NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 - Danau buatan dan Api Hijau

‎Dataran tinggi di selatan wilayah Lakantara dipenuhi debu dan teriakan para pekerja. Yarun Rahu Ama duduk di atas tandu, ditopang 4 laki-laki perkasa, dikelilingi sepuluh tentara bersenjata pedang perunggu. Rana Karu, jenderal berpakaian jubah serat rami dan kulit harimau, mengikuti dari belakang dengan mata waspada.

‎Mereka bertemu Sura Tana, pengawas pertanian, yang membawa mereka menelusuri danau buatan. Ribuan pekerja paksa para tawanan perang menyibukkan diri menggali tanah, tak dibayar, tak memiliki hak untuk menolak perintah.

‎Di antara mereka, lima perempuan kalah perang dipaksa menjadi suruhan Yarun Rahu Ama, membawa makanan dan minuman untuk pemimpin yang angkuh itu.

‎Seorang pekerja laki-laki yang sedang menggali menatap salah satu perempuan itu dengan mata penuh kemarahan ternyata dia adalah anaknya sendiri, yang dijadikan budak suruhan.

‎Hatinya bergejolak: "Yarun Rahu Ama berjanji tidak akan memperlakukan wanita sebagai tawanan jika kalah perang... tapi janji itu hanya dusta!"

‎Yarun Rahu Ama sendiri duduk dengan senyum puas, menatap aliran air yang akan segera mengisi danau buatan.

‎Ia tidak peduli pada penderitaan yang terjadi di bawahnya; yang penting baginya hanyalah menunjukkan kekuasaan.

‎Dengan angkuh, ia menarik 3 tali tambang yang menahan 3 pintu air sungai. Seketika, air deras mengalir dari 3 gunung, memenuhi danau buatan.

‎Para pekerja berhenti sejenak, menyaksikan air itu mengalir, campuran antara lega, takut, dan amarah.

Yarun Rahu Ama mencondongkan tubuh di tandu, menikmati kekuasaannya, sementara pekerja paksa menatap tanah dengan perasaan pahit kekuasaan yang sombong itu lah yang menindas mereka dan merampas hak-hak mereka, bahkan janji yang dulu diucapkan pun kini hanya jadi debu di udara.

‎Rana Karu melangkah perlahan menuju pekerja yang berteriak.

‎Dengan gerak tenang namun penuh ancaman, ia menghadapi laki-laki itu.

‎Tanpa kata, Rana Karu menampar mulutnya hingga terjatuh.

‎Setelah menarik rambut pekerja itu, suaranya terdengar dingin dan keras:

‎"Mulutmu tidak pantas menyebut nama Ama yang Agung!"

‎Rana Karu menekankan kuasanya, menundukkan kepala pekerja itu ke tanah, lalu melanjutkan:

‎"Ama-ku maha kuasa dan tidak ada tandingan. Janji tidak pantas didapatkan dari kalah oleh tuhanmu!"

‎Para pekerja yang menyaksikan adegan itu terdiam, merasakan ketakutan yang menindas sebuah pengingat bahwa kesombongan dan kekejaman Yarun Rahu Ama serta pengawalnya tidak bisa diganggu gugat.

‎Sura Tana, yang menyaksikan kekuasaan dan kesewenang-wenangan Yarun Rahu Ama, tetap menundukkan kepala sejenak.

Namun, matanya berbinar saat menunjukkan hasil kerja keras para pekerja yang telah digerakkan di bawah pengawasannya.

‎"Ini, Ama yang Agung," katanya dengan suara tenang namun penuh kebanggaan. "Danau buatan ini memiliki luas bibir danau 550 langkah kaki dan kedalaman setara tiga pria dewasa.

‎Danau dari 3 aliran sungai dari gunung selatan, timur dan barat.

‎Dengan ini, kekeringan yang selalu mengancam akan bisa diatasi.

‎Kekurangan air untuk bertani dan kebutuhan sehari-hari akan terpenuhi, bahkan ketika musim kemarau datang. Kini tak perlu lagi khawatir menghemat air di musim kemarau."

‎Yarun Rahu Ama menatap aliran air yang mengalir deras dari 3 gunung, tersenyum puas. Ia tidak peduli pada penderitaan yang terjadi untuk mencapai hasil ini.

Bagi sang pemimpin, danau itu bukan simbol kesejahteraan bagi rakyat melainkan bukti kuasa dan kekuasaannya.

‎Sura Tana tetap berdiri di samping danau, bangga atas pencapaian yang lahir dari kerja kerasnya dan ketekunan para pekerja, sekaligus menyadari bahwa hasil itu akan selalu dibayang-bayangi oleh kekejaman sang pemimpin.

