Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 32
Beberapa hari setelah insiden kehujanan di kebun dan bekerja di bawah panas terik tanpa henti, tubuh Raka akhirnya menyerah. Ia yang biasanya begitu kuat dan tak pernah mengeluh, kini hanya bisa terbaring lemas di ranjang kontrakannya yang asri. Suhu tubuhnya tinggi, kulitnya pucat, dan suara seraknya menandakan tenggorokan yang mulai meradang. Raka bukan tipe yang mudah mengeluh, apalagi minta perhatian. Karena itulah, ia memilih tetap di rumah, menyendiri, melawan sakit dengan istirahat dan segelas air hangat.
Namun, kabar itu tetap sampai juga ke telinga Aruna. Melalui percakapan telepon yang awalnya ringan, Raka menyebutkan kalau ia sedang kurang enak badan. Tapi dari suaranya yang serak dan napasnya yang berat, Aruna langsung tahu bahwa kondisinya jauh dari sekadar "tidak enak badan". Ia bisa merasakan sesuatu yang lebih serius. Rasa khawatir merayap pelan, mengisi rongga dadanya.
Sore itu, Aruna memutuskan untuk menjenguk Raka. Tak peduli dengan kakinya yang masih belum sepenuhnya pulih dari keseleo beberapa hari lalu, ia tetap bersikeras. Ada desakan dari dalam dirinya yang tak bisa ia abaikan, desakan untuk memastikan bahwa Raka baik-baik saja. Mungkin juga rasa bersalah, karena merasa bahwa kelelahan Raka belakangan ini ada hubungannya dengan dirinya.
Ia memilih mengenakan pakaian yang nyaman namun tetap rapi blouse putih dengan celana kulot warna merah muda. Di tangannya tergenggam keranjang buah yang ia siapkan sendiri. Ada jeruk, apel, anggur, dan pir buah-buahan segar yang diharapkannya bisa sedikit membantu proses penyembuhan. Ia tahu Raka menyukai hal-hal alami dan sehat. Sentuhan kecil seperti itu mungkin sederhana, tapi bagi Aruna, itu bentuk kepedulian yang paling nyata.
Dengan mengendarai city car-nya, Aruna menyusuri jalanan sore yang mulai ramai. Langit sedikit mendung, menyisakan rona keemasan di balik awan kelabu. Di kursi penumpang depan, keranjang buah bergoyang perlahan mengikuti irama mobil. Aruna melihat ke arah GPS yang menunjukkan bahwa ia hampir sampai di alamat Raka. Hatinya berdetak tak menentu. Entah karena gugup, cemas, atau mungkin perasaan lain.
Akhirnya, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah kontrakan kecil yang berada di perumahan asri. Aruna memandang tempat itu dengan mata yang tak bisa menyembunyikan kekaguman. Meski hanya rumah kontrakan, halaman depannya tampak begitu terawat. Deretan pot berisi tanaman hias dan sayur-sayuran tertata rapi. Ada bunga kertas berwarna merah muda yang menjuntai anggun di sisi pagar, dan tomat kecil yang mulai berbuah di pojok taman. Lantai terasnya mengkilap, bersih seperti baru saja dipel.
"Ini tempat Raka...?" bisik Aruna pada dirinya sendiri. Rasanya sulit membayangkan seorang pria bisa begitu telaten dan memperhatikan detail rumah itu. Tapi lagi-lagi, ini memang Raka. Pria yang dikenal rapi, teratur, dan mencintai kesederhanaan.
Aruna turun dari mobil, membawa keranjang buah, lalu berjalan perlahan menuju pintu rumah. Ia berdiri sejenak di depan pintu kayu berwarna coklat tua itu. Tangan kirinya menggenggam keranjang, tangan kanan hendak mengetuk. Namun, ada keraguan kecil yang menghentikannya. Ia takut mengganggu. Takut Raka merasa tidak nyaman. Tapi lebih besar lagi dorongan hatinya untuk memastikan bahwa pria itu tidak menghadapi sakitnya sendirian.
Ia memutuskan menelpon.
"Halo?" suara di ujung sana terdengar pelan dan serak.
"Raka... ini aku. Aku... di depan pintumu."
Keheningan menyusul sesaat.
"Bu Aruna... di sini?"
"Iya. Bukain pintunya, ya."
Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki pelan dari dalam rumah. Lalu kunci diputar, dan daun pintu terbuka perlahan. Raka berdiri di ambang pintu dengan wajah yang tampak lebih pucat dari biasanya. Rambutnya sedikit acak-acakan, matanya terlihat lelah, namun tetap memancarkan kejutan dan kebahagiaan melihat Aruna berdiri di sana.
"Kenapa ibu ke sini? Kaki kamu, kan, masih..."
"Aku nggak bisa diam di rumah tahu kamu lagi sakit, Raka. Aku bawain buah, semoga kamu suka."
Raka hanya menatapnya sesaat, lalu tersenyum lemah. Senyum yang tak biasa, tapi begitu hangat.
"Masuklah... aku... aku nggak nyangka ibu bakal datang."
Aruna masuk pelan-pelan, menatap interior rumah itu. Dalamnya tak kalah rapi dengan luarnya. Dinding putih bersih, rak buku kecil di sudut ruang tamu, sofa abu-abu tua yang tampak nyaman. Semua terasa hangat, dan entah kenapa rumah itu seperti mencerminkan hati pemiliknya.
Raka duduk perlahan di sofa, Aruna meletakkan keranjang buah di meja kecil di depan mereka. Ia duduk di kursi sebelah, memperhatikan pria itu dengan mata yang penuh cemas.
