Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Doa Raisha
Rezky masih menunggu istrinya menyelesaikan shalat dan berdoa. Kepala Raisha sedikit menunduk, matanya masih merah, kendati air mata sudah berhenti sejak tadi. Tangannya menengadah, memohon kebaikan kepada Rabbnya.
"Ya Allah…
Jika hari ini hatiku terasa berat, maka ringankanlah dengan kasih-Mu.
Jika langkahku mulai goyah, maka kuatkanlah aku dengan pertolongan-Mu.
Aku bukan hamba yang sempurna, tapi aku ingin menjadi istri yang baik… meski banyak hal yang tidak kumengerti." Raisha mulai terisak.
"Ya Rabb, lapangkanlah dadaku untuk menerima setiap ujian dalam rumah tanggaku.
Jadikan aku lebih sabar, lebih kuat lahir dan batin, dan jauhkan aku dari rasa putus asa.
Aku mohon, jangan biarkan aku membenci apa pun yang terjadi, tapi ajarkan aku untuk melihat hikmah-Mu di balik semuanya." Air mata Raisha kembali mengalir.
"Ya Allah, lembutkanlah hati suamiku.
Jadikan ia lelaki yang penuh kasih, yang mampu membimbing dan menjaga amanah yang Kau titipkan padanya.
Bukakan matanya untuk melihat bahwa aku mencintainya dengan tulus, bahwa aku ingin diperjuangkan, bukan disakiti." Isakan Raisha semakin terdengar."
"Ya Rabb, berkahilah pula ibu mertuaku.
Jadikan beliau sosok yang bisa menerimaku, menyayangiku seperti anak sendiri.
Hilangkanlah segala prasangka di antara kami, gantikan dengan kebaikan, ketenangan, dan saling pengertian."
"Dan jika aku belum pantas menjadi ibu, ajarkan aku untuk tetap bersyukur.
Jika waktunya belum tiba, tenangkanlah hatiku.
Jika Engkau punya rencana lain, kuatkanlah aku untuk menerimanya."
"Ya Allah… aku hanya ingin rumah tangga yang damai, hati yang tenang, dan cinta yang saling menguatkan.
Jika aku bersalah, tunjukkan jalannya.
Jika suamiku bersalah, lembutkan hatinya untuk memperbaiki."
"Aku titipkan semuanya pada-Mu, Rabb.
Karena hanya Engkau yang tahu betapa aku ingin bahagia tanpa harus melukai siapa pun." Suara Raisha lirih, tapi penuh getaran. Rezky yang duduk di belakangnya, mendadak terdiam. Kata-kata Raisha menyentuh hatinya lebih dalam dibandingkan semua nasihat yang pernah ia dengar.
Di tengah keheningan itu, Rezky menahan napas—matanya memanas, dadanya sesak. Untuk pertama kalinya ia benar-benar melihat betapa besar luka yang ditanggung Raisha sendirian dan betapa tulusnya perempuan itu tetap mendoakan kebaikan untuk dia dan ibunya.
Rezky bangkit dari duduknya saat Raisha menyudahi doanya.
"Cha, Maafkan aku, aku yang seharusnya menjaga hatimu.”Rezky langsung memeluk erat istrinya. Raisha kaget karena saking khusyuknya, dia tidak menyadari kalau suaminya sudah berada di kamarnya.
Raisha tidak menjawab. Dia hanya mengusap hidungnya pelan dan masih memunggungi Rezky yang memeluknya dari belakang.
Rezky terus memeluk punggung Raisha dengan campuran rasa bersalah dan penyesalan yang begitu berat hingga dadanya ikut sesak.
"Aku minta maaf.” Suaranya pecah, jujur, tanpa pertahanan.
Raisha mengangkat wajah sedikit, dan membalikan badannya. “Untuk apa?”
"Untuk semuanya,” jawab Rezky lirih. “Untuk membiarkan ibu bicara seenaknya padamu, untuk diamnha aku, padahal kamu yang kena. Untuk tidak berdiri di samping kamu seperti seharusnya.”
Kali ini Raisha menatap Rezky. Mata mereka bertemu. Ada luka yang tidak ingin Raisha tunjukkan, tapi jelas terlihat oleh Rezky. Dan itu membuatnya tertusuk lebih dalam.
"Aku cuma… nggak tahu harus berbuat apa.” Rezky melanjutkan, menunduk. “Aku tahu ibu sayang sama aku, tapi itu bukan alasan buat dia menekan kamu sampai seperti itu. Dan aku yang paling salah karena membiarkannya terjadi.”
Raisha menggigit bibir, menahan emosi yang muncul lagi. "Icha capek, Mas. Icha juga sama, ingin segera memiliki anak. Tapi kalau Allah belum ngasih kepercayaan kepada kita, kita mau apa? dan Icha nggak mau diancam. Icha nggak mau rumah tangga kita mulai dengan paksaan.”
Rezky mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Aku tahu, Cha. Dan kamu bener. Soalnya anak adalah hal prerogatif Allah, kita tidak bisa mamaksa-Nya untuk segera dikasih amanah. Pokoknya, aku janji, aku bakal lindungin kamu dari tekanan itu. Dari siapa pun—termasuk ibuku.”
