NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Kereta melaju stabil membelah pagi yang masih menguap embun. Kabut tipis masih bergelayut di atas tanah, seperti enggan menyerah pada sinar matahari yang perlahan menanjak dari balik perbukitan. Di dalam gerbong eksekutif, suasananya tenang dan nyaman. Aroma kopi dari termos penumpang lain samar-samar menguar, bercampur dengan dinginnya udara pendingin ruangan.

Sekar duduk di samping jendela, dagunya bertumpu pada telapak tangan, matanya mengikuti pemandangan yang terus berganti—hamparan sawah luas dengan petani kecil yang mulai bekerja, rumah-rumah kayu sederhana yang berdiri tenang di antara semak, lalu berganti menjadi deretan pohon yang meluncur cepat ke belakang seperti kenangan yang belum sempat disusun rapi.

Di sampingnya, Hanif duduk dengan sebuah buku di tangan. Sekilas terlihat seperti membaca, tapi matanya lebih sering terpaku pada titik-titik kosong di halaman, jarinya sesekali mengusap tepi kertas tanpa tujuan. Ia tampak tenang, tetapi dari cara dia menghela napas dan menggeser posisi duduk, Sekar tahu pikirannya tak benar-benar di sana.

Entah sejak kapan keheningan seperti ini menjadi hal yang mereka syukuri. Dulu, Sekar selalu merasa canggung berada dalam satu ruang dengan seseorang tanpa obrolan. Kini, bersama Hanif, keheningan itu tidak lagi menakutkan. Justru terasa seperti jeda yang dibutuhkan, ruang untuk bernapas di tengah dunia yang selalu terburu-buru.

"Aku suka naik kereta," kata Hanif tiba-tiba. Suaranya pelan, tapi cukup jelas mengalahkan derik roda besi yang bergesekan dengan rel.

Sekar menoleh, sedikit terkejut oleh pernyataan yang tak terduga. Ia menatap Hanif, menunggu kelanjutan dari kalimat itu.

"Kenapa?" tanyanya lembut, nyaris berbisik, seolah takut menyentuh sesuatu yang rapuh.

Hanif mengarahkan pandangannya ke luar jendela, mengikuti arah kereta melaju. “Karena kereta nggak bisa putar balik sesuka hati,” ujarnya pelan, ada nada tertentu dalam suaranya—semacam keikhlasan yang tidak dibuat-buat. “Ia terus maju, meski kadang lambat. Tapi selalu tahu ke mana harus pergi.”

Sekar terdiam. Kalimat itu tidak rumit, tapi membekas. Kata-kata Hanif masuk ke dalam kepalanya seperti serpihan-serpihan kecil yang menyatu membentuk gambaran besar. Gambaran tentang hidup. Tentang arah. Tentang keyakinan. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya kembali ke jendela, tapi kali ini pikirannya tidak lagi pada sawah atau langit.

"Aku... masih belum tahu arahku," katanya akhirnya. Suaranya hampir tak terdengar, seperti gumaman, seperti pengakuan yang berat tapi jujur. Ia tidak sedang mencari jawaban. Hanya butuh mengatakan itu dengan lantang agar ia tahu dirinya tidak sedang pura-pura kuat.

Hanif menoleh pelan. Tatapannya tidak menghakimi. Tidak mencoba menghibur berlebihan. Hanya hadir. Penuh.

“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat. “Yang penting tetap bergerak.”

Sekar menatapnya sejenak, kemudian tersenyum tipis. Ia tak membalas dengan kata-kata, tapi senyumnya cukup untuk menyampaikan bahwa ia mendengar. Bahwa ia merasa dilihat. Bahwa dalam ketidaktahuannya pun, ia merasa tidak sendirian.

Hening kembali menyelimuti mereka. Tapi kali ini bukan hening yang kikuk atau dingin. Melainkan hening yang tenang dan penuh pengertian. Seperti dua jiwa yang tidak sedang mencoba saling menaklukkan, tapi saling memberi ruang. Seperti dua kereta yang beriringan, masing-masing tahu arah sendiri, tapi tetap berjalan bersama.

Sekar menatap jendela sekali lagi. Sawah telah berganti menjadi kebun teh. Kabut perlahan menyingkir. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak takut pada arah yang belum pasti.

