"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ²⁷ - finding home
Matahari sore menggantung redup di langit kelabu ketika truk tua mereka berhenti di depan sebuah toko yang separuh hancur. Papan besar di atasnya masih bisa terbaca, GreenLife - Toko Pertanian & Benih Segar.
Clay turun lebih dulu, senjatanya siap di tangan. “Kau tunggu di sini,” katanya cepat, menatap sekeliling dengan kewaspadaan yang nyaris menjadi naluri.
Britney, yang duduk di kursi penumpang sambil menggigiti roti kaleng sisa pagi tadi, mendengus. “Clay, kalau kau mati di dalam sana, siapa yang bakal nyetir truk ini?”
Clay memutar bola mata, tapi ujung bibirnya terangkat sedikit. “Kalau aku mati, ambil truknya dan cari cowok lain yang bisa nyetir.”
“Tidak semudah itu. Aku udah nyaman sama kau,” balas Britney cepat.
Clay menatapnya sekilas, lalu masuk ke dalam toko dengan langkah ringan namun sigap. Suara bel pintu yang masih tergantung di atas bergemerincing pelan, lalu hening.
Beberapa menit kemudian, ia muncul kembali sambil membawa dua karung besar. “Benih sayur dan buah. Masih banyak yang bagus.”
Britney turun, membantu menurunkannya ke bak truk. “Jadi kau benar-benar mau jadi petani sekarang?”
“Kalau kita ingin hidup lebih lama, ya. Dunia nggak bakal kirimkan makanan kaleng tiap minggu.”
Britney tertawa kecil. “Petani yang bisa bunuh zombie. Gaya baru.”
Mereka melanjutkan perjalanan. Jalanan menuju utara semakin sepi. Rumah-rumah berguguran di pinggir jalan seperti bangkai raksasa, ditelan waktu dan kesunyian. Mereka juga tak lupa singgah ke toko senjata. Mengingat pistol milik Britney pelurunya sudah tinggal dua. Di sana mereka memgambil banyak pistol, senapan, alat panah dan senjata lainnya.
Sekitar satu jam kemudian, truk berhenti lagi. Di depan mereka berdiri sebuah pagar besi tinggi, masih kokoh, dengan gerbang otomatis yang setengah terbuka. Di baliknya, pohon-pohon besar menaungi jalan masuk menuju sebuah bangunan megah di kejauhan.
Britney menatap kagum. “Itu… mansion?”
Clay mengangguk. “Kelihatannya masih utuh. Dan kalau pagar ini kokoh, mungkin tempat ini aman.”
Ia turun, memeriksa sekitar, lalu membuka gerbang dengan sedikit usaha. Truk mereka masuk perlahan, ban menimbulkan suara gemerisik di jalan berkerikil.
Begitu mereka mendekat, mansion itu terlihat lebih megah dari dugaan. Dinding putihnya tertutup sulur tanaman liar, tapi jendelanya masih utuh. Di halaman depan, ada air mancur kering dan taman luas yang bisa dijadikan kebun nanti.
Britney menatap sekeliling sambil berseru pelan, “Clay, ini sempurna. Kita bisa hidup di sini.”
Clay menatap bangunan itu, lalu mengangguk pelan. “Kita lihat dulu apa ada tamu tak diundang.”
Ia membuka pintu besar mansion itu. Bau debu bercampur busuk segera menyeruak. Langit-langit tinggi, chandelier berdebu, dan karpet merah pudar menyambut mereka. Suasana mencekam tapi masih terasa jejak kemewahan masa lalu.
Britney menutup hidungnya. “Aroma… elegan bercampur kematian.”
Clay mengangkat alis. “Kau makin jago bikin kalimat.”
Suara berderit tiba-tiba terdengar dari lantai atas. Clay langsung menegakkan tubuh, mengarahkan senjatanya ke arah tangga. Dari bayangan muncul sosok perempuan bergaun tidur putih, wajahnya pucat membiru, matanya kosong, tapi masih memancarkan sisa kecantikan masa lalu.
Britney tertegun. “Oh Tuhan… itu Jennifer Collins. Aktris yang main di Love After Rain.”
Clay sempat melirik. “Kau yakin?”
Britney mengangguk cepat. “Ya. Aku pernah nonton semua filmnya.”
Sebelum mereka sempat bicara lebih lanjut, suara geraman lain terdengar dari arah dapur. Dua sosok lain muncul, pelayan berseragam hitam, wajah mereka rusak, kulit menggantung, mata kosong.
Clay tak menunggu lama. “Brit, mundur.”
Britney menyingkir ke belakang sofa, sementara Clay menyerang dua zombie itu dengan pedangnya dengan cepat. Dua zombie pelayan ambruk, tapi Jennifer masih melangkah mendekat sambil mengeluarkan desahan berat.
Clay menegakkan senjata, siap mengayunkan pedang. Tapi tiba-tiba Britney menahan tangannya. “Tunggu!”
“Britney, dia sudah terinfeksi!” seru Clay.
“Clay! Dia kita bisa jadikan bahan percobaan pertama!"
Clay menatapnya lama. "Kau benar..."
Hening sesaat. Clay mengembuskan napas keras, lalu menurunkan senjatanya sedikit. Clay dan Britney memindahkan Jennifer ke kamar tamu di lantai bawah, mengikatnya dengan sabuk kulit di tempat tidur besar. Jennifer beberapa kali memberontak dan menggeram pelan, dia bahkan nyaris menggigit Britney.
