Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Jam 2 malam. Maxim kembali berhasil membawa Ellena. Rumah yang membuat Ellena ketakutan melihatnya, mengingat yang pernah terjadi sebulan yang lalu.
Namun, mereka tidak langsung masuk rumah. Helikopter turun di halaman belakang yang luas dan dekat dengan hutan di belakangnya.
"Selamat datang kembali nyonya Willson," sahut Maxim sembari mengulurkan tangannya ke samping, hingga seseorang meletakkan senapan di tangannya.
Bola mata Ellena melebar. Bukan hanya terkejut dengan senapan itu, namun pandangannya juga berhasil melihat sesuatu.
Ellena menatap pria yang memberikan senapan pada Maxim, yang tengah menatapnya tanpa ekspresi. "Dia, dia orang Felix?" batinnya.
Maxim berjalan mendekati Ellena, membuat perhatian Ellena kembali padanya. "Ayo kita bermain," sahutnya sembari menyeringai.
"Apa? Apa lagi yang kamu ingin lakukan?" sahut Ellena mencengkram kuat gaun tidur bermotif bunga dengan panjang di atas lutut.
Maxim tersenyum. "Aku adalah pemburu dan kau adalah mangsa. Jika kau berhasil melarikan diri, hingga matahari terbit, maka aku akan melepaskanmu selama satu hari."
Kening Ellena berkerut, tangannya mengepal. Ia takut, namun mulutnya tetap berani protes. "Apa? Kau gila hah!" sentaknya.
Maxim menyeringai, tidak menanggapi, ia mengangkat senapan sejajar dengan wajahnya, membuat Ellena panik.
"Kau!" Ellena panik, melangkah mundur.
"Mulai!" seru Maxim tanpa ragu menekan pedal hingga senapan tersebut mengeluarkan pelurunya.
"Akh!" pekik Ellena.
Ia yang panik, segera berbalik dan berlari menuju hutan. Maxim tertawa puas, membiarkan Ellena berlari memasuki hutan.
"Kalian tetap berjaga di sini. Terus berjaga, karena bisa saja Felix datang menjemputnya!" perintah Maxim dengan tegas.
"Baik Tuan!" sahut seluruh anak buahnya yang menyaksikan.
Maxim mengulum senyum, dengan langkah penuh semangat, ia berjalan memasuki hutan, menyusul Ellena.
"Ini akan sangat menyenangkan," batinnya kembali menembakkan senapannya ke sembarang arah, untuk menakut-nakuti Ellena.
"Ellena!" teriak Maxim kemudian kembali menembak tiga kali berurutan.
Ellena menoleh, ia melihat percikan itu. "Dasar gila! Dia sangat menyeramkan," gumam Ellena, kembali berlari menjauh.
"Sampai pagi, yang penting aku bertahan sampai pagi bukan? Aku pasti bisa! Aku harus bisa!" sahutnya sembari melihat sekitar, mencari tempat yang sekiranya bisa dipakai untuk berlindung.
**
Sementara itu Felix. Pria yang membuat Ellena masuk dalam dunia penuh penderitaan. Sedang memandang santai rumahnya yang telah menjadi puing-puing tidak berguna, sembari menikmati kopi panas.
Kehilangan rumah, bagaikan hal kecil baginya.
Bahkan beberapa nyawa yang ikut hancur bersama rumah itu, bagaikan tidak ada harganya.
"Tuan, ini beberapa data, barang-barang penting yang ada di rumah ini. Tapi, tenang saja, semuanya memiliki salinan di rumah utama."
"Hm, kau yakin sudah mengecek semuanya?" tanya Felix tanpa rasa beban sama sekali.
"Ya Tuan. Sekali lagi, semuanya memiliki salinan."
Felix mengangguk. "Bagus tapi teruslah mencari. Barang-barang penting itu. Kalau hancur tidak masalah, tapi kalau diambil Maxim, itu jadi masalah!" perintahnya.
"Baik, Tuan!"
Felix berdehem, memperhatikan orang-orangnya yang menggali puing-puing bangunan tersebut. Sisa kertas yang habis terbakar pun menjadi penting untuk memastikan, bagiannya hancur, daripada diambil.
Felix kembali meneguk kopi hitam itu dengan penuh nikmat. Di saat bersamaan, panggilan telepon masuk di ponselnya.
Panggilan yang sudah ditunggunya. Ia segera mengangkat panggilan itu. "Ya bagaimana?"
"Maxim Harington menjadi pemburu, dan Ellena menjadi mangsa. Pemburuan dilakukan di dalam hutan, hingga matahari terbit nanti."
Felix tersenyum mendengar kabar itu. "Menarik."
"Dan satu informasi lagi tuan."
"Apa itu?" tanya Felix tidak sabar menunggu informasi tersebut.
"Hanya Maxim sendiri yang menjadi pemburu."
