Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jika aku suamimu, munculah
Sejak mereka tiba di depan reruntuhan yang dulunya diyakini sebagai desa Pagarjati, Nadia tak banyak bersuara. Ia hanya berdiri memeluk dirinya sendiri, tatapan kosong menyapu bangunan-bangunan mati yang tertutup rumput liar. Ia belum pernah melihat kakaknya sehilang ini. Bukan hilang secara fisik, tapi batinnya. Tatapan Danu kosong, suaranya berat, dan gerak tubuhnya seolah kehilangan arah.
Tapi ketika Danu mulai melangkah perlahan ke tengah reruntuhan, Nadia akhirnya bersuara.
"Mas…" katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi cukup terdengar oleh semua orang.
Danu berhenti, menoleh pelan ke arah adiknya.
"Mas harus kuat…" lanjut Nadia dengan suara bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang sudah menggantung di pelupuk. "Mas jangan kayak gini. Mas kelihatan… hancur banget."
Semua mata kini tertuju pada Nadia.
"Mungkin... memang tempat ini pernah ada, tapi sekarang sudah nggak lagi, Mas. Aku tahu, Mas pasti kecewa banget... Tapi ayo pulang, Mas. Kita pulang, ya?" ucap Nadia dengan nada memohon, lalu beralih kepada ayahnya. "Paa, ayo kita pulang aja. Kasihan Mas Danu…"
Tangis kecil mulai lolos dari mulut Nadia.
Namun Danu menolak.
"Enggak, Nad," ucapnya pelan namun tegas. "Mas belum mau pulang."
Ia menoleh ke arah reruntuhan, langkahnya kembali bergerak perlahan, matanya liar memindai sekitar. "Mas belum selesai. Mas masih mau cari Nyai Laras."
"Mas capek, Nad…" lanjutnya, suaranya mulai bergetar. "Capek harus mimpiin dia terus tiap malam. Mas mau… ketemu dia langsung. Mas ingin tahu kenapa semua ini terjadi. Mas harus nemuin dia."
Galang yang sejak tadi diam ikut melangkah mendekat. "Nu…" katanya pelan.
Danu menoleh. Galang melanjutkan, suaranya penuh empati dan ketegasan. "Gue tau lo terpukul. Tapi lo bukan satu-satunya, Nu. Kita semua juga kena efek dari semua ini. Lo kira cuma lo yang kejebak? Kita semua pernah ada di tempat ini atau dunia ini, atau entah apalah itu, dan kita semua gak ngerti gimana caranya kita bisa balik."
Bima ikut maju, mengangguk setuju. 'Bener, Nu. Pengalaman kemarin itu… udah kayak ngebawa kita ke dimensi lain. Bukan cuma naya yang kesasar, bukan cuma lo yang dibikin bingung. Kita semua bingung."
Tapi Danu menggeleng, keras. "Enggak, Lang. Enggak, Bim. Kalian salah."
Tatapannya kembali ke arah reruntuhan. "Nyai Laras masih di sini. Dia pasti di sini."
Dan seperti tersulut emosi, Danu mulai berjalan cepat ke arah rumah besar yang kini hanya tersisa tiang-tiang lapuk. Suaranya meninggi.
"Nyai Laras!" teriaknya. "Kau lihat, aku datang! Aku datang kembali!"
Ia berjalan ke sana kemari, langkahnya tak tentu arah, berteriak dengan suara yang semakin keras.
"NYAI LARAS! KELUAR!"
Semua orang terdiam, terpaku. Naya memeluk Nadia yang kini mulai terisak semakin keras. Mama Danu hanya bisa menatap putranya dengan wajah sendu, tak menyangka Danu akan menjadi seperti ini.
Danu menendang reruntuhan pintu, suara kayu rapuh itu pecah membelah kesunyian hutan.
"KAU BILANG SENDIRI AKU INI SUAMIMU, KAN?! MAKA MUNCULLAH!"
Tangannya gemetar, wajahnya merah. Nafasnya tak beraturan, matanya menatap liar ke segala arah.