"Aku bakal bicara sama ibu,” ujar Rezky lebih tegas. “Dan aku nggak akan biarkan dia mengultimatum kamu lagi. Aku janji, Cha, aku nggak akan biarkan kamu sedih sendirian." Butir air mata jatuh dari mata Raisha—bukan karena marah, tapi karena lega yang akhirnya menemukan tempatnya.
"Beneran kamu mau ngomong sama ibu?” Tanyanya pelan.
"Beneran,” Jawab Rezky, tanpa ragu. “Aku suamimu, Cha. Tugas aku ngejagain kamu. Aku minta maaf karena selama ini aku gagal. Tapi mulai saat ini, aku bakal benerin semuanya.”
Raisha menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. Rezky menatapnya dengan lembut, lalu mengusap punggung tangannya, lalu mencium kening dan kepalanya.
"Terima kasih, sudah mau dengar Icha” bisiknya lirih.
***
Telepon dari Allysa baru saja terputus, tetapi nama gadis itu masih menyala di layar ponsel Nadia seolah menahan ujung-ujung kecemasan yang menyelinap ke dadanya. Nadia duduk di sisi ranjang, memegangi ponsel dengan kedua tangan yang sedikit gemetar. Kamar itu sunyi, hanya terdengar sayup-sayup suara kendaraan dari jalanan Jakarta yang masih padat di malam hari itu. Tetapi di kepala Nadia, semuanya hiruk-pikuk.
Allysa tidak banyak bicara tadi—suaranya terdengar terburu-buru, seolah menahan sesuatu. Tapi cukup untuk membuat Nadia sadar bahwa Roy, lelaki yang mencintainya itu, kini mengetahui kenyataan bahwa dia sudah menikah dengan Rizal. Dan yang lebih membuat Nadia tidak tenang adalah cara Allysa menceritakan bagaimana Roy bereaksi—tidak stabil, emosional, seperti seseorang yang sedang kehilangan pegangan.
Nadia menggigit bibirnya. Bayangan Roy tiba-tiba muncul dalam benaknya: tatapan tajam yang dulu bisa berubah lembut saat bicara dengannya, suara yang selalu penuh keyakinan, dan sikap keras kepala yang membuatnya susah ditebak. Jika Roy benar-benar terluka, jika dia benar-benar merasa dikhianati, apakah dia akan nekat?
"Tidak mungkin dia datang ke Jakarta, kan?” Tanya Nadia pada dirinya sendiri, tapi suaranya terdengar rapuh.
Dia memejamkan mata, meremas ujung selimut. Rumah tangganya dengan Rizal baru saja dimulai. Baru beberapa hari sejak mereka resmi menjadi suami istri. Masih banyak yang harus dia pelajari, dia bangun, dia jaga. Dia tidak ingin masa lalu—apalagi sosok seperti Roy yang notabene adalah ayah biologis bayi yang dikandungnya kini—menjadi badai pertama yang menggoyahkan perahu kecil itu. Namun ketakutan itu tetap merayap.
Di membayangkan Roy berdiri di depan pintu rumah, muncul tanpa peringatan. Membayangkan Roy melabrak Rizal. Membayangkan suara tinggi, tuduhan, luka lama yang kembali dibuka paksa. Membayangkan semuanya hancur bahkan sebelum sempat menguat.
Nadia mengusap wajahnya berkali-kali, berusaha mengusir ketegangan yang menusuk-nusuk pikirannya. “Tidak, tidak boleh terjadi.”
Ia bangkit, berjalan mondar-mandir di sisi tempat tidur. Nafasnya pendek, otaknya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk. Haruskah dia memberitahu Rizal? Atau justru membuat pria itu semakin resah? Haruskah ia kembali menelepon Allysa untuk memastikan keadaan Roy? Atau malah membuat keadaan makin ruwet?
Nadia meraih dadanya, merasakan degup yang lebih cepat dari biasanya.
"Aku takut…” Akhirnya ia berbisik jujur pada dirinya sendiri.
Takut Roy datang. Takut Roy mengacau. Takut masa lalunya merusak sesuatu yang baru saja dia bangun dengan penuh doa dan harapan.
Dan di tengah kecamuk itu, satu hal paling menyesakkan: dia tidak punya kendali atas apa pun yang akan Roy lakukan.
Hanya bisa menunggu. Dan berharap dunia tetap tenang. Setidaknya, untuk hari ini.
"Sayang, kenapa? Kok seperti gelisah?" Tetiba Rizal muncul di depannya, dengan kaos dan celana pendek. Dia baru saja selesai mandi.
"Nggak Sayang, ini aku baru aja terima telepon dari Allysa. Kamu masih ingat dia kan?"
"Allysa, o ya ya, ingat. Yang tinggi semampai berkacamata itu ya?"
"Yup."
"Kenapa dia?"
"Biasa, ngucapin selamat atas pernikahan kita. Katanya ikut bahagia. Semoga dia segera nyusul."
"Oh gitu. Kirain ada apa, soalnya kamu kelihatan gugup."
"Nggak, o ya ayo kita makan, aku sudah nyiapin makan malam untuk kita."
"Ok, aku juga sudah lapar ni."