‎Di lereng Gunung Salak, Rasi Laka tinggal sendiri di pondoknya yang sederhana. Di atas meja kayu, tersusun rapi serpihan meteor Api Hijau yang baru dibawanya, setiap potongan berkilau samar, memantulkan cahaya hijau kebiruan dari sisa debu meteor. Ia membaca wahyu yang menempel di pikirannya:

"Ku turunkan bara api langit untuk membuat senjata untuk melawan ketidakadilan, dan gunakanlah dengan bijaksana."

‎Matanya menatap sekeliling pondok. Di sana, terlihat beberapa tumpukan batu hasil pengumpulan Raka selama hampir sepuluh tahun.

Rasi Laka menatap tumpukan batu di sudut pondok. Ia membaca kembali wahyu yang terngiang:

‎‎"Di dalam batu, bila dibakar akan menghasilkan batu lebih keras; dari batu akan melunak bila dibakar."

‎Raka tak pernah membantah atau menanyakan alasannya, karena selalu nurut pada perkataan Rasi Laka.

‎Di sudut lain, ranting-ranting kayu disusun rapi, dikumpulkan dalam waktu yang sama. Di sampingnya, ratusan kendi berisi air menunggu untuk digunakan, dibawa Raka dengan sabar dan tekun.

‎Setiap benda, setiap persiapan, terasa penting dan penuh makna, meski bagi Raka alasannya tetap misterius. Pondok itu kini bukan sekadar tempat tinggal melainkan laboratorium kesabaran, ketekunan, dan persiapan untuk menghadapi ketidakadilan yang akan datang.

‎Rasi Laka menatap serpihan meteor Api Hijau di hadapannya, lalu membaca kembali wahyu yang terngiang di pikirannya:

‎"Kayu menjadi hitam, mampu menciptakan api panas lebih, dibarengi udara berhembus."

‎Matanya bergerak menelusuri ranting-ranting kayu yang dikumpulkan Raka selama bertahun-tahun. Kini jelas maksudnya: kayu itu akan dijadikan arang, bahan utama untuk menyalakan api panas yang diperlukan untuk menempaan senjata.

‎Ia menoleh ke ratusan kendi berisi air. Air itu bukan sekadar cadangan, tapi akan digunakan untuk mendinginkan dan mencelupkan tempaan agar logam tidak retak dan bisa dibentuk dengan sempurna.

‎Lalu matanya tertuju pada tumpukan batu yang sudah disusun rapi. Beberapa batu bahkan telah dipipihkan, agar mudah dibakar.

‎Batu-batu itu mengandung besi, dan segera akan dilebur untuk dibuat palu besi, alat utama untuk menempaan senjata dari meteor Api Hijau.

‎Segala persiapan itu arang, air, batu besi terasa sangat sistematis, meski bagi Raka alasannya tetap misterius. Pondok sederhana itu kini berubah menjadi bengkel purba, tempat di mana meteor langit, kayu, air, dan batu akan bersatu menjadi senjata untuk melawan ketidakadilan.

‎Di tepian sungai, Raka dan anak-anak sebayanya sedang bermain dan membakar talas untuk makan bersama. Tawa dan canda terdengar riang, hingga tiga pemuda baru dari desa sebelah datang mendekat.

‎Mereka menatap beberapa anak wanita dengan tatapan meremehkan, lalu mulai bertanya dengan nada paksa dan kasar, mencoba menyinggung hal-hal yang seharusnya pribadi, menanyakan apakah ada yang sudah haid dan ingin dijadikan istri.

‎Raka menatap mereka dengan tenang, merasa tindakan kekerasan dan pelecehan tidak pantas. Dengan sabar, ia melangkah maju dan berdiri di depan anak-anak perempuan itu, membela mereka.

‎Mendengar itu, ketiga pemuda baru dewasa merasa terganggu. Salah satu meninju Raka. Namun, Raka dengan mudah menahan pukulan itu, dan sekejap kemudian, tangannya meremukkan tangan lawan dengan cepat menghempaskan mereka ke tanah.

‎Raka terkejut. Ia tidak mengerti kenapa lawannya begitu lemah, padahal mereka terlihat lebih besar dan dewasa.

‎Pemuda lain mencoba menyerang lagi dengan tinju mendadak ke perut Raka merasakan terdorong mundur tapi bagi Raka itu seperti pukulan anak balita bahkan Raka tidak menunjukkan wajah kesakitan sama sekali, sehingga lawan tidak bisa melanjutkan.

‎Dalam hitungan detik, ketiga pemuda itu kabur kalang kabut, terheran-heran dan ketakutan. Anak-anak di sungai menatap Raka dengan kagum, sementara Raka sendiri hanya mengerutkan dahi, masih bingung dengan kekuatan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.

