Setelah kemenangannya melawan keluarga Ashcroft, Xander menyadari bahwa kejayaan hanyalah gerbang menuju badai yang lebih besar.
Musuh-musuh lama bangkit dengan kekuatan baru, sekutu berpotensi menjadi pengkhianat, dan ancaman dari masa lalu muncul lewat nama misterius: Evan Krest, prajurit rahasia dari negara Vistoria yang memegang kunci pelatihan paling mematikan.
Di saat Xander berlomba dengan waktu untuk memperkuat diri demi melindungi keluarganya, para musuh juga membentuk aliansi gelap. Caesar, pemimpin keluarga Graham, turun langsung ke medan pertempuran demi membalas kehinaan anaknya, Edward.
Di sisi lain, Ruby membawa rahasia yang bisa mengguncang keseimbangan dua dinasti.
Antara dendam, cinta, dan takdir pewaris… siapa yang benar-benar akan bertahan di puncak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Dalton dan Franco masih saling diam meski keduanya sudah berhadapan sejak lima menit yang lalu. Keduanya tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing masing. Beberapa anggota keluarga Ashcroft juga berkunjung ke kantor polisi untuk menjenguk Franco, Fabian, Felix dan yang lain.
Franco tertunduk lesu. Sepanjang malam, ia sama sekali tidak bisa tidur. Kenyamanan kasur terganti oleh dinginnya lantai penjara. Sajian lezat dan kehangatan keluarga yang selalu ia rasakan berganti dengan sajian hambar dan suramnya masa depan yang harus ia rasakan entah sampai kapan.
"Bagaimana dengan keadaan Darius, Dalton?" tanya Franco pada akhirnya.
Dalton menggertakkan gigi, menoleh ke arah lain. "Darius sudah melewati masa kritisnya. Hanya saja dia belum sadarkan diri hingga sekarang. Dokter mengatakan keadaannya terus membaik dari waktu ke waktu."
"Syukurlah. Ayah sangat mengkhawatirkan Darius. Kalau saja sejak awal ayah menyerah, keadaannya pasti tidak berakhir seperti ini."
"Bisakah kau tidak membicarakan Darius untuk
sekarang?" Dalton menatap tajam Franco. "Darius sudah mengkhianati kita, tapi kau sama sekali tidak menunjukkan amarah saat menyebut namanya. Apa sepenting itu Darius bagimu sampai kesalahan besarnya bisa kau maafkan dengan sangat mudah?"
Franco perlahan mendongak, menatap Dalton dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu, Dalton? Kenapa kau–”
"Bagaimana jika aku yang mengkhianatimu dan keluarga kita seperti Darius? Apa kau akan
sengaja menembakku dan membiarkanku mati?"
"Dalton, apa yang kau bicarakan?"
"Kau dan ibu selalu saja mengutamakan Darius. Kalian berdua menganggap Darius sebagai sosok yang paling penting dalam hidup kalian. Bahkan, saat Darius pergi dan memilih berkhianat sampai kau berada di penjara dan harus kehilangan apa yang kau sudah perjuangkan selama ini pun, kau dan ibu sama sekali tidak terlihat marah padanya seolah tindakannya bisa dengan mudah kalian maafkan. Selama ini aku berusaha menjadi seperti yang kalian inginkan, tapi semua yang kulakukan hanyalah sia-sia. Semua perhatian kalian tetap tertuju pada Darius, padahal selama ini akulah yang selalu berada di sisi kalian dan mendukung kalian. Tindakan kalian benar-benar membuatku sangat muak."
"Dalton," gumam Franco dengan kedua tangan yang naik ke meja.
Dalton mengepalkan tangan kuat-kuat. Rahangnya mengetat bersamaan dengan urat-urat lehernya yang tampak ke permukaan. Wajahnya memerah karena amarah yang berkecamuk. Semua isi hatinya keluar tanpa bisa dicegah.
"Aku dan ibumu sama sekali tidak pernah mengabaikanmu, Dalton. Kau hanya salah paham. Kami berdua menyayangimu sama seperti kami menyayangi Darius."
"Hentikan omong kosongmu," ujar Dalton dingin.
"Dalton." Franco menatap tak percaya. Jika dalam keadaan normal, ia pasti sudah menampar Dalton. Hanya saja, melalui tatapan Dalton, ia tahu jika putra keduanya itu tengah mengutarakan semua isi hatinya yang terpendam selama ini.
Franco kembali menunduk.
Pria paruh baya itu seperti melihat dirinya dalam diri Dalton. la mengerti bagaimana perasaan Dalton karena selama ini ia iri pada Sebastian dan mendiang Samuel dan merasakan ketidakadilan yang ia dapatkan dari Marcus.
"Kau bisa saja memenangkan pertarungan dengan Alexander dan Sebastian semalam jika Darius berbalik mengkhianati Alexander dan Sebastian. Kita bisa mendapatkan harta Alexander dan Sebastian sekaligus menghabisi mereka. Tapi Darius justru tetap berada di pihak mereka hingga akhirnya kita semua dipermalukan dan kau serta keluarga kita diseret ke penjara. Kau juga pasti berpikiran seperti itu, kan?"