"Aku bahkan datang dengan ayah ibuku! Buktikan kalau yang kau bilang itu benar! Nyai Laras, KELUAR!!!"
"Danu, sudah!!!"
Suara Papa Danu menggelegar, akhirnya memutus keheningan yang menyesakkan. Beliau menghampiri putranya yang kini tubuhnya nyaris tak bisa berdiri tegak karena terlalu larut dalam emosi.
"Sudah, Danu! Lihat dirimu! Ini bukan kamu!"
Tapi Danu menepis tangan papa nya. "Jangan tahan aku, Paa! Danu harus ketemu dia! Danu harus bicara dengan dia! Semua ini... nggak mungkin cuma khayalan!"
Galang ikut maju, mencoba menahan bahu Danu dari belakang. "Nu, tolong… sadar, Nu. Lo bukan orang gila! Kita semua di sini buat bantu lo, tapi bukan dengan cara kayak gini!"
Namun Danu malah meronta. Ia kembali melangkah cepat ke arah bangunan lain. Mulutnya terus memanggil nama Nyai Laras. Suaranya parau, putus asa.
"Nyaaaaiiii!!! TOLONG JAWAB AKU!"
Bima ikut menarik Danu dari sisi lain. "Bro, lo lihat sekeliling! Ini bukan tempat yang sama! Bahkan desa ini udah kayak nggak pernah ada!"
Mama Danu kini terduduk di tanah, menangis terisak. Nadia memeluknya erat, dan Naya hanya bisa berdiri terpaku. Perutnya terasa mual melihat Danu yang ia kenal sebagai sosok tenang dan rasional kini berubah seperti orang yang kehilangan arah.
"Mas…" lirih Nadia di tengah isak tangis. "Mas jangan kayak gini… Mas bikin kita takut…"
Danu akhirnya jatuh berlutut di tengah tanah berdebu, tepat di depan sisa-sisa batu rumah yang pernah ia tinggali bersama Nyai Laras. Kepalanya tertunduk, bahunya naik-turun menahan emosi yang sudah tak tertahan. Tangannya mencengkeram tanah, lalu menutup wajahnya.
"Kenapa semua ini terjadi padaku?" gumamnya parau. "Kenapa harus aku…?"
Papa Danu perlahan mendekat, berlutut di samping anaknya, dan tanpa berkata-kata langsung memeluk Danu erat. Danu sempat menolak, tapi tubuhnya lemas. Tangisnya pecah di pelukan sang ayah.
Galang menunduk. Bahkan Bima pun tampak memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan air mata yang tiba-tiba menggenang.
Setelah beberapa saat, dalam keheningan yang hanya diisi tangis tertahan, Papa Danu berkata pelan. "Kalau memang ada sesuatu di sini yang belum selesai… kita akan bantu, Nu. Tapi kamu nggak boleh kehilangan dirimu sendiri. Jangan biarkan rasa penasaran berubah jadi obsesi."
Danu tak menjawab. Ia hanya menggenggam kuat lengan ayahnya.
Mama Danu akhirnya bangkit dan menghampiri mereka, bersama Nadia dan Naya. Mereka membentuk lingkaran kecil, duduk di tanah desa mati itu. Tak ada yang berbicara. Tapi kebersamaan mereka seolah membentuk pelindung dari sepi dan kegilaan yang hampir menyeret Danu.
Langit mulai berubah warna. Awan menebal, udara semakin dingin. Angin tipis mulai bertiup, dan untuk pertama kalinya sejak mereka datang, suara alam kembali terdengar, daun-daun bergesekan, ranting jatuh, dan burung hutan yang jauh bersuara.
Mereka tidak tahu apakah itu pertanda baik… atau justru sebaliknya.
Dengan tangan masih gemetar dan kepala tertunduk dalam pelukan ayahnya, Danu seperti kehilangan daya bicara. Air matanya belum kering, tapi sudah tak ada isak yang terdengar. Ia hanya diam, menatap kosong pada tanah yang pernah ia yakini sebagai tempat tinggalnya, tempat Nyai Laras menantinya, tempat semua teka-teki ini bermula.
