Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Keluarga dan Kembalinya Arabella
...BAB 31...
...OBROLAN KELUARGA DAN KEMBALINYA ARABELLA...
Di sebuah sore yang hangat di negeri asing, mentari yang mulai merunduk perlahan mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Arabella mendorong kursi roda Mommy nya menyusuri jalan setapak menuju taman rumah sakit. Walau sang Mommy Nilam sudah mampu berjalan, Arabella tetap bersikeras mendorongnya.
“Udah duduk manis aja, Mom. Otot aku udah lama nggak dilatih lagi, jadi biar sekalian olahraga dorong-dorong beginian,” ujar Arabella sambil meringis sok serius, membuat Nilam tersenyum geli.
Setelah menemukan spot nyaman, Arabella duduk di samping Mommy nya. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan rambut Arabella yang kini rapih tertutup hijab. Suasana senyap, hanya suara burung dan desir angin yang terdengar.
Nilam memandangi langit sebentar, lalu menoleh pada putrinya, matanya berbinar, lembut, namun dalam.
“Kamu sekarang... udah cantik banget, sayang. Bukan Cuma luar, tapi dalamnya juga. Mommy bersyukur banget dengan mantap. Gak dibuka-tutup kayak dulu.”
Arabella hanya tersenyum tipis. Sementara Nilam melanjutkan dengan senyum yang menghangatkan.
“Dan kamu sekarang juga lebih kalem... yah, sedikit banget sih. Sisanya masih tengil, jail, absurd dan barbar.”
Arabella mendongak ke langit, lalu tertawa lirih. “Ya masa iya mau berubah total, Mom... tar kalo aku udah tenang banget, takutnya orang rumah malah nyari Bella versi chaos.”
“Asal kamu tau, Mommy seneng deh bisa liat kamu begini. Tapi sekarang... Mommy udah jauh lebih baik. Dan kamu... kamu boleh kembali lagi ke pesantren.”
“Ck... Mommy ngusir aku nih?” goda Arabella dengan wajah cemberutnya.
“Bukan begitu sayang, Mommy Cuma nggak mau kamu ketingalan pelajaran...” jawab cepat Nilam.
Arabella menoleh cepat, tatapannya serius. “Aku nggak mau jauh dari Mommy. Aku maunya disini aja, jagain Mommy terus. bisa kok.. nanti aku cari pesantren deket-deket rumah sakit atau... buka pondok aja disini?!”
Nilam terkekeh pelan, lalu memegang tangan putrinya. “Sayang, hidup itu bukan Cuma tentang siapa yang paling lama di sisi kita. Tapi siapa yang percaya bahwa yang jauh tetap mendoakan. Kamu punya banyak amanah di sana. Teman-teman kamu, adik-adik kelas kamu, bahkan Ustad-Ustad yang mulai terbiasa sama kamu. Mereka semua butuh Arabella yang kembali dengan semangat baru.”
Arabella menunduk, matanya mulai berair. “Tapi gimana kalo nanti Mommy drop lagi?”
“Kalo kamu terus disini karena takut Mommy sakit lagi, itu bukan jaga.. itu namanya ngurung diri dari kenyataan. Mommy pengen kamu balik. Hidup kamu belum selesai, sayang. Justru sekarang... kamu makin dibutuhkan.”
Arabella menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah menggenang. Dia menarik napas panjang, menatap langit yang kini mulai mengelap dengan rona jingga terakhir.
“Kalo Mommy janji... Janji selalu bilang jujur sama aku, nggak nyembunyiin apa-apa lagi...”
Nilam tersenyum. “Janji. Tapi dengan satu syarat...”
“Apaan?” tanya Arabella curiga.
“Jangan suka ngusir pasien lain di taman rumah sakit Cuma karena ‘pengen vibes senja privat’, ya?”
Arabella langsung ngakak. “Yaaaa... sekali aja itu, Mom!”
Suasana sore itu jadi penuh kehangatan, antara air mata dan tawa. Di bawah langit senja, ada cinta yang tak tergantikan antara ibu dan putrinya.
Senja belum benar-benar habis ketika langkah Ardana terdengar mendekat. Dengan kemeja yang masih rapih meski sudah mulai berkerut dan wajah lelah tapi hangat, dia mendekati dua perempuan paling berharga dalam hidupnya yang tengah larut dalam moment haru.
“Eh... ini kenapa dua orang kesayangan Daddy malah peluk-pelukan terus? Daddy boleh ikutan gak?” tanyanya dengan senyum menggoda.