"Kamu demam tinggi. Sudah minum obat? Makan apa tadi?"
Raka menggeleng. "Belum sempat makan. Perutku nggak enak."
Aruna menghela napas. Ia berdiri, berjalan ke dapur setelah meminta izin, dan membuatkan bubur instan hangat. Tak butuh waktu lama, aroma sedap menguar dari mangkuk putih yang ia letakkan di hadapan Raka.
"Coba makan sedikit, ya. Biar badan kamu nggak makin lemas."
“Aku bisa sendiri, Bu. Jangan repot-repot”
“Jangan banyak protes.” Aruna duduk di sampingnya dan mengambil satu sendok bubur. Ia mengangkatnya pelan ke depan mulut Raka. Pria itu menatapnya, ada keraguan di matanya tapi akhirnya ia menerima suapan itu. Perlahan. Tanpa kata. Hanya diam dan pandangan yang bertemu.
Dan dalam pertemuan pandang itu, Aruna merasakan sesuatu menggelegak di dalam dadanya. Mata Raka tidak hanya menyimpan kelelahan karena demam, tetapi juga menyimpan rasa sesuatu yang selama ini coba mereka hindari untuk dibicarakan. Aruna merasa lemas. Tatapan itu terlalu jujur.
Ia menunduk, cepat-cepat mengambil sendokan bubur berikutnya. Tapi tangannya bergetar.
“Kenapa kamu baik banget sama aku, Raka?” bisiknya pelan.
Raka tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, begitu dalam. Matanya seperti berbicara, namun bibirnya tetap terkatup. Aruna menyuapinya lagi, dan lagi, sampai tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja. Seperti ada aliran hangat yang menyusup masuk lewat kulit mereka. Sejenak, dunia seperti diam.
“Sakitmu... karena kehujanan waktu itu?” tanya Aruna pelan, mencoba mengalihkan perhatiannya dari desiran aneh di dada.
Raka mengangguk sedikit. “Kebun, hujan, terus panas-panasan. Tubuhku nyerah, kayaknya.”
“Harusnya kamu istirahat total, bukan maksa tetap kerja.”
Raka tersenyum samar. “Aku nggak tenang kalau nggak lihat kebun. Dan... aku juga nggak bisa kalau nggak ketemu ibu.”
Deg.
Kalimat itu menghantam Aruna tepat di pusat kelembutannya. Ia menahan napas sejenak. Tatapan Raka tidak berubah, masih sama hangat, jujur, dan... terlampau dekat.
“Kenapa kamu ngelakuin ini semua buat aku, Raka?” tanyanya pelan, hampir seperti gumaman.
Raka menatapnya dalam. Ada pergolakan yang muncul di wajahnya. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi memilih diam. Ia hanya menjulurkan tangan dan menyentuh punggung tangan Aruna pelan.
“Aku nggak bisa bohongin perasaan aku, Bu Aruna” ujarnya lirih. “Tapi aku juga nggak mau ibu terluka.”
Aruna menunduk. Ia tahu maksud kata-kata itu. Mereka berdiri di ambang batas yang terlalu berbahaya. Tapi di sisi lain, ada rasa nyaman yang tak terbantahkan.
Malam mulai turun. Cahaya lampu di ruang tengah menyinari wajah Aruna yang tampak anggun. Ia menarik napas pelan, mencoba menguatkan dirinya untuk tidak hanyut lebih jauh.
Hari mulai merambat menuju gelap. Langit berubah temaram, dengan semburat jingga yang perlahan tersapu kelam malam. Di ruang tamu rumah kontrakan itu, cahaya lampu menggantung tenang, menyoroti dua sosok yang tenggelam dalam perasaan__ Aruna dan Raka.
Setelah beberapa saat duduk di sisi Raka, membantu menyuapinya bubur dan buah potong. Ia memberi semangat agar Raka lekas pulih, Aruna mulai bangkit dari duduknya.
"Aku pulang dulu, ya. Sudah mau malam."
Namun, sebelum ia benar-benar berdiri, tangan Raka tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya. Lembut tapi cukup membuat Aruna terdiam. Ia menoleh.
Tatapan mata mereka bertemu.
"Bu Aruna" suara Raka parau, namun ada ketulusan yang dalam. "Bolehkah aku... mencium-mu?"
Aruna tertegun. Pipinya memerah, jantungnya berdegup tak beraturan. Ia tak bisa menjawab. Tapi ia juga tak berpaling. Tak menjauh.
Mereka saling mendekat. Perlahan. Nafas mereka berbaur dalam ruang yang sepi. Sorot mata Raka begitu tulus, begitu hidup meski tubuhnya sedang lemah. Aruna melihat itu. Dan dalam hatinya, ia pun mengaku dalam keadaan apapun, Raka tetaplah pria yang memikat.
Tepat ketika jarak mereka tinggal sejengkal...
Tuk!
Tuk tuk!
Terdengar suara keras. Seperti pintu dibuka dari luar dan ketukan pintu. Aruna dan Raka sama-sama tersentak, tubuh mereka menjauh secara refleks. Wajah mereka memucat.
Suara langkah memasuki rumah. Seseorang datang. Tapi siapa?
Tatapan mereka beralih ke arah pintu masuk. Degup jantung mereka berubah jadi dentuman tak beraturan.
Siapa yang datang?
O ya aku udah jg ngeliat visual mereka di ig mu Thor, Aruna cantik banget dan Raka guanteng abis 🫶