Papa Danu menatap istrinya, mengangguk pelan.
"Mama, bantu papa… Kita bawa Danu pulang."
Mama Danu mengangguk pelan, tangannya menyentuh punggung putranya dengan penuh kasih sayang. "Nak…" ucapnya lirih, lembut seperti bisikan angin. "Kamu sudah cukup berjuang. Mama tahu kamu kecewa, Mama ngerti kamu bingung… tapi kamu nggak sendirian."
Danu tidak bereaksi.
Mama Danu melanjutkan, "Ayo, Nak… kita pulang dulu. Istirahat, ya? Biar hati kamu tenang dulu. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita pikirkan lagi harus apa. Tapi sekarang… Mama mohon, ikut kami pulang."
Galang menatap Danu, begitu juga Bima dan Naya yang berdiri agak jauh. Semua diam, memberi waktu pada Danu untuk memutuskan.
Dan akhirnya, pelan… sangat pelan, Danu mengangguk kecil.
Papa Danu berdiri, lalu menggamit bahu anaknya dan membantunya berdiri perlahan. Kaki Danu nyaris goyah. Nafasnya berat. Tapi dia tidak melawan.
Langkah mereka terasa lambat, tapi pasti. Galang berjalan di sisi kiri Danu, Papa Danu berada di sisi kanan. Sedangkan Bima dan Naya berjalan dibelakang bersama Mama Danu dan Nadia. Naya memegangi lengan Nadia, memastikan gadis itu tetap kuat. Semua sunyi. Tidak ada yang berbicara. Bahkan suara alam pun kembali tenang, seperti turut menghormati luka yang sedang mereka bawa pulang.
Setibanya di jalan tempat mobil mereka diparkir, Papa Danu langsung membukakan pintu mobil miliknya. Ia tahu Danu harus bersamanya, bukan di kendaraan teman-temannya.
"Duduk di sini, Nak," ucap Papa Danu pelan, seperti menuntun anak kecil yang baru saja kehilangan mainan kesayangannya.
Danu masuk tanpa kata, duduk diam menatap lurus ke depan. Tangannya mengepal di atas lutut, wajahnya kosong.
Mama Danu dan Nadia duduk di sampingnya, meraih tangan putranya dan menggenggamnya erat.
Sementara itu, Galang, Bima, dan Naya berdiri di belakang mobil, menyaksikan pemandangan itu dalam diam. Galang menyandarkan tubuhnya ke pintu mobil lain, menatap ke langit yang mendung.
"Gue gak nyangka semua bakal kayak gini," gumamnya.
Bima hanya mengangguk, wajahnya penuh kecemasan.
Naya menunduk, lalu berkata pelan, "Gue takut... ini belum selesai"
Tak lama, mobil kembali melaju perlahan, menembus jalan setapak yang mulai menurun dari ketinggian hutan. Mobil Bima tetap memimpin di depan, sedangkan mobil papa Danu mengikuti di belakang dalam keheningan.
Di dalam mobil papa Danu, suasana begitu sunyi. Hanya terdengar suara mesin dan sesekali deru angin dari sela jendela. Danu duduk diam di kursi tengah, tubuhnya masih diselimuti jaket yang sedikit lusuh karena debu perjalanan. Mama Danu merangkul putranya dengan penuh kelembutan, sementara Nadia memeluk lengan Danu dari sisi lain, kepalanya bersandar di bahu sang kakak.
Papa Danu menyetir dengan wajah serius. Tatapannya lurus ke depan, tapi sesekali ia memandang ke kaca spion, mengawasi anak dan istrinya di kursi belakang. Ia tahu, ini bukan hanya perjalanan pulang biasa. Mereka sedang membawa pulang hati yang terluka parah.
Di mobil Bima, ketegangan belum juga mencair. Tiga anak muda di dalamnya duduk dalam diam. Bima fokus pada kemudi, Galang menatap jalan dengan dahi mengernyit, dan Naya memeluk dirinya sendiri, pikirannya jauh entah ke mana.
Hingga tiba-tiba, Naya memecah keheningan.