Senyum Felix semakin berkembang. Wajahnya ikut berseri, mendengar informasi itu layaknya hal yang sangat diinginkan.
"Bagus."
Felix menatap lurus ke depan sembari tersenyum santai. "Jika Maxim langsung membunuh Ellena, maka ini akan selesai. Dia akan semakin menderita."
"Aku yang membunuh istrinya, dan dia akan membunuh anak yang dikira adalah anakku," batinnya kemudian tertawa kecil merasa puas dengan membayangkan bagaimana kekalahan Maxim.
"Anak! Hm, pengobatan mu ternyata berhasil, disaat istrimu baru mati, dan malah tumbuh di rahim wanita lain," lanjutnya terkekeh tanpa rasa bersalah.
"Maxim Harington, kau memang diciptakan untuk terus kalah," sahutnya diikuti dengan senyum sombongnya.
Felix menautkan jemarinya, dengan sorot mata yang lurus ke depan dan penuh percaya diri. "Aku jadi tidak sabar, dengan pertemuan kita selanjutnya, Maxim Harington!"
**
Waktu terus bergerak. Di saat orang-orang tertidur dengan nyenyak. Ellena justru harus mencari tempat untuk bertahan hidup.
Seluruh tubuhnya berkeringat di malam yang dingin itu. Ia lelah, tubuhnya sakit, perutnya terasa nyeri, membuatnya meremas sembari meringis.
"Sakit, kenapa perutku sakit sekali?" Keluhnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke pohon, dan hendak duduk. Namun, baru saja bergerak turun, suara ledakan senapan secara berurutan kembali terdengar, membuatnya langsung menahan nafas.
Tenggorokannya terasa kering, membuat Ellena meneguk ludahnya sendiri. Ia melirik sekitar, hingga menemukan posisi Maxim.
"Ellena!" teriak Maxim yang menggema.
Ellena memejamkan mata. Tangannya mencengkram kuat gaun yang mulai kotor dan basah itu.
"Ellena di mana kamu!" teriak Maxim.
"Sebaiknya kamu muncul, serahkan diri, lalu aku akan membunuhmu dan anak itu, baru menyerahkan ke Felix!" teriak Maxim.
Bola mata Ellena seketika melebar mendengar kata anak. Tangannya bergerak, menyentuh perutnya. Mengingat kembali beberapa hari kemarin sebelum ia pingsan.
"Anak? Anak?" kata itu terus terulang dalam benaknya.
Ia mulai berpikir, merangkum dan mencerna apa yang terjadi. Namun, belum sempat ia menemukan satu kalimat yang bisa dicerna baik. Maxim berteriak.
"Ketemu!" teriak Maxim kembali menembak.
Ellena terkejut, segera berlari menghindar, diikuti suara tawa Maxim yang tampak puas.
"Lari, terus lari!" teriak Maxim kembali mengejar.
Ellena terus berlari menahan rasa sakit di perutnya. Suara aliran air membuatnya mengikuti sumber tersebut. Hingga akhirnya ia melihat sebuah air terjun.
Tanpa berpikir panjang. Ellena segera turun ke sana. Kakinya yang tanpa dibalut apapun menyentuh dinginnya air tersebut.
Sebuah batu besar menjadi tempatnya untuk berlindung.
Ellena duduk di balik batu tersebut, hingga air membasahi perutnya. Sedikit, rasa nyeri di perutnya mulai berkurang.
"Tahan Ellena. Berpikirlah dengan tenang," ucapnya menyemangati diri.
"Kalau aku hamil, bagaimana Maxim tau? Dan kenapa dia ingin membunuhnya? Hanya dia yang meniduriku, artinya ini anaknya kan?" batinnya, memejamkan mata, mulai mengingat kembali hal yang dilaluinya, dan merangkainya menjadi satu.
Beberapa menit ia kembali menduga. "Felix, rencananya adalah mengembalikan ku pada Maxim. Itu pasti, itu sebabnya dia pergi dengan Lovie tanpa membawaku," batinnya.
"Tapi, ... Emm ... apa ini benar anak Maxim? Bukannya Felix pernah bilang, Maxim tidak bisa memiliki anak?" batinnya kembali teringat dengan ucapan Felix sebelumnya.
Ellena mengigit bibir bawahnya, terus mencoba merangkai apa yang terjadi menjadi satu, namun justru membuatnya semakin bingung.
"Ellena!" teriakan Maxim terdengar semakin jelas, membuatnya semakin menundukkan tubuhnya, hingga air sungai mulai menyentuh dagunya.
aku pembaca setia mu😁
nah ini baru elena nya ngelawan, jgan diem aja sm maxim atau felix klo lgi di ancam...
update lgi thor....
bikin penasaran nih😁
knapa maxim gk peka sih klo elena hamil anaknya ?? jangan felix terus dong yg menang , kasiah maxim😑