Hanif masih memegang bukunya, tapi kini ia menoleh ke arah Sekar. Lama, tanpa kata. Lalu berkata, “Mungkin arah itu bukan sesuatu yang kita temukan dalam sehari. Tapi kalau kamu izinkan, aku ingin jalan bareng kamu sampai kamu tahu mau ke mana.”

Sekar menoleh, matanya berkaca. Dan ia tahu, untuk saat ini, itu cukup.

------

Sore menjelang malam, angin lembut Bandung menyusup di antara pagar balkon, menggoyangkan tirai tipis yang terayun pelan dari dalam kamar. Warna langit berubah perlahan, dari jingga menjadi ungu kebiruan, seolah mencerminkan transisi perasaan yang perlahan meresap di antara dua manusia yang duduk bersebelahan, memegang cangkir yang kini mulai menghangatkan telapak tangan, bukan lagi lidah.

Konferensi yang baru di buka tadi siang itu membuat mereka berdua sangat tidak nyaman sekali. Karena baru sampai di kota ini tapi mereka harus melangsungkan pertemuan itu. Hanif mau mengeluh dengan semua ini tetapi karena ada Sekar di sampingnya itu bisa meredakan keletihan yang dia sudah tahan dari tadi.

Sekar mengangkat wajahnya kembali menatap Hanif. Kali ini, tatapannya tak lagi penuh keraguan seperti biasanya. Ada keingintahuan, tapi juga ketakutan yang enggan pergi. “Kalau aku izinkan, kamu akan tetap di sini sampai kapan?”

Hanif menghela napas pelan, meletakkan cangkirnya di meja kecil di antara mereka. “Sampai kamu bilang aku nggak dibutuhkan lagi. Atau… sampai kamu nggak nyaman lagi aku ada.”

Sekar menunduk, mengusap tepi cangkir dengan ibu jarinya. “Kenapa kamu nggak pernah marah ke aku, Hanif? Bahkan waktu aku dingin, atau waktu aku pura-pura nggak butuh kamu?”

Hanif tertawa kecil, namun nada suaranya tetap lembut. “Karena aku tahu kamu bukan nggak butuh. Kamu cuma belum siap butuh siapa pun.”

Ucapan itu membuat dada Sekar terasa penuh. Ia seperti sedang dilihat telanjang—bukan secara fisik, melainkan jiwanya. Semua tameng yang selama ini ia bangun, runtuh sedikit demi sedikit di depan mata laki-laki itu. Dan anehnya, ia tidak ingin buru-buru membangunnya kembali.

“Aku pernah gagal, Hanif,” lirihnya. “Dalam hubungan, dalam mempercayai seseorang. Rasanya kayak… aku kehilangan arah dan nggak tahu harus mulai dari mana.”

Hanif mendengarkan tanpa menyela. Lalu, dengan sabar ia berkata, “Nggak semua orang yang datang akan menghancurkan, Sekar. Ada juga yang datang untuk membantu kamu berdiri lagi. Tapi kamu yang harus tentukan, kamu mau dibantu atau tetap jalan sendiri.”

Sekar menoleh pelan. Mata mereka bertemu lagi. Untuk pertama kalinya, tak ada rasa bersalah atau ketakutan dalam sorot mata perempuan itu. Hanya perasaan hangat yang belum ia beri nama.

“Kalau aku jalan pelan-pelan, kamu akan tetap sabar nungguin?” tanyanya nyaris berbisik.

Hanif mengangguk, senyumnya tenang. “Aku nggak ke mana-mana, Sekar.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Tapi kali ini, bukan keheningan yang canggung. Ada rasa aman di dalamnya. Rasa diterima. Sekar menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi.

Ia menyeruput kopinya pelan, lalu berkata, “Terima kasih.”

Hanif menoleh. “Untuk apa?”

“Untuk sabar. Untuk nggak buru-buru masuk saat aku belum buka pintu.”

Hanif tertawa kecil. “Aku nggak perlu masuk. Duduk di terasnya pun aku nggak keberatan.”

Sekar tersenyum. Kali ini, senyum yang tulus dan tenang. Angin kembali berhembus, membawa aroma tanah basah dan suara kehidupan malam dari kejauhan. Malam itu, mereka tak perlu banyak kata. Hanya duduk berdampingan, menikmati hening yang hangat, dan membiarkan hati mereka bicara dalam diam.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya sejak lama, Sekar merasa—ia tidak sendiri lagi.

1
R Melda
semangat thor,,,,,
Nus Wantari
lanjut Thor...🥰🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!