Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Montir Dangdut
Malam semakin larut, rimis hujan mulai turun menyapa bumi yang merindu. Setelah air mata mereda, Hail tetap tinggal. Bukan karena diminta. Tapi karena hatinya memutuskan begitu. Dingin menemani Evelyn lebih lama, bukan hanya hari ini. Tapi disetiap waktu, disisa usianya
Evelyn tertidur dalam peluk hangatnya, setelah makan malam dengan sedikit paksaan oleh Hail. Nafas wanita itu mulai teratur, tangan Hail terulur, merapikan anak rambut yang menutupi wajah sang terkasih.
Hail perlahan turun dari ranjang, meninggalkan kamar dengan langkah pelan,berjalan ke ruang tamu yang semrawut. Bau alkohol menusuk, botol-botol kosong berserakan, bantal terlempar tak beraturan.
"Wanita gila," gumam Hail dengan menggeleng pelan.
Ia merasa heran bagaimana seorang wanita bisa membuat ruang tamu sekacau ini. Bahkan lebih kacau dari yang bisa dibuat empat bujang bengkelnya. Tanpa mengatakan apapun lagi, ia mulai memungut gelas kertas satu per satu. Dibuangnya botol-botol ke tempat sampah. Mengelap meja yang lengket. Mengepel lantai, dan membuka jendela sedikit agar udara berganti. Setelah ia rasa cukup, Hail menutup lagi jendelanya dan menyemprotkan pengharum ruangan.
Setelah semua selesai Hail memutuskan untuk membersihkan diri, tubuhnya cukup basah karena berkeringat.
Lampu temaram menyinari tubuh Evelyn yang kini tertidur lebih damai. Nafasnya lembut. Wajahnya masih terlihat lelah, tapi tidak lagi seperti sebelumnya—seperti seseorang yang tercekik oleh ketakutan. Sekarang, ada sedikit ketenangan.
Hail duduk di tepi ranjang, mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Tubuhnya dibiarkan terekspose begitu saja, karena tidak adak baju ganti. Pria itu melihat wajah Evelyn beberapa saat, menikmati ciptaan Tuhan yang begitu sempurna baginya.
Ia naik, bergerak pelan,berbaring di samping wanita itu. Tangan besarnya menarik pinggang Evelyn kearahnya perlahan.
"Good night Eve."
Satu lengannya menyelubungi tubuh Evelyn. Kepalanya menunduk sedikit, menyandarkan dagu ke atas kepala wanita itu. Dan dalam diam, ia mengembuskan napas panjang. Ia tidak butuh tahu semua jawabannya malam ini. Ia hanya butuh tahu satu hal, bahwa Evelyn dan Cala baik-baik saja. Bahwa mereka tidak sendiri. Hail memejamkan mata. Tapi tak langsung tidur. Pelukannya tetap hangat sepanjang malam.
Seolah ingin bilang—“Aku di sini. Selalu. Meskipun kau takut, meskipun kau belum bicara, meskipun kau belum membuka semua luka itu… aku tetap di sini.”
Keesokan paginya
Cahaya pagi menyusup masuk lewat celah tirai jendela, menyentuh pipi Evelyn yang masih tertidur di sisinya Nafasnya pelan teratur, tubuhnya meringkuk, sesekali mengeliat kecil mencari tempat ternyaman di dada bidang Hail. Mungkin jika Evelyn membuka mata, dia akan terkejut melihat dada polos Hail yang mendekapnya. Perlahan, ia menyentuh kening Evelyn dan mengecupnya ringan. Ia bergerak sepelan mungkin, tapi tatap saja itu menganggu bagi Evelyn.
"Emh ... jangan ganggu," gumam Evelyn pelan dengan mata yang masih terpejam.
Hail menatap Evelyn dengan alis terangkat naik. Dia yang tadinya tidak ingin membangunkan Evelyn, kini berpikir sebaliknya. Dengan usil Hail menusuk-nusuk pelan pipi tirus wanita itu, merasa terganggu Evelyn mencoba mengusir hama yang hinggap di pipi.
"Aku masih ngantuk," rengek Evelyn, tanganya semakin memeluk erat pinggang Hail yang ia anggap sebagai guling.
Tapi ada yang terasa aneh. Kenapa gulingnya keras? Perlahan Evelyn membuka mata. Netranya melebar kala melihat apa yang tersaji dihadapannya. Dada bidang yang lebar, dengan dua biji ketumbar yang terpampang nyata tanpa penutup apapun. Pemandangan macam apa ini?!!!!
"Selamat pagi, Sayang."
"Aaaa ...!!" Evelyn mendorong keras tubuh Hail dengan keras.
Hail yang tidak siap terjatuh, apalagi ranjang itu memang sempit. Hail bahkan tidak muat jika tidak tidur miring. Pria besar itu mendesis, mengusap pantat yang harus berciuman dengan lantai semen sepagi ini.
"Astaga!" Evelyn menutup mulutnya.
Wanita yang masih memakai gaun yang sama seperti kemarin sore itu bergegas turun dan berjalan menghampiri Hail.
"Kamu nggak apa-apa kan? Maaf ... aku nggak sengaja ...."
Hail tersenyum tipis, tapi sedetik kemudian ia meringis kesakitan. Padahal nyeri benturannya sudah mereda.
"Aduh ... sakit," kilahnya.
"Mana yang sakit." Evelyn mengusap-usap punggung Hail dengan panik.
Tapi yang di khawatirkan malah tersenyum lebar. Tangan Evelyn yang tadinya sibuk mengusap perlahan berhenti, saat sadar Hail menatapnya dengan wajah tengil dan senyum sangat lebar.
"Kamu ...!"
"Kamu ... bohongin aku ya ....!" Evelyn mengembungkan pipinya kesal.
"Nggk, Sayang. Tadi beneran sakit, tapi setelah diusap sama tangan bidadari. Sakitnya langsung ilang," gombal Hail.
Evelyn mendelik tajam, memalingkan wajahnya yang memerah.
"Dasar montir dangdut!" Evelyn bangkit dan pergi meninggalkan Hail yang tertawa lepas.
ps.
Halo readers tersayang, tercuuitah. Maaf bab hari ini sependek bulu ketek, Emak Bul lagi atit gigi. Doain besok mendingan bisa up bab double.
Terima kasih sudah selalu menemani kisah Hail & Eve. Sehat selalu, sampai jumpa besok. 💋💋💋
yuk bisa bersihkan nama ayahnya eve..