*Important*
novel ini ekslusif ada hanya di NovelToon,bila ada di platform lain, bearti plagiat
tolong bantu report
"Ketika dunia mengandalkan pedang dan sihir, aku membawa napalm dan artileri. Oh, dan saldoku? Error Tak Terbatas." Rian, seorang buruh pabrik yang mati karena kelelahan, mengira hidupnya berakhir. Namun, dia membuka mata sebagai Zephyrion IV, Kaisar boneka di dunia Terra Vasta—sebuah planet yang 1.000 kali lebih luas dari Bumi. Nasibnya buruk: Negaranya di ambang kebangkrutan, dikelilingi musuh, dan nyawanya diincar oleh menterinya sendiri. Tapi, Rian tidak datang dengan tangan kosong. Dia membawa "Omni-Store System"—sebuah toko antardimensi yang mengalami ERROR fatal. Saldo Poin: UNLIMITED (∞).
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31: DIPLOMASI ARTILERI
Asap hitam masih mengepul dari bangkai Wyvern yang jatuh di hutan, satu kilometer dari benteng.
Kuro, Kepala Unit 0, muncul dari balik semak-semak dengan langkah tanpa suara. Jubah hitamnya sedikit terkena noda darah—bukan darahnya sendiri. Di tangannya, dia menyeret seorang pria berseragam kulit sisik merah: Penunggang Naga (Dragon Rider) dari Kekaisaran Naga.
Pria itu sekarat, kakinya hancur, tapi arogansinya masih utuh.
"Kalian... uhuk... tamat," desis penunggang naga itu saat dilempar ke hadapan Zephyr di halaman benteng. "Tiga Wyvern ini hanya patroli pembuka. Di Lembah Merah... sepuluh kilometer dari sini... Jenderal Drako sedang mengumpulkan 5.000 pasukan dan 20 Wyvern Tempur. Besok pagi... benteng ini akan rata dengan tanah."
Valen memucat mendengar nama itu. "Jenderal Drako... 'Si Pemakan Besi'. Dia tidak pernah kalah."
Zephyr berjongkok di depan tawanan itu. Wajahnya datar.
"Lembah Merah, ya? Di balik Bukit Tengkorak?" tanya Zephyr santai sambil melihat peta topografi di tablet militernya (item sistem).
"Hahaha... kau tahu lokasinya pun percuma," tawanan itu meludah. "Kalian butuh waktu satu hari perjalanan untuk sampai ke sana. Saat kalian sampai, pasukan kami sudah siap membantai kalian."
Zephyr berdiri dan membersihkan debu di celananya.
"Kuro, selesaikan dia. Dia terlalu berisik," perintah Zephyr dingin.
Kuro mengangguk. Sreet. Satu gerakan pisau tak terlihat, dan tawanan itu pun diam selamanya.
Zephyr berbalik menatap Valen yang gemetar ketakutan membayangkan 5.000 pasukan musuh.
"Komandan Valen," panggil Zephyr.
"Y-Ya, Yang Mulia? Haruskah kita perkuat gerbang? Atau gali parit?"
"Tidak," Zephyr menggeleng. "Orang itu benar. Mengirim pasukan ke sana butuh waktu lama dan melelahkan. Aku malas berjalan kaki."
Zephyr berjalan menuju truk logistik terbesar di barisan belakang.
"Jadi, kita akan mengirim 'paket' saja ke sana. Lewat udara."
15 Menit Kemudian.
Halaman benteng yang sempit kini dipenuhi kesibukan baru. Tiga buah alat berat telah diturunkan dari truk dan dipasang berjajar menghadap ke arah tembok benteng—bukan, menghadap ke langit.
Itu adalah M101 Howitzer 105mm. Meriam Artileri Medan legendaris era Perang Dunia II/Vietnam. Laras pendeknya yang gemuk mendongak angkuh. Kakinya (split trail) tertanam kuat di tanah berbatu.
Valen bingung setengah mati. "Yang Mulia... musuh ada di balik bukit itu. Jaraknya 10 kilometer. Kita tidak bisa melihat mereka. Tembok bukit menghalangi pandangan. Bagaimana kita memanah sesuatu yang tidak terlihat?"
"Itulah bedanya kita dengan orang barbar, Valen," Zephyr sedang menghitung sesuatu di kertas dengan pensil. Rumus trigonometri. "Mereka butuh mata untuk membunuh. Kita hanya butuh Matematika."
Zephyr melempar kertas koordinat itu ke Gareth.
"Target: Lembah Merah. Azimuth 120. Elevasi 450 mil. Isian: HE (High Explosive). Tiga putaran, tembakan salvo!"
