Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan Terakhir
Suara mesin helikopter yang mati mendadak menyisakan kesunyian yang mengerikan, hanya desau angin yang menghantam badan pesawat saat mereka mulai terjun bebas menuju permukaan laut. Di layar monitor yang retak, wajah digital Renata masih tersenyum, sebuah pemandangan yang kontras dengan jeritan kepanikan dari mulut Bram di kursi pilot.
"Elena, pegangan!" teriak Bram sambil mati-matian menarik tuas manual, mencoba melakukan pendaratan darurat yang hampir mustahil.
Elena tidak mendengar. Matanya terkunci pada mata Panji yang asli. Pria itu, meski baru bangun dari tidur panjang selama sepuluh tahun, memegang tangan Elena dengan kekuatan yang sangat nyata. Getaran di tangannya bukan karena takut, tapi karena sinkronisasi data yang sedang menggila di dalam kepalanya.
"Dia... dia sudah masuk ke Red Gate, Dek Anin," bisik Panji, suaranya parau tertutup bising angin. "Renata nggak cuma mau menguasai dunia. Dia mau menghapusnya. Dia pikir manusia adalah bug dalam sistem Phoenix."
"Kita harus gimana, Aa?" Elena berteriak di tengah guncangan hebat. "Kamu bilang kamu punya aksesnya!"
Panji menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di matanya yang sayu. "Akses itu... akses itu ada di dalam dirimu, bukan di aku. Adrian nggak pernah percaya pada laki-laki. Dia tahu pria bisa dibeli, bisa disiksa. Tapi dia percaya pada cintamu."
BRAKK!
Helikopter itu menghantam permukaan air dengan benturan yang memekakkan telinga. Air laut yang dingin langsung menyerbu masuk ke dalam kabin. Gelap, asin, dan menyesakkan. Elena merasa paru-parunya terjepit, namun sebuah tangan kuat menariknya keluar dari bangkai helikopter sebelum air menelan kesadarannya sepenuhnya.
Mereka terdampar di atas sekoci karet yang sempat mengembang otomatis. Di sekeliling mereka, hanya ada hamparan laut yang kini dihiasi oleh garis-garis putih di langit, jejak asap dari puluhan rudal nuklir yang baru saja diluncurkan dari pangkalan-pangkalan rahasia di seluruh dunia.
"Ini akhir dari semuanya," gumam Bram sambil menatap langit dengan tatapan kosong. "Kita gagal."
"Belum," sela Panji. Dia merangkak mendekati Elena, menggenggam kedua bahunya. "Dek Anin, tolong dengarkan aku. Di dalam micro-SD yang kamu telan itu, ada lapisan tersembunyi yang nggak bisa dibuka oleh sistem mana pun kecuali suhu tubuhmu mencapai titik kritis akibat rasa sakit dan cinta yang ekstrem. Adrian menyebutnya protokol langit runtuh."
Elena menatapnya bingung. "Maksudnya?"
"Itu adalah perintah hard-reset global. Jika diaktifkan, semua satelit di atmosfer akan meledakkan diri. Semua jaringan internet akan hangus. Dunia akan kembali ke zaman kegelapan... tapi kita akan selamat dari nuklir itu karena sistem pengunciannya juga akan hancur."
"Tapi Aa," Elena terisak, "kalau satelit itu meledak, kesadaranmu... memori yang baru saja tersambung itu... kamu juga akan hilang, kan?"
Panji tersenyum, sebuah senyum yang sangat mirip dengan klon yang dicintai Elena. "Aku lebih baik hilang sebagai manusia daripada hidup selamanya sebagai mesin yang menonton kehancuranmu, Dek Anin."
Tiba-tiba, suara Renata kembali terdengar, kali ini melalui jam tangan taktis milik Bram yang masih aktif.
"Sepuluh menit lagi, Elena. Rudal pertama akan menghantam kota Sumedang. Lalu New York. Setelahnya, lalu London. Indah, bukan? Sebuah pembersihan besar-besaran."
Elena menatap laut, lalu menatap Panji. Dia teringat Adrian. Dia teringat semua penderitaan yang dia lalui hanya untuk sampai di titik ini. Dia menyadari bahwa takdirnya bukan untuk memiliki Panji, tapi untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari dunia ini.
"Gimana cara aktifinnya, Aa?" tanya Elena dengan suara yang mendadak dingin dan mantap.
"Kita harus melakukan neuro-link manual," jawab Panji. "Aku harus menyentuh pusat saraf di tengkukmu, dan kamu harus membayangkan kenangan paling indah yang kita miliki... kenangan yang paling membuatmu ingin hidup. Frekuensi emosi itu yang akan memicu kodenya."
Elena memejamkan matanya. Di tengah guncangan ombak dan bau mesiu yang terbawa angin, dia mulai memanggil kembali memori-memorinya. Bukan memori tentang ledakan atau pengkhianatan, tapi memori tentang tawa Panji di dermaga, tentang janji Adrian di masa lalu, tentang rasa hangat saat mereka pertama kali bertemu di kantor Asmara Cafe.
Panji menempelkan jemarinya di tengkuk Elena. Elena merasakan aliran listrik yang lembut, sebuah koneksi yang terasa lebih intim daripada ciuman mana pun.
"Aku mencintaimu, Dek Anin. Di setiap kehidupan, di setiap simulasi," bisik Panji di telinganya.
Cahaya biru mulai memancar dari tubuh mereka berdua. Cahaya itu semakin terang, menembus kabut laut, menantang kegelapan langit malam.
Di layar jam tangan Bram, kode-kode Renata mulai berantakan. Suara Renata yang tadi tenang kini berubah menjadi jeritan histeris.
"Tidak! Apa yang kalian lakukan?! Tolong, hentikan! Kalian akan menghancurkan semuanya!"
"Bukan semuanya, Renata," desis Elena dalam hatinya. "Cuma kamu."
Tiba-tiba, sebuah ledakan cahaya raksasa terjadi di langit. Satu per satu, titik-titik cahaya satelit di atas sana meledak, menciptakan kembang api raksasa yang mengerikan sekaligus indah. Jejak-jejak rudal nuklir di langit mendadak melengkung, jatuh ke laut tanpa meledak karena kehilangan sinyal pemantiknya.
Dunia mendadak menjadi sangat sunyi. Tidak ada lagi sinyal radio. Tidak ada lagi suara AI. Tidak ada lagi Phoenix.
Panji terkulai lemas di pelukan Elena. Cahaya di matanya telah padam. Dia masih bernapas, tapi matanya kosong. Neuro-link itu telah menghapus semua data yang tersambung, termasuk memori simulasi sepuluh tahun yang dia miliki.
"Aa?" panggil Elena, suaranya bergetar. "Aa Panji, ini aku... Anin."
Panji menatap Elena. Dia berkedip pelan, terlihat sangat bingung. "Siapa... siapa kamu? Di mana aku?"
Elena membeku. Protokol itu benar-benar menghapus segalanya. Pria di depannya adalah Panji yang asli, tapi dia adalah Panji yang tidak mengenal Elena. Semua cinta yang mereka bangun melalui klon dan simulasi telah menguap bersama satelit yang meledak.
Bram menatap mereka dengan sedih. "Dia selamat, Elena. Tapi dia... dia kembali ke titik nol. Sepuluh tahun memorinya hilang."
Elena menangis sesenggukan, namun dia memeluk Panji dengan erat. "Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Aku akan mengenalkan diriku lagi. Sebanyak apa pun yang dibutuhkan."
Namun, di tengah kesedihan itu, sebuah suara mesin perahu mendekat. Bukan perahu penyelamat. Itu adalah perahu nelayan tua yang terlihat mencurigakan. Di atas perahu itu, berdiri seorang pria yang mengenakan jubah hitam, wajahnya tertutup masker.
Pria itu melompat ke sekoci mereka, memegang sebuah alat kecil yang masih memancarkan cahaya merah.
"Kalian pikir Renata adalah musuh terakhirnya?" pria itu bertanya dengan suara yang sangat familiar.
Elena menoleh, matanya membelalak. "Mas... Budi? Kamu masih hidup?"
Pria itu membuka maskernya. Itu bukan Budi. Itu adalah pria yang wajahnya sangat mirip dengan Adrian, namun dengan versi yang jauh lebih tua dan lebih licik.
"Halo, Elena. Terima kasih sudah membersihkan kekacauan Renata dan Panji untukku," ujar pria itu. "Phoenix memang sudah mati. Tapi Proyek Icarus baru saja dimulai. Dan untuk itu, aku butuh kunci yang masih ada di dalam darahmu."
Pria itu menyuntikkan sesuatu ke leher Elena sebelum Bram sempat bereaksi. Pandangan Elena mendadak gelap. Hal terakhir yang dia lihat adalah pria itu menyeret Panji yang kebingungan ke atas perahunya.
"Siapa... siapa kamu?" tanya Panji pada pria itu.
Pria itu tersenyum dingin. "Aku adalah penciptamu yang sebenarnya, Panji. Adrian cuma asistenku yang berkhianat. Sekarang, ayo kita selesaikan apa yang seharusnya dimulai sejak dulu."
Elena pingsan dengan satu pertanyaan terakhir di benaknya, “Apakah perjuangannya selama ini hanyalah bagian dari rencana orang lain yang lebih besar lagi?”