Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31
Kinara turun ke lantai bawah dan mendapati para pelayan sibuk menyiapkan sarapan, namun suasananya sepi. Tidak ada suara tawa Aksa yang biasanya berlarian di sekitar meja makan, tidak pula ada tatapan dingin Arman yang kerap mengintai dari kursi rodanya. Hanya bunyi peralatan makan dan langkah kaki para pelayan yang terdengar pelan.
Kinara mengernyit, perasaannya mendadak kosong. Bu Hasna melintas sambil membawa nampan. Kinara segera menghampirinya.
“Bu, Aksa ke mana?” tanyanya.
Bu Hasna tersenyum tipis. “Tuan kecil berangkat pagi-pagi sekali, Nyonya. Hari ini cuma sekolah, tidak ada les. Katanya cuma satu jam.”
Kinara mengangguk pelan. “Kalau Bapak?”
“Tuan Arman ada di taman belakang sejak tadi,” jawab Bu Hasna, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Kinara menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah ke arah taman belakang. Udara pagi masih sejuk, embun belum sepenuhnya menguap. Begitu tiba di sana, langkahnya langsung terhenti.
Pria itu berada beberapa meter darinya, berdiri dengan susah payah sambil berpegangan pada sandaran kursi roda. Kinara refleks menahan napas. Ia melihat dengan jelas bagaimana Arman perlahan melepaskan pegangan, lalu mencoba melangkah.
Wajah Arman menegang, rahangnya mengeras menahan sakit. Kakinya mulai bergetar, tubuhnya goyah.
“Mas Arman!” seru Kinara panik.
Dia berlari secepat yang ia bisa. Namun semuanya terjadi terlalu cepat. Tubuh Arman oleng ke depan, kehilangan keseimbangan. Kinara berhasil meraih tubuh pria itu, tetapi perbedaan tinggi dan berat membuatnya ikut terhuyung.
keduanya terjatuh ke rumput. Kinara meringis, namun yang ia sadari pertama kali bukan rasa sakit, melainkan posisi mereka. Tubuhnya berada tepat di atas Arman, kedua tangan menumpu di dada pria itu. Wajah mereka begitu dekat, napas saling bersentuhan.
Waktu seolah berhenti, Arman menatap Kinara tanpa berkedip. Ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam di matanya sesuatu yang membuat dada Kinara bergetar tanpa alasan jelas.
“Kamu … tidak apa-apa?” suara Arman terdengar rendah, khawatir.
Kinara menelan ludah. “Aku … aku baik-baik saja,” jawabnya pelan, masih belum bergerak.
Hening menyelimuti taman. Hanya suara daun yang bergesek tertiup angin. Kinara baru sadar betapa cepat detak jantungnya, betapa dekat jarak mereka saat ini.
Baru setelah beberapa detik berlalu, Kinara tersadar akan posisinya dan buru-buru bangkit, pipinya merona. Arman menahan senyum kecil yang nyaris tak terlihat.
Kinara baru saja berdiri tegak ketika matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang membuat langkahnya terhenti seketika.
Wajahnya memanas, dia refleks memalingkan pandangan, jantungnya berdegup tak karuan. Ada jeda canggung yang sangat singkat namun cukup jelas. Arman tentu menyadarinya. Pria itu menatap Kinara dengan alis sedikit terangkat, lalu sudut bibirnya bergerak tipis, nyaris seperti senyum yang tertahan.
Kinara, gugup dan salah tingkah, malah keceplosan,
“Te—ternyata … bisa berdiri juga.”
Begitu kata-kata itu keluar, Kinara ingin menelan lidahnya sendiri. Arman terdiam sepersekian detik, lalu menjawab datar namun jelas,
“Yang lumpuh itu kakiku, Kinara. Bukan … barangku.”
Seolah disambar petir, Kinara membeku.
“Mas Arman!” serunya spontan, wajahnya merah padam hingga ke telinga. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, benar-benar ingin menghilang dari dunia.
Arman terkekeh pelan. Bukan tawa keras, hanya embusan suara rendah yang hangat sesuatu yang sangat jarang terdengar darinya. Setelah itu, Arman berdehem kecil dan berkata lebih tenang,
“Bantu aku duduk di kursi roda.”
Kinara buru-buru mengangguk, masih menunduk malu. Ia mendekat, membantunya dengan hati-hati, berusaha fokus pada tangannya dan kursi roda, bukan pada kejadian barusan. Begitu Arman kembali duduk, Kinara mendorong kursi roda itu perlahan.
“Aku ingin mandi,” ucap Arman kemudian.
Kinara kembali mengangguk. “Baik.”
Tanpa banyak bicara, Kinara membawanya masuk ke dalam rumah, menuju kamar Arman. Sepanjang lorong, suasana terasa sunyi namun anehnya tidak canggung justru hangat, meski sisa rasa malu masih menggantung di udara.
Di dalam kamar, Arman menghentikan laju kursi rodanya tepat di depan kamar mandi. Tatapannya beralih pada Kinara, sedikit ragu namun mantap.