Arabella langsung menoleh dengan ekspresi sok galak. “Ngak boleh! Daddy peluk satpam rumah sakit aja sana, biar adil!” jawabnya sambil cengar cengir, membuat Nilam terkekeh geli.
Ardana tertawa sambil menggelengkan kepala. “ya ampun, gak berubah ya mulutnya. Bikin orang bingung ini lagi sedih apa bercanda.”
Dia lalu duduk di samping kursi roda, memandangi wajah istrinya yang kini tampak jauh lebih cerah dan berwarna. “Tadi dokter bilang, kalau nggak ada hambatan, pengobatan tinggal beberapa bulan lagi. Setelah itu kita bisa pulang.”
Arabella langsung menatap Daddynya dengan mata berbinar. “Beneran, Dad? Jadi kalo Daddy sama Mommy pulang, aku juga tinggal di mansion lagi dong?!”
Nilam menoleh pelan, alisnya terangkat penuh selidik. “Loh? Kok kamu malah seneng banget pindah dari pesantren? Emangnya kamu udah capek belajar?”
Arabella menyandarkan punggung ke bangku, menatap langit yang mulai kelabu sambil menghela napas dalam-dalam. “Bukan capek sih... tapi di pesantren itu, Mom... otak aku tuh udah kayak bubur ayam, kebanyakan toping pelajaran.”
Ardana nyengir, menahan tawa, sementara Nilam langsung menyipitkan mata, pura-pura menatap tajam.
“trus apalagi...” Arabella melanjutkan sambil mengangkat tangan, menunjuk-nunjuk ke udara seolah menjelaskan pada langit, “Ada si trio jail yang kayak kutu kupret, si Devan,, Balwa sama Balwi. Mommy tau ga? Mereka tuh kerjaannya ngerjain aku terus. gak ada hari damai kalo sama mereka! Kadang nyembunyiin kerudunglah. Naro cabe di sendal akulah, atau tetiba ngasih surat cinta palsu dari ustad lah... gila kan Mom?!”
Nilam sampai menutup mulut, menahan tawa yang nyaris meledak, sementara Ardana sudah tertawa terang-terangan
“Entahlah sekarang mereka kayak gimana selama aku tingal. Jangan-jangan mereka udah tobat saking gak ada yang bisa dibecandain,” gumam Arabella dramatis.
“Bisa juga mereka malah bikin markas baru buat ngerjain santri lain,” timpal Ardana.
“Mereka tuh bukan manusia biasa Dad, mereka itu jin-jin berkostum manusia,” celetuk Arabella lagi, membuat suasana taman itu kembali dipenuhi tawa dan canda.
Meski dalam suasana penuh kehangatan, terselip rasa syukur mendalam karena tawa itu akhirnya kembali menghiasi keluarga mereka. Di balik keabsurdan Arabella, cinta dan kekuatan mereka sebagai keluarga terus memancar.
Ardana menyender santai di bangku taman sambil mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi jenggot tipis. Dengan mata menyipit dan nada suara yang dibuat-buat penuh selidik, dia bertanya, “Kira-kira... ada nggak tuh santri atau ustad yang bikin kamu jatuh cinta? Kayak cowok yang dulu sering kamu omongin itu... siapa namanya?”
Belum sempat Arabella menjawab, Nilam ikut menimpali sambil senyum-senyum, “Kaisar, Dad!”
“Ah iya, itu dia! Kaisar!” seru Ardana sambil menjentikkan jarinya, lalu langsung menoleh menatap putrinya dengan mata berbinar penuh keisengan.
“Nah... ada gak yang kayak Kaisar disana? Atau jangan-jangan Kaisar sendiri yang makin bikin kamu baper? Dimana ya kira-kira anak itu sekarang?”
Arabella memutar bola matanya, lalu menjawab ketus tanpa menatap Daddy dan Mommy nya, “Ck.. ada tuh di pesantren!” jawabnya singkat, padat dan... datar.
Nilam dan Ardana refleks saling pandang. Alis Nilam sedikit terangkat dan Ardana tampak mengernyit. Tumben. Biasanya kalau nama Kaisar disebut, Arabella langsung berubah jadi selebgram penuh dramatis. Tapi sekarang? Datar. Sunyi. Hambar.
Ardana menyipitkan mata curiga. “Loh? Kok jawabannya kayak baca jadwal sholat sih? Kamu nggak sakit kan Bