"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asing
Lorong belakang mansion terlihat sepi. Tembok -tembok marmer tebal dan kokoh menghalangi cahaya matahari untuk sampai ke sana, lampu dinding kecil yang menerangi sepanjang jalur menuju dapur dan ruang laundry.
Udara lembab sedikit menusuk kulit, membawa aroma tipis deterjen dan parfum yang masih tersisa di baju kotor menyapa indra penciuman.
Hania melangkah pelan. Tangannya memeluk setumpuk baju kotor milik Brivan dan juga miliknya. Baju kotor yang ia kumpulkan semalam. Jemari kecilnya menggenggam kain-kain itu erat, seolah sedang membawa beban yang bukan hanya sekedar kain-kain kotor… tapi juga tanggung jawab yang ia ciptakan sendiri.
Saat ia tiba di pintu ruang laundry, langkahnya terhenti. Hania mengalihkan pandangannya saat tanpa sengaja melihat para pekerja di sana, mereka yang gerakannya langsung terhenti saat kaki Hania menapak di ruangan itu.
Tiga orang wanita berseragam abu berdiri tegak, lalu berpura-pura sibuk menjauh. Satu mengambil keranjang kosong, satu lagi memindahkan handuk ke rak belakang, padahal mesin belum berhenti bekerja.
Hania diam, menghela nafas pendek.Tak ada sapa. Tak ada senyum. Hanya tatapan singkat yang segera dialihkan, seolah melihat apa yang seharusnya tak mereka lihat. Ia tahu. Ia paham. Ia bukan bagian dari mereka.Dia mulai terbiasa dengan perasaan itu.
Dulu, saat pertama kali ke tempat ini, Hania bahkan tak tahu pintu mana yang boleh ia buka, ditengah kebingungan itu dia sempat merasa sedih. Merasa terasing di dunia baru yang bahkan enggan untuk memberikan dia tempat, tapi sekaligus memaksanya untuk menetap.
Namun sekarang… dia mulai terbiasa. Terbiasa disapa dengan diam. Terbiasa menjadi bayangan yang tak ingin dilihat siapa pun. Dia akan menciptakan tempatnya sendiri di dunia yang asing ini, bukan untuk menyatakan dirinya ada. Tapi sekedar untuk dia merasa diterima, walau hanya dirinya sendiri.
Hania berjalan pelan, memilih mesin paling ujung. Mesin besar berwarna putih kusam, sedikit lebih tua dari yang lain. Jemarinya menekan tombol-tombol dengan pelan, mengatur suhu, memisahkan warna pakaian dengan cekatan. Gerakannya teliti, seolah ia sedang mencuci harapan yang tak boleh rusak.
Bunyi lembut mesin mulai berdengung. Hania menarik napas. Bau sabun dan uap hangat menempel di kulit tangannya. Matanya melirik ke samping. Dua pekerja mencuri pandang—lalu buru-buru kembali ke aktivitas semu mereka. Hania tersenyum kecut, lalu beralih ke mesin cuci lain untuk mencuci milik Brivan.
Tentu saja untuk baju Brivan dia memakai mesin cuci khusus. Berbeda dengan dirinya yang memakai mesin cuci bersama para pekerja lain.
“Ya… aku memang bukan bagian dari tempat ini.” Perempuan berseragam warna navy itu mengangguk pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Semua akan baik-baik saja, tak apa.
Ia tak menyalahkan mereka. Ia hanya menunduk dan tersenyum kecil. Senyum yang lebih seperti helaan napas. Sebelum meninggalkan ruangan laundry Hania menoleh pada pekerja yang mencuri pandang, seolah takut pada kehadiran Hania di sana. Hania tersenyum tipis, lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Bagaimana pun mereka tidak salah, Hania yakin jika sikap mereka adalah salah satu peraturan tidak tertulis yang
Langkah Hania mengayun ringan ke arah dapur para pekerja. Tak seindah dapur utama tempat para chef utama menyiapkan jamuan tuan rumah. Tapi tetap bersih dan rapi, penuh aroma wajan panas, sayuran segar, dan sisa-sisa nasi yang masih mengepul di magic com yang ada di meja.