“Bisa tolong siapkan air di bathtub?” ucapnya pelan. “Sekalian … ambilkan baju mandi dan baju ganti.”
Kalimat itu membuat Kinara terpaku sepersekian detik. Wajah Kinara kembali memerah, namun ia mengangguk.
“Iya.”
Dia bergerak ke kamar mandi, membuka keran, memastikan suhu air pas, tidak terlalu panas. Tangannya sedikit gemetar saat menata handuk dan pakaian di kursi kecil. Ada perasaan canggung, malu, tapi juga anehnya dia percaya. Arman mempercayainya di ruang paling pribadi dalam hidupnya.
Saat Kinara kembali, Arman sudah melepaskan kemejanya. Ia hanya mengenakan celana pendek. Seketika Kinara menahan napas.
Tubuh Arman terlihat jelas bahu lebar, dada bidang, lengan kekar dengan otot yang terbentuk rapi. Meski kakinya belum sepenuhnya pulih, tak ada yang mengurangi kesan atletis pria itu. Bekas perjuangan bertahun-tahun tergambar pada tubuhnya, bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai bukti ketahanan.
Kinara buru-buru mengalihkan pandangan, menelan ludah.
“A-airnya sudah siap.”
Arman mengangguk. Dengan bantuan Kinara, ia berpindah perlahan ke dalam bathtub. Kinara berhati-hati, memastikan pegangan tangannya kuat, menjaga jarak sebisanya meski ruang itu terasa sempit. Begitu Arman berendam, uap tipis memenuhi kamar mandi. Arman menghela napas panjang, jelas merasa lebih rileks.
“Terima kasih,” ucapnya tulus.
Kinara tersenyum kecil, masih dengan pipi hangat. “Sama-sama.”
Air di bathtub sudah hampir penuh. Kinara baru menyadarinya saat permukaannya bergoyang dan meluber ke lantai marmer.
“Astaga—”
Ia buru-buru berdiri untuk mematikan keran. Namun gerakannya terlalu tergesa. Telapak kakinya menginjak lantai yang licin, tubuhnya oleng, dan sebelum sempat berpegangan, Kinara terjatuh ke dalam bathtub yang sama.
Air muncrat ke mana-mana. Piyamanya basah kuyup menempel di tubuhnya. Kinara berteriak kecil, antara kesal dan malu.
“Ya ampun! Mas Arman!”
Dia berusaha bangkit, ingin segera keluar dari bak mandi, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Pegangan itu kuat, hangat, dan membuat Kinara terdiam.
“Mandi saja sekalian,” ucap Arman tenang, seolah kejadian barusan bukan apa-apa.
Wajah Kinara seketika memerah. Jarak mereka terlalu dekat. Terlalu sadar akan keberadaan satu sama lain. Nafas Arman terasa di kulitnya.
“Mas...”
Belum sempat Kinara menyelesaikan kalimatnya, Arman justru bergerak lebih dulu. Entah keberanian dari mana, Arman mendekatkan wajahnya. Sangat dekat dan terlalu dekat untuk menghindar. Dan dalam satu detik yang terasa panjang dan bibir mereka bersentuhan.
Bukan lama, tidak dalam. Tapi cukup untuk membuat Kinara membeku. Matanya melebar, jantungnya berdentum keras. Begitu kesadarannya kembali, Kinara langsung mendorong dada Arman.
“A-apa yang Mas lakukan?!”
Ia berdiri tergesa, hampir terpeleset lagi, lalu keluar dari bathtub tanpa menoleh. Air menetes dari rambut dan bajunya saat ia berlari meninggalkan kamar mandi.
Di dalam sana, Arman hanya terdiam sejenak lalu tersenyum pelan. Ia mengangkat ibu jarinya, menyentuh bibirnya sendiri.
“Hmm,” gumamnya lirih, nyaris manis.
Di luar kamar mandi, Kinara bersandar di dinding. Tangannya menekan dada yang berdegup tak karuan. Bibirnya disentuhnya pelan, wajahnya panas bukan main dan terasa malu, panik, dan entah kenapa berdebar. Dia masih berdiri di sana saat ponselnya berdering.
Nama Rome muncul di layar. Kinara mengernyit lalu mengangkatnya.
“Tuan Rome?”
Suara pria itu terdengar panik.
[Kinara, kamu harus ke kantor sekarang. Ada masalah besar. Tolong, ini mendesak.]
“Tapi hari ini aku libur...”
[Aku tahu. Tapi aku benar-benar butuh kamu sekarang.]
Kinara menutup mata sejenak. Dadanya masih berdebar, pikirannya kacau, namun nada Rome tak memberi ruang penolakan.
“Baik,” jawabnya akhirnya. “Aku ke sana.”
Panggilan terputus. Kinara menatap pintu kamar mandi dengan gugup lalu ke ponselnya.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat
dasarrrr orang 🤣🤣