Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Jejak Keterangan dan Kanvas di Kaki Gunung
Raka berdiri di peron stasiun utama kota, udara malam terasa dingin namun amarah di dadanya terasa panas. Ia tidak perlu panik; panik adalah emosi orang amatir. Luna telah meninggalkan keterangan yang cukup.
Setelah mendapatkan konfirmasi dari kepala stasiun yang tergiur oleh uangnya, Raka tahu tujuannya: Kota Puncak Sari. Sebuah kota kecil di kaki gunung, yang dikenal karena keindahan alam dan komunitas senimannya yang tenang—tempat yang pernah mereka kunjungi bersama Naira sebelum pernikahan. Luna memilih tempat itu karena memori damai, yang kontras dengan kekacauan yang ia ciptakan.
"Dia tidak lari ke tempat yang tidak dia kenal. Dia mencari tempat berlindung di masa lalu," gumam Raka pada dirinya sendiri, rasa hormat yang dingin menyeruak. Luna, ternyata, lebih pintar dari yang ia duga.
Raka tidak akan naik kereta; itu terlalu lambat. Ia segera mengatur mobil sewaan premium—hitam, gelap, dan anonim. Ia tidak membawa tas besar, hanya tas kerja yang berisi laptop dan beberapa gadget pelacakan.
Aku menciptakan kegilaannya, aku tahu di mana ia akan bersembunyi. Luna pikir ia bebas, tetapi ia hanya pindah dari satu kandang yang kumiliki ke kandang yang kumiliki di masa lalu. Aku akan membiarkan dia bernapas, tapi tidak terlalu lama. Aku harus menarik napas dari lehernya dan mengingatkannya bahwa udara yang ia hirup masih milikku.
Raka menyadari bahwa mengejar Luna di tengah kehamilan Naira adalah risiko terbesar, tetapi juga alibi terbaik. Ia hanya perlu mengatakan pada Naira bahwa ia pergi untuk mencari inspirasi baru untuk pekerjaannya setelah kekacauan Luna—sebuah kebohongan yang menguatkan citra dirinya sebagai pria yang bertanggung jawab dan lelah.
"Perburuan ini akan menjadi permainan paling jujur kita, Luna," bisik Raka, saat ia menekan gas, meninggalkan lampu-lampu kota yang ramai.
Sementara Raka memulai perjalanannya, Luna tiba di Kota Puncak Sari. Udara pegunungan yang bersih menerpa wajahnya. Ia menyewa sebuah kamar kecil di sebuah guest house tua yang dikelola oleh seorang wanita paruh baya yang tenang. Kamar itu memiliki jendela besar yang menghadap langsung ke lereng gunung yang hijau. Sempurna.
Begitu tiba, ia mengeluarkan lukisan-lukisannya dari ransel. Ia menyandarkannya di dinding. Warna-warna hitam dan merah itu terlihat kontras dengan dinding kamar yang sederhana dan terang. Mereka adalah hantu yang ia bawa serta.
Pemilik guest house, Ibu Santi, mengetuk pintu.
"Maaf mengganggu, Nak. Tapi kamar ini cukup dingin. Saya bawakan selimut tambahan. Saya lihat kamu membawa banyak kanvas?"
Luna tersenyum, senyum yang terasa asing di wajahnya. "Terima kasih, Bu. Ya, saya seorang pelukis. Saya datang ke sini untuk mencari cahaya baru."
"Bagus. Cahaya gunung ini murni, Nak. Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari," kata Ibu Santi lembut, lalu pergi.
Malam itu, Luna duduk di tepi jendela. Ia menatap bintang-bintang. Ia telah meninggalkan kekejaman terstruktur Raka, tetapi ia merasa kosong. Ia telah menemukan kebebasan, tetapi kebebasan itu terasa hampa tanpa kegilaan Raka yang mengesahkannya.
Ia mengambil selembar kertas kosong dan cat air yang tersisa. Ia mencoba melukis pemandangan gunung di depannya. Ia mencoba menggunakan warna Emerald Green yang ia janjikan pada Naira.
Namun, setiap goresan kuas terasa kaku. Pemandangan itu terlalu damai, terlalu jujur. Tangannya, yang terbiasa diatur oleh hasrat dan kebohongan, kini tidak tahu bagaimana merespons keindahan yang polos.
Ia akhirnya frustrasi, mencampur semua warna menjadi lumpur gelap di paletnya.
b
Aku meninggalkanmu karena aku bosan, Mas. Tapi sekarang aku tidak tahu bagaimana melukis tanpa instruksimu, tanpa ketakutanmu. Aku adalah kanvas kosong yang hanya bisa diisi oleh kekejamanmu. Apakah aku benar-benar dirimu, Mas?
Rasa ketakutan baru menyergapnya: mungkin Raka benar. Mungkin ia tidak bisa hidup tanpanya.
Dua hari berlalu. Luna mencoba rutin melukis, mencoba makan, mencoba menjadi 'seniman yang mencari inspirasi'. Namun, matanya terus mencari bayangan yang familiar.
Sementara itu, Raka telah tiba di kota sebelah. Dengan uang dan gadget pelacaknya, ia mulai menyisir semua tempat penginapan dan studio seni. Ia tahu, Luna akan mencari tempat yang sunyi.
Raka akhirnya tiba di Guest House milik Ibu Santi.
Raka berjalan ke meja resepsionis. Ia mengenakan jaket kulit sederhana, tampak seperti pria urban yang sedang mencari penginapan.
"Maaf, Bu. Saya seorang penulis. Saya sedang mencari tempat yang tenang untuk beristirahat. Apakah ada kamar yang kosong?" tanya Raka dengan senyum ramah yang selalu berhasil meluluhkan orang.
Ibu Santi tersenyum. "Ada satu, Pak. Di lantai atas. Tenang sekali. Hanya ada satu tamu lain, seorang pelukis muda. Dia baru datang dua hari lalu."
Raka menahan napas. Pelukis muda. Luna.
"Oh, bagus sekali. Mungkin saya bisa berkenalan dengannya. Mungkin kami bisa berbagi inspirasi. Apakah ia sering keluar?"
"Tidak, Nak. Dia selalu di kamarnya, menghadap jendela. Dia terlihat lelah, tapi sangat fokus pada kanvasnya. Dia membawa banyak lukisan abstrak," Ibu Santi menjelaskan, tanpa menyadari bahwa ia sedang menyerahkan kunci rahasia.
Raka membayar uang sewa kamar selama satu minggu penuh, tunai. Ia memastikan kamarnya berseberangan langsung dengan kamar Luna.
"Saya ingin kamar yang benar-benar sunyi, Bu. Saya tidak akan mengganggu pelukis muda itu," kata Raka, nadanya meyakinkan.
Saat Raka berjalan menaiki tangga kayu yang berderit, setiap langkahnya terasa seperti pukulan drum yang mengiringi takdir Luna. Ia tidak hanya menemukan Luna; ia telah mengunci diri di sangkar yang sama.
Raka tiba di lantai atas. Ia berdiri di depan pintu kamar Luna. Ia bisa mendengar keheningan di dalamnya. Ia tersenyum dingin.
"Aku selalu tahu kamu akan datang ke tempat ini, Luna. Kamu tidak bisa lari dari memori kita," bisik Raka.
Ia membuka pintu kamarnya yang berseberangan. Tirainya tipis. Dari sana, ia bisa memantau setiap langkah Luna.
Perburuan itu berakhir. Sandiwara dimulai lagi, tetapi kali ini, dinding pemisah mereka hanyalah setebal papan kayu dan tirai tipis.