Aaron Dzaka Emir—si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 02 Manusia Penuh Tipu
Dzaka menepi sejenak di taman. Sejak tadi dia nggak fokus. Pertanyaan dari Raffa dan Tanvir berhasil bikin dia terganggu. Baru kali ini Dzaka terdistraksi sama pertanyaan kayak gini. Apa dia mulai goyah? Bukannya ini bakal bahaya, ya? Helaan napas berat terdengar. Kejadian tadi siang bikin perasaannya kalut.
Dzaka tersentak karena sesuatu menghantam bahunya cukup keras. Dia melihat sebuah bola menggelinding. Nggak lama, seorang bocah laki-laki mendekatinya dengan ragu. Alis Dzaka berkerut.
"Bang ... maaf, ya. Aku gak sengaja," lirihnya takut. Bahkan dia nggak berani natap Dzaka.
Dzaka mengubah ekspresinya. Senyuman yang jarang dia umbar ke orang lain tiba-tiba terbit. "Ini bolanya." Dzaka menyerahkan bola itu dengan satu tangan dan tangan lainnya mengusap kepala bocah laki-laki itu lembut.
Tatapan berbinar yang ditunjukkan bocah itu bikin Dzaka heran. Tapi, belum sempat dia merespon apa-apa, bocah itu beranjak pergi.
"Abang baik! Terima kasih!" teriaknya setelah cukup jauh. Matanya masih mengikuti arah perginya bocah itu. Sampai ... pemandangan di sana membuat hatinya sakit.
Dia langsung balik ke tempat duduknya dan bersandar. Suara gemerisik daun dan angin terdengar jelas di telinganya. Seolah ngasih ruang buat Dzaka melepas bebannya. Apa yang dia liat barusan memicu rasa sakit yang Dzaka pendam.
"Gue kenapa?" gumam Dzaka menutupi matanya dengan lengan. Getaran di ponselnya bahkan diabaikan. Dzaka lagi pengen sendiri. Merenungi apa yang lagi dia alami.
"Apa gue emang harus ke psikolog, ya?" gumamnya pelan. Kayaknya ini nggak sesederhana mimpi buruk.
...----------------...
Sekarang udah jam tujuh malam. Dzaka nggak sadar sampai ketiduran di taman. Anehnya, Dzaka malah tidur nyenyak. Tunggu ... jangan salah paham dulu. Tidur nyenyak versi Dzaka itu nggak samai ngorok, kok. Tapi, waktu dia bisa tidur dengan tenang tanpa mimpi buruk yang udah menemani dia bertahun-tahun.
Jantungnya berdetak lebih cepat waktu liat panggilan di ponselnya. Baru aja Dzaka ngerasa sedikit hidup, udah ada masalah baru yang nunggu dia. Ponselnya bergetar lagi, tapi Dzaka malah nyimpan ponselnya di kantong celana dan menaiki motornya beranjak pergi.
Sebelum komplek perumahannya, ada minimarket langganan Dzaka. Berhubung stok camilannya menipis, dia mampir. Melupakan fakta kalau di rumah mungkin udah ada yang nungguin dia.
Kalau belajar, kalian butuh apa? Kalau Dzaka sih camilan. Bahkan di kamarnya tersedia kulkas mini khusus buat camilan. Soalnya, Dzaka harus belajar berjam-jam di kamar. Pastinya butuh asupan.
Dzaka mengambil keranjang belanja dan bergerak menuju rak makanan. Dzaka melihat ada yang aneh. Rak biskuit dan kue kering di depan sana kok makin miring, ya? Apalagi di sana ada seorang gadis. Kayaknya gadis itu nggak sadar dan terus berusaha menggapai sesuatu di rak.
Dzaka melepas keranjang belanjaannya dan berlari menuju rak itu.
Bruk!
“Ow!” Dzaka mengusap pelipisnya yang tergores kemasan biskuit. Kondisi Dzaka keliatan kacau sambil menahan rak supaya nggak jatuh. Petugas minimarket langsung sigap mengambil alih keadaan.
“Kamu gak papa, kan?” Suara gadis itu bergetar. Kayaknya masih syok karena kejadian barusan.
Dzaka menggeleng. Tapi, badan Dzaka terasa sakit. Soalnya, raknya cukup berat. Belum lagi kaleng-kaleng biskuit yang menghantam kepala dan punggungnya. Dzaka memungut crackers keju yang tergeletak di hadapannya dan menyerahkannya ke gadis itu.