Gareth, yang sudah dilatih intensif cara membaca koordinat artileri, langsung berteriak pada kru artilerinya (prajurit pilihan yang loyalitasnya 95+).
"SETEL KOORDINAT! AZIMUTH 120! SUDUT TINGGI!"
Para prajurit memutar roda gigi besi meriam. Laras-laras raksasa itu bergerak serentak, mendongak tinggi seolah hendak menembak matahari.
"SIAP TEMBAK!"
Valen menutup telinganya lagi, kali ini dia sudah belajar dari pengalaman sebelumnya.
Zephyr menurunkan tangannya. "FIRE!"
BLARR! BLARR! BLARR!
Tiga lidah api raksasa menyembur dari moncong Howitzer. Tanah benteng berguncang hebat seolah terjadi gempa tektonik. Debu beterbangan.
Tiga proyektil seberat 15 kilogram melesat ke angkasa, melengkung tinggi melewati puncak bukit, menghilang dari pandangan.
Hening.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik...
"Tidak kena?" tanya Valen ragu.
"Tunggu," kata Zephyr sambil melihat jam tangannya. "Waktu tempuh 25 detik."
...Dua puluh detik kemudian.
Meskipun mereka tidak bisa melihat ledakannya karena terhalang bukit, mereka bisa mendengarnya.
DUUUUM... DUUUUM... DUUUUM...
Suara gema ledakan terdengar sayup-sayup tapi berat, seperti guntur yang bergulung di kejauhan. Burung-burung di hutan beterbangan panik.
"Muat ulang!" teriak Gareth. "Kirim paket kedua! Jangan kasih mereka napas!"
Para prajurit dengan cekatan membuka sungsang meriam. Selongsong kosong berasap keluar Klang!. Peluru baru dimasukkan. Klik!
BLARR! BLARR! BLARR!
Zephyr terus memerintahkan penembakan selama lima menit penuh. Total 50 peluru High Explosive dimuntahkan ke koordinat yang sama.
Di Lembah Merah (Perspektif Narator).
Jenderal Drako sedang menikmati anggur paginya di tenda komando. Ribuan prajurit Kekaisaran Naga sedang sarapan, tertawa-tawa membahas bagaimana mereka akan memperkosa dan menjarah benteng musuh besok. Wyvern-wyvern mereka sedang tidur terikat di tanah.
Tiba-tiba, suara siulan aneh terdengar dari langit.
Wiuuuuuuu....
Drako mendongak. "Suara apa i—"
KABOOM!
Tenda logistik meledak menjadi bola api.
Sebelum ada yang sadar apa yang terjadi, hujan kematian turun. Peluru 105mm bukanlah bola api sihir yang bisa ditangkis perisai mana. Itu adalah pecahan shrapnel besi panas yang bergerak lebih cepat dari suara.
BLAM! BLAM! KABOOM!
Jeritan membahana. Wyvern yang terikat di tanah hancur berkeping-keping tanpa sempat terbang. Prajurit yang sedang makan terlempar ke udara dengan tubuh tak utuh.
"DARI MANA?! DARI MANA SERANGANNYA?!" Teriak Drako panik, mencari musuh. Tapi tidak ada musuh. Hanya langit biru yang cerah dan siulan kematian yang terus datang.
Tidak ada pertempuran. Yang ada hanyalah penghapusan massal.
Kembali ke Benteng Timur.
Gareth mengangkat tangan. "Gencatan senjata! Laras panas!"
Asap tebal menyelimuti halaman benteng. Zephyr menurunkan binokularnya (meski dia tidak melihat target, dia melihat asap hitam membumbung tinggi dari balik bukit nun jauh di sana).
Valen menatap meriam-meriam itu dengan tatapan horor. Dia tidak melihat musuh mati, tapi dia tahu, di seberang sana pasti sudah jadi neraka.
"Yang Mulia..." suara Valen serak. "Apakah... apakah perang sudah selesai?"
Zephyr menyalakan rokok lagi.
"Belum, Valen. Ini baru undangan," jawab Zephyr dingin. "Aku baru saja mengetuk pintu mereka. Sekarang, kirim Unit 0 dan regu pengintai SKS untuk memastikan tidak ada yang selamat. Jika ada yang masih bernapas... suruh mereka pulang untuk menceritakan apa yang terjadi di sini."
Zephyr berbalik menuju truk komandonya.
"Artileri adalah raja medan perang, Valen. Dan raja tidak perlu melihat wajah musuhnya untuk menjatuhkan hukuman mati."
Jadinya seperti pertarungan Fantasy sihir dengan teknologi modern/militer keren banget
Semoga semakin ramai pembacanya ya kakak author tetap semangat berkarya
Tetap semangat thor 💪
tetap semangat thor 💪
sudah di riview
Keren thor lanjutkan 💪💪