Clay menyiapkan suntikan dari perlengkapan medis darurat yang sempat Britney temukan di rumah sakit. “Kau yakin mau melakukan ini?” tanyanya sekali lagi.
Britney mengulurkan tangannya tanpa ragu. “Kau yang bilang, aku ini keras kepala. Jadi ya, lanjutkan saja.”
Clay menarik sedikit darah dari lengannya, menatap cairan merah itu dalam botol kecil. Cahaya senja menembus jendela, membuat warnanya berkilat keemasan. Ia berusaha menyembunyikan rasa khawatir di balik wajah dingin, tapi tangannya sempat bergetar.
Britney memperhatikan itu, lalu menepuk bahunya pelan. “Tenang saja, Dokter Clay. Pasiennya kebal terhadap stres.”
Clay menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku tahu kau kuat.”
“Dan kau mencintaiku apa adanya,” balasnya cepat.
Clay menggeleng, lalu menyuntikkan darah itu ke lengan Jennifer yang dingin. Sosok itu mengerang pelan, tubuhnya menegang sebentar, lalu diam.
Mereka menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh. Tak ada perubahan berarti.
Clay berdiri di sisi tempat tidur, waspada. Britney duduk di kursi, menatap Jennifer tanpa berkedip. “Mungkin butuh waktu,” katanya pelan.
“Mungkin,” balas Clay. Tapi matanya terus mengawasi setiap gerak.
Matahari tenggelam. Malam turun. Di luar, angin menerbangkan daun-daun kering, menimbulkan suara serupa bisikan.
Mereka membuat api kecil di perapian ruang tamu. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, Clay terlihat sedikit santai. Ia bersandar di kursi besar, sementara Britney duduk di lantai dengan selimut menutupi bahunya.
“Lucu ya,” kata Britney tiba-tiba. “Dulu aku cuma mikirin baju apa yang mau kupakai ke sekolah. Sekarang aku mikirin gimana caranya menyelamatkan dunia.”
Clay meliriknya. “Kalau kau berhasil, aku bakal pastikan patungmu dipajang di depan istana zombie.”
Britney tertawa kecil. “Lucu juga. Aku dan zombie berdampingan dalam sejarah.”
Clay menatap nyala api sebentar, lalu berkata pelan, “Kau tahu, aku takut kehilanganmu.”
Britney menoleh, menatapnya lama. “Clay, aku masih di sini.”
“Untuk sekarang,” gumam Clay. “Tapi dunia ini bisa ambil apa pun kapan pun.”
Britney mendekat, menyandarkan kepalanya di bahu Clay. “Kalau dunia mau ambil aku, suruh dia antre. Karena aku belum selesai hidup.”
Clay tersenyum samar, lalu merangkulnya pelan. “Kau keras kepala, Brit.”
“Dan itu sebabnya kau mencintaiku,” balasnya dengan nada ringan.
“Ya,” jawab Clay, suaranya lembut, “dan itu juga yang bakal bikin aku gila suatu hari nanti.”
Mereka duduk diam lama, hanya mendengarkan suara api dan desiran angin di luar dan tertidur bersama.
Keesokan pagi, mereka kembali ke kamar tempat Jennifer diikat. Wanita itu masih terbaring diam, tapi warna kulitnya terlihat sedikit berbeda, lebih hidup, meski pucat. Clay menatapnya dengan kening berkerut.
“Lihat itu,” bisik Britney. “Ada perubahan.”
Clay mencondongkan tubuh, menatap nadi Jennifer. Denyutnya, samar tapi ada. Ia menatap Britney, matanya melebar.
“Brit…”
Britney tersenyum kecil, mata berkaca-kaca. “Mungkin… mungkin ini berhasil.”
Clay memegang tangan Britney, menggenggam erat. Untuk sesaat, keduanya terdiam, hanya menatap wanita yang setengah hidup di depan mereka.
“Aku janji,” kata Clay akhirnya, suaranya bergetar halus, “kalau ini benar-benar berhasil, kita nggak cuma bertahan. Kita akan mulai membangun dunia lagi.”
Britney mengangguk perlahan. Tapi mendadak dia memegangi perut dan merasa mual. Britney bergegas ke wastafel untuk memuntahkan sesuatu. Clay yang cemas, segera menyusul. Dia tak lupa mengunci pintu tempat Jennifer berada.
"Kau baik-baik saja kan?" tanya Clay.
"Ya... Hanya sedikit mual. Sepertinya maag aku kambuh," jawab Britney
SELAMAT DATANG peradaban baru.
Itulah kalimat yang layak diucapkan saat ini.
Manusia ditakdirkan menjadi khalifah, pembawa perubahan dan pembentuk peradaban di muka bumi.
Mengubahnya dan memicu lahirnya peradaban baru bagi umat manusia.
Virus zombie yang mewabah di hampir semua daerah ini telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat bahkan sangat tidak siap dengan kehadiran wabah yang mematikan ini.
Manusia hadir untuk bertindak melakukan perubahan dan membangun peradaban yang diamanatkan oleh Allah SWT.
Dimana semua orang bisa hidup damai, membuat sebuah daerah mampu bangkit dan berkontribusi dalam peta peradaban...🤩🥰