Saat Raka pulang ke desa setelah bermain di sungai, ia terkejut melihat tiga tamu dari desa sebelah menunggu di tepi jalan. Salah satunya adalah orang tua dari salah satu pemuda yang sempat membuat keributan di sungai. Wajahnya pucat, tangan anaknya masih menunjukkan bekas cengkraman yang memar, seolah pernah diremas dengan kekuatan yang luar biasa.

Kakek Gajo, yang melihat ketegangan itu, memanggil Raka dan menanyakan dengan suara serius: "Apa yang sebenarnya terjadi di sungai tadi?"

Raka menjelaskan dengan tenang, menceritakan kejadian di sungai-bagaimana tiga pemuda itu mencoba mengganggu anak-anak perempuan, dan bagaimana ia hanya membela mereka. Anak-anak sebaya Raka pun bersaksi, menambahkan keterangan mereka sendiri tentang keberanian dan tindakan Raka.

Mendengar kesaksian itu, wajah orang tua pemuda dari desa sebelah memerah. Malu dan tersadar, ia menunduk. Tanpa berkata lebih banyak, mereka memilih pergi dengan damai, meninggalkan desa Raka tanpa permusuhan.

Anak-anak di sekitar menatap Raka dengan kagum, sementara Raka sendiri hanya mengangguk rendah, masih polos dan tidak menyadari betapa hebatnya kekuatan yang dimilikinya.

Setengah musim telah berlalu di desa. Raka, setelah mengajarkan tanda-tanda alam, musim, dan siklus kepada semua penduduk desa, siap melanjutkan perjalanan ke timur, ke wilayah Suku Yaka. Ia keluar desa ditemani oleh Kakek Gajo.

Saat keduanya telah agak jauh dari desa, Kakek Gajo berhenti dan memberi salam menyatukan kedua tangan di depan dada dan menunduk rendah. Raka terkejut. Ia segera menunduk pula, menyadari salam itu dikhususkan untuk Rasi dan murid-muridnya.

Selama ini, Kakek Gajo ternyata sudah tahu bahwa Raka adalah murid Rasi yang sedang menempuh ujian Prahya, ditandai dari pakaian dan ilmu yang ia bagikan di desa.

Kakek Gajo meneteskan air mata, lega sekaligus rindu. Ia bertanya dengan suara serak, “Apa yang terjadi dengan Rasi dan murid-muridnya? Mengapa mereka tidak hadir selama 16 siklus? Dan fenomena api hijau di langit…?”

Raka menjawab jujur, suaranya tenang namun berat:

“16 siklus lalu, para Rasi dipanggil oleh Kerajaan Lakantara untuk diuji keaslian wahyu. Dalam perjalanan, mereka dibunuh oleh tentara Lakantara.”

Mata Kakek Gajo terbuka lebar, namun Raka belum selesai.

“Api hijau itu… adalah wahyu. ‘Api hijau turun ke bumi, peringatan untuk memperbaiki amal dan kebaikan, akan meluluhlantakkan istana yang tamak, dan terlahirnya seorang anak.’”

Raka menunduk, menatap kaki, kemudian menatap langit. “Kerajaan Lakantara kini serakah dan takut akan wahyu ini. Mereka percaya bahwa anak yang lahir saat api hijau muncul akan menuntut keadilan dan menghancurkan istana yang tamak. Maka, setiap anak yang lahir di bawah api hijau… dilenyapkan.”

Kakek Gajo hanya bisa menghela napas panjang. Udara di antara mereka hening, berat, tapi penuh tekad. Sebuah perjalanan panjang menanti, dan Raka, meski masih muda, sudah membawa beban sejarah dan rahasia yang harus ia teruskan.

Raka mengangkat wajahnya, menambahkan, “Aku sendiri tidak tahu siapa anak itu. Bisa saja ia akan lahir di wilayah yang terlihat api hijau, bisa saja di desa ini… Tapi biarlah waktu yang akan menjawabnya.”

Kakek Gajo tersenyum tipis, hatinya lega sekaligus antusias. Jawaban itu menantikan masa depan, dan ia merasa sabar menunggu, siap menempatkan dirinya di sisi keadilan. Ia tahu, ketika waktunya tiba, ia harus berjuang melawan keserakahan dan ketamakan Lakantara.

Sunyi di antara mereka terasa penuh arti. Langit senja memayungi perjalanan ke timur, membawa pesan bahwa masa depan dan keadilan masih tergantung pada anak yang terlahir, dan pada mereka yang siap mempertahankannya.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!