“Lain kali hati-hati!” peringat Dzaka sebelum keluar dari sana. Dia nggak jadi belanja dan memilih buat langsung pulang.
Gadis itu nyuruh kasir lebih cepat menghitung belanjaannya supaya bisa ngejar Dzaka. Tapi, deru motor Dzaka terdengar dan bergerak mengikuti arus jalanan yang masih padat.
“Padahal aku belum sempat bilang makasih,” lirih gadis itu seraya berjalan lesu ke luar.
Matanya sibuk memerhatikan lalu lintas yang masih padat. Dia bersandar di dinding kaca supermarket, mengeluarkan ponselnya dan mulai berselancar di sosial media untuk mengusir kebosanan. Dia cuma belum pengen pulang.
Tangannya meraba-raba isi belanjaan demi mengambil crackers keju. Bayangan kejadian tadi terlintas lagi di pikirannya pas liat crackers keju ini. Juga, wajah pemuda yang nolongin dia.
“Ziya!”
Gadis itu segera mengangkat pandangannya ngeliat siapa yang manggil. Dia tersenyum masam saat mendapati seorang pemuda melambaikan tangan di seberang jalan.
Jalanan yang padat bikin geraknya terhambat. Pas dia pikir udah aman, dia mulai melangkah tergesa. Tapi, deru motor mendekat dengan kencang terdengar jelas di telinganya. Dia cuma diam membisu, padahal motor itu semakin dekat.
Bruk!
...----------------...
Dzaka langsung putar balik pas ingat kalau stok yogurt nya abis. Makanan satu itu nggak boleh sampai kosong di kulkas mininya. Baru aja Dzaka turun dari motor, matanya udah nangkap kejadian menegangkan. Tanpa pikir panjang Dzaka langsung lari ke sana.
Bruk!
Meski tubuhnya remuk, Dzaka berhasil menyelamatkan gadis itu tepat waktu. Setelah memastikan tidak ada luka pada gadis itu, Dzaka menghela napas lega.
“Si–siku kamu ....” Gadis itu gemetar menunjuk darah di siku Dzaka. Dia terlihat kebingungan saat akan menyentuh Dzaka.
Dzaka menyembunyikan lengannya di balik badannya. Jujur aja rasanya perih banget. Tapi, Dzaka coba tahan supaya nggak meringis. Saking perihnya, tangan Dzaka gemetaran.
“Ayo! Gue antar pulang!” titah Dzaka yang mendapat gelengan dari gadis itu.
“A–aku harus obati ka–kamu dulu. Itu pasti perih banget.” Gadis itu langsung berdiri dan berniat pergi ke apotek yang nggak jauh dari sana.
Dzaka menarik lengan baju gadis itu dan menggeleng pelan. "Gue gak papa. Ayo gue anter pulang," ajak Dzaka lagi. Baru sekali ketemu gadis ini udah bikin badan Dzaka remuk dua kali. Wajar dong dia menawarkan bantuan buat nganterin, takut ada kejadian part ketiga.
“Dia pulang sama gue!” sela seseorang yang muncul dengan kaca helm yang masih tertutup.
Dzaka memicing curiga melihat gelagat sosok itu. Sedangkan gadis itu hanya menatap lesu.
“Kalau lo bukan siapa-siapanya dia, gue gak akan biarin dia pulang sama lo!” balas Dzaka tegas.
“Gue abangnya! Jadi, gue berhak, kan, buat bawa adek gue balik?”
Dzaka merasa familiar sama suara itu. Tapi, helmnya beda, sih. Terus nada suaranya lebih dingin. Apa cuma perasaan Dzaka, ya?
“Buka dulu kaca helm lo!” suruh Dzaka yang membuat sosok itu gelisah.
“Hmm, lo bisa tanya dia langsung,” putus sosok itu.
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya gadis itu mengangguk pelan pada Dzaka, mengiyakan ucapan sosok berhelm itu.
"Vir .... Itu lo, kan?" monolog Dzaka.
Lantas kalau memang sesuai tebakannya, seharusnya sosok itu bertingkah kayak biasa, bukannya menyembunyikan diri. Aneh banget.
Dzaka tersentak setelah ingat sesuatu.
"Adek? Adeknya Tanvir udah balik?" gumam Dzaka dengan pandangan lurus ke arah perginya motor Tanvir.
masa rasanya kayak ditinggal ribuan tahun😤😁
ak mampir ya 😊
awas kalo lama😤😤
sering-sering update ya kak😁✨