Franco memejamkan mata kuat-kuat, tak membalas apa pun.
"Anak yang kau bangga banggakan selama ini tidak lebih dari seorang pengkhianat keluarga
Ashcroft. Darius sudah menghancurkan mimpimu dan mimpi kita semua untuk mendapatkan harta Sebastian dan Alexander yang seharusnya menjadi milik kita. Sejak awal, Darius tidak berada di pihak kita. Sejak awal, dia tidak menganggap kalau kita penting."
"Hentikan, Dalton. Darius melindungi keluarga kita dengan caranya sendiri. Dia tahu kalau Alexander dan Sebastian sejak awal bisa menghancurkan kita. Darius–”
"Apa kau pikir setelah pengkhianatan yang dilakukan Darius pada keluarga kita, keluarga kita akan tetap memperlakukannya sama seperti dulu?" Dalton tertawa hambar. "Itu tidak akan terjadi. Sampai kapan pun, Darius akan dicap sebagai pengkhianat. Bahkan, sampai dia mati sekalipun. Anak, cucu, cicit hingga keturunannya pun akan dicap sebagai pengkhianat."
"Dalton," lirih Franco dengan mata berkaca-kaca, memejamkan mata kuat-kuat. Bayangan saat pengkhianatan Darius tiba-tiba memenuhi pikirannya. la sangat kecewa dengan hal itu, tetapi di saat yang sama sulit baginya untuk membenci Darius.
Franco mengembus napas panjang, menatap Dalton dengan mata yang diselimuti bening air mata. "Tolong maafkan aku dan ibumu. Tanpa kami sadari kami sudah bertindak tidak adil padamu. Aku sangat mengerti bagaimana perasaanmu karena aku juga mendapatkan perlakuan serupa dari kakekmu selama ini."
"Semuanya sudah terlambat sekarang."
Franco memejamkan mata sesaat. "Ternyata aku tidak lebih dari seorang pecundang, pecundang yang mengejar sesuatu yang pada dasarnya bukan milikku. Dan tanpa aku sadari, aku juga tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik bagimu. Keinginanku sudah menjadi obsesi yang membutakan logika dan perasaanku. Kau pasti sangat membenciku, Dalton."
"Kau benar." Dalton perlahan bisa menguasai diri. “Meski begitu, aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menghabisimu. Bagaimanapun juga kau adalah ayahku. Kau tetap menjadi orang yang aku kagumi bahkan sampai saat ini."
Franco tiba-tiba menangis hingga bahunya berguncang hebat. la bisa melihat air matanya yang mulai berjatuhan di meja. "Aku senang karena kau lebih baik dariku.”
Dalton berdiri dari kursi. "Aku akan mengunjungimu nanti."
Franco mengangguk, berdiri menyeka tangis di pipi dengan tangan yang masih terborgol.
Dalton tiba-tiba memeluk Franco, berbisik, "Aku ingin bertanya satu hal padamu, Ayah. Apa kau ingin balas dendam pada Alexander dan Sebastian?"
Franco seketika membulatkan mata. Ia tercenung ketika Dalton melepas pelukan dan berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban darinya.
Sementara itu, Ruby tengah terbaring di kamar. Tatapannya tertuju pada langit-langit kamar. Ia merasa beruntung karena berhasil memberi jawaban masuk akal ketika Mila bertanya perihal riwayat panggilannya pada Edward.
Ruby bangkit dari kasur, duduk di sisi ranjang. “Aku tidak punya pilihan lain selain bertanya pada Alexander. Tapi aku masih belum menemukan alasan masuk akal."
Ruby memijat keningnya yang pening, mengambil minuman, meneguknya hingga tak bersisa. Wanita itu keluar dari kamar, mengamati keadaan rumah yang tampak sepi karena Mila mengunjungi Fabian di penjara.
Ruby menuruni tangga dengan tangan yang sesekali mengelus perut. Begitu tiba di lantai bawah, ia mendengar suara bel berbunyi. "Ibu."
Ruby membuka pintu. Wajahnya tertekuk kesal ketika menemukan seorang pria tak dikenal berada di depannya. “Aku sama sekali tidak memesan makanan. Pergilah!"
Pria itu menunjuk nama restoran Pizza yang tertulis Graham's Pizza.
Ruby dengan cepat menyadari jika pria di depannya bukankah pengantar makanan sungguhan ketika membaca nama Graham di sana. Ia berusaha setenang mungkin.
Pria itu menunjuk sebuah nomor di bawah nama Graham's Pizza, memberikan kotak Pizza pada Ruby dan tak lama setelahnya pamit.
Ruby dengan cepat kembali ke kamar, mengambil ponselnya, menghubungi nomor yang ditunjuk pria tadi. Ia mendadak tegang hingga mondar-mandir di dalam kamar saat menunggu panggilan terhubung.
Ruby berdecak ketika panggilannya ditolak. Tak lama setelahnya, sebuah pesan muncul dari nomor yang dipanggilnya barusan, "Ini ... baiklah. Aku mengerti.”
#✌️✌️✌️
cepat² di up nya min
#makan2