"Bim," katanya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat dua pasang mata langsung menoleh. "Gue rasa ada satu hal yang harus kita selesaikan juga di sini."
Galang mengangkat alis. "Nay? Lo ngomong apa? Kenapa jadi balik tegang gini situasinya?"
Naya tidak langsung menjawab. Pandangannya lurus menatap jalan yang mulai mengarah pada belokan menurun.
"Gue inget jalan ini," ucap Naya kemudian. "Setelah belokan itu, kita bakal nemu tanjakan pertama… dan setelah nya warung itu kan? Warung jejer tiga."
Bima menoleh sekilas. "Lo yakin inget jalan nya?"
"Gue gak cuma inget, Bim. Tapi sangat," ucap Naya dengan nada lebih tegas. "Waktu itu gue yang nyetir. Kita hanya muter-muter disana. Gue yakin setelah ini ada warung yang kemarin kita singgahi"
Bima yang tanpa ragu lagi langsung mengiyakan ucapan Naya. "Oke. Kita kesana. Tapi lo mau ngapain? Kita udah nemu desa nya kan?"
"Gue mau kita mampir ke warung itu. Gue mau tunjukin foto desa pagarjati ke ibu penjaga warung itu. Kita tanyakan ulang, detil. Gue gak mau hal ini cuma berhenti di bayangan. Kita harus pastikan... kalau yang kita lihat bukan delusi. Gue udah punya fotonya" Senyum Naya tiba-tiba terurai seolah penuh keyakinan.
Bima spontan menoleh sekilas kearah Naya, matanya menyipit bingung. "Foto? Maksud lo Nay?"
Galang lagi-lagi berusaha ikut mencari jawaban "Kalian ini lagi ngomongin apaan dah? Warung? Foto?"
Naya menghela napas panjang, lalu menoleh sebentar ke Galang, kemudian kearah Bima.
"Nanti kalian bakal ngerti sendiri. Sekarang ikuti aja kata gue, kita cari warung itu dan mampir sebentar. ada yang harus dibuktikan."
Galang memutar mata ke luar jendela, tapi jelas ia belum puas. "Nggak ada yang ngajak gue ngomong dari awal sih...," gumamnya pelan, namun tak lagi menolak.
Mobil terus melaju. Menuruni kelokan yang diingat oleh Naya. Benar saja, setelah sekitar sepuluh menit, mereka melewati jalan yang tidak asing di mata Naya dan Bima. Jalan aspal yang mulai retak, dikelilingi ladang kosong dan beberapa pepohonan liar. Dan tepat di ujung tanjakan itu, berdiri tiga bangunan semi permanen yang saling berdempetan, warung jejer tiga, seperti yang mereka ingat.
Tanpa aba-aba, Bima langsung menyalakan lampu sein dan memperlambat laju mobil. Mobil papa Danu yang berada di belakang pun ikut berhenti.
Bima memarkirkan mobil di sisi jalan, tepat di depan warung paling kiri. Ketiganya langsung turun.
Galang masih mengernyit bingung. "Lo mau nunjukin foto ke siapa? Emang masih ada yang jaga?"
Naya mengangguk mantap. "Iya. Dulu pas gue dan Bima tersesat, kita sempet nanya ke ibu-ibu penjaga warung sini. Kalau tidak salah nama beliau Simbok Enah. Mereka dulu bilang gak pernah denger soal desa Pagarjati. Gue penasaran, kenapa bisa gitu. Padahal posisi mereka gak jauh dari tempat itu."
Dari arah belakang, mobil papa Danu juga berhenti. Melihat ketiganya turun, Nadia segera membuka kaca mobil dan berteriak, "Kita berhenti lagi?”
Galang menoleh ke arah mobil di belakang dan berteriak balik, "Iya, bentar! Naya mau nunjukin sesuatu!"
Naya melangkah cepat ke arah warung tengah yang tampak masih buka. Di sana, seorang wanita paruh baya sedang duduk santai di kursi bambu sambil menyapu dedaunan yang berjatuhan di pelataran depan warung