini nggak akan runtuh cuma karena ancaman.”
Pagi itu, saat matahari muncul dari balik jendela, Aira berdiri di hadapan para penghuni Rumah Cahaya Aira. Mata mereka menyiratkan rasa lelah, takut, tapi juga tekad.
“Rumah ini bukan rumahku,”
kata Aira perlahan.
“Rumah ini milik kita semua. Dan kalau mereka pikir bisa merobohkan kita, kita tunjukkan bahwa rumah ini berdiri bukan karena bata dan semen. Tapi karena hati yang bertahan. Karena luka yang tidak lagi diam.”
Mereka saling menatap. Beberapa menangis. Nisa menggenggam tangan Aira erat, dan Nadin berdiri di samping ibunya sambil menatap Aira seperti sedang melihat pahlawan.
Dan saat itu juga, alarm gerbang berbunyi.
Alarm yang berbunyi pagi itu bukan karena bahaya. Tapi karena datangnya surat resmi dari pengadilan. Sidang pembacaan vonis untuk Gibran dipercepat.
Aira menatap surat itu lama sekali. Tangannya bergetar, tapi bukan karena takut. Ini momen yang sudah terlalu lama ditunggu. Momen yang dulu terasa mustahil membawa laki-laki itu ke pengadilan, apalagi membuatnya duduk di kursi terdakwa.
Kini, bukan Aira yang takut. Tapi Gibran.
Ruang sidang terasa lebih panas dari biasanya, meski AC menyala kencang. Barisan kursi diisi oleh para jurnalis, pendamping hukum, serta beberapa saksi. mereka duduk di bangku penonton, bersatu dalam diam yang penuh kekuatan.
Gibran berdiri sebagai terdakwa. Tak lagi dengan kemeja mahal atau senyum manipulatifnya. Bajunya kusut. Wajahnya tampak lebih tua, lebih keras, dan... untuk pertama kalinya: kosong.
Hakim membuka berkas dan mulai membacakan hasil akhir.
"Setelah melalui rangkaian persidangan, bukti-bukti yang telah dikumpulkan dan disahkan... serta mendengar keterangan para saksi dan ahli, maka Pengadilan memutuskan..."
Aira menutup rapat tangan di pangkuannya. Rani yang duduk di sampingnya menggenggam tangan Aira tanpa berkata apa-apa.
Gibran tetap tenang selama proses sidang, namun matanya sering melirik tajam ke arah Aira. Tatapan itu masih sama. Dingin. Merendahkan.
Namun kali ini, Aira tidak berpaling.
Dia memandang balik.
Dan dalam tatapan itu, Aira tidak lagi melihat Gibran sebagai monster. Ia hanya melihat seseorang lelaki yang kehilangan kendali atas kekuasaan yang dulu ia nikmati.
Aira tak bisa menahan air matanya. Tapi kali ini, air mata itu bukan luka, melainkan bentuk kelegaan .
Gibran mengajukan pembelaan pribadi.
“Yang Mulia, saya memang punya masalah rumah tangga. Tapi istri saya terlalu emosional, terlalu membesar-besarkan. Semua ini didramatisasi. Dia suka membuat cerita.”
Namun ketika hakim bertanya, “Apakah Saudara pernah memukul atau menyakiti fisik istri Saudara?”, Gibran terdiam. Ia tak menjawab
langsung.
"Tidak dengan maksud menyakiti " ujarnya akhirnya.
Dan itu cukup.
Karena kali ini, negara mengakui luka yang selama ini tak pernah diberi tempat.
"...terdakwa Gibran dinyatakan bersalah atas tindak kekerasan fisik dan psikis, penganiayaan, pengurungan paksa, serta pelanggaran hukum perlindungan perempuan dan anak.”
"Dijatuhi hukuman pidana percobaan dan kewajiban mengikuti rehabilitasi psikologis dan pelarangan mendekati korban atau lingkungan korban selama masa tahanan dan tiga tahun setelahnya."
ketukan palu hakim terdengar seperti suara pintu yang akhirnya tertutup untuk selamanya.
Aira tak bisa menahan air matanya. Bukan karena sedih, tapi karena perasaan lega yang datang bersamaan dengan beban besar yang lepas dari dadanya.
Banyak yang bilang hukuman itu tidak cukup. Tapi bagi Aira, itu sudah lebih dari cukup.
Gibran menunduk. Tak ada pembelaan. Tak ada pembenaran. Yang tersisa hanya kekosongan yang selama ini ia sembunyikan di balik topeng kekuasaan.
Di luar ruang sidang, puluhan mata kamera mengarah ke Aira. Tapi ia tak bicara. Ia hanya menggenggam tangan Rani, lalu berjalan lurus meninggalkan gedung pengadilan, kembali ke tempat yang benar-benar penting: Rumah Cahaya Aira.
Dan saat ia menatap dinding penuh coretan harapan para penyintas di rumah itu, ia tahu satu hal pasti.
Rumah ini tak akan runtuh, Tak lagi.