Ia mengambil piring dan sendok sendiri, lalu menuang nasi dan tumisan sayur dan telur rebus, lauk sederhana tapi cukup nikmat itu mendarat ke piringnya. Sejak Hania mual melihat gula ikan tempo hari, tak ada lagi masakan dengan aroma menyengat yang tersaji di dapur pekerja.Mungkin Ivana yang mengatur, dia juga tidak begitu perduli. Hania memilih duduk di meja pojok dekat dispenser. Kursi kayu itu dingin, tapi cukup nyaman. Baru saja ia hendak mulai makan—suara langkah terdengar memasuki dapur.
“Pagi yang lambat, ya?” suara itu terdengar ringan… tapi mengandung sesuatu yang tajam.
Hania mendongak. Ivana berdiri di ambang pintu, antara lorong dan dapur.
Dengan mengenakan seragam au-abu khusus. Dan rambut yang digelung rapi ke belakang. Wanita paruh baya itu mendekati Hania. Melirik sekilas apa yang Hania ambil di piringnya. Pandangan Ivana lalu beralih, menatap Hania seperti sedang menilai kualitas barang di etalase toko.
“Hanya segitu yang kau makan?" Suara dingin Ivana membuat Hania menciut, kakinya merapat, menunduk.
“Maaf…” lirih Hania.
“Ambil lagi. INgat kau mengandung keturunan Maheswara, kau harus memenuhi gizi calon bayi itu dengan baik.
Hening.
Hania meremas sendoknya lebih erat. Makanan di piringnya terasa semakin hambar.
"Tapi ... Saya suka mual kalau makan terlalu banyak," jawab Hania dengan lebih keras.
Ivana melipat tangan menyeringai.
"Kamu pikir saya perduli. Apapun yang masuk dalam tubuh kamu saat ini harus sesuai dengan apa yang kami inginkan."
Kepala pelayan itu berjalan kearah meja, membuka tudung saji. Mengambil dua telur rebus, sepotong besar ayam goreng, lalu meletakkan di piring Hania. Mata Hania melebar, ia tidak bisa makan sebanyak ini.
"Habiskan itu!" Tegas Ivana tak terbantah.
Hania menatapnya dengan tidak percaya, wanita hamil itu mengigit bibir mencoba memberanikan diri untuk bersuara. Tapi baru saja mulutnya akan berkata, Ivana sudah memotong lebih dulu.
“Kau harus jaga diri. Jangan sampai ada hal buruk terjadi,” ucapnya seolah peduli. Padahal dari nadanya… itu terdengar seperti peringatan. Ancaman halus yang dibungkus nasihat.
Hania menutup mulutnya rapat-rapat, ter senyum getir yang tersungging. Diakhiri dengn mengangguk pelan.
“Iya… aku tahu.”
Ivana memandangnya sekali lagi. Lama. Lalu pergi meninggalkan Hania. Setelah mengambil sebotol air emon. Langkahnya bergema di lantai marmer dapur, seolah menghapus kehadirannya.
Hania kembali menatap makanannya. Lalu sendok itu diletakkan perlahan. Dia mencoba makan… tapi tenggorokannya terasa penuh. Bagaimana rasanya makan dengan perasaan seperti ini, belum memulainya saja Hania sudah mual. Tangan Hania mengusap pelan perut yang mulai sedikit terasa menonjol.
Hania memecah telur rebus itu menjadi dua, menyendok kuningnya perlahan. Satu suap. Lalu berhenti. Napasnya berat, seperti tubuhnya menolak, tapi dia menatap perutnya—dan memaksa dirinya menelan.
"Maaf ...." Gumamnya berbisik, entah untuk calon bayinya atau untuk dia sendiri. Tapi ia merasa perlu untuk mendengar kata itu saat ini.
gk bisa makan sesuatu ngerasa eneg..
hadeeeww bisanya cuma nyalahin aja.. 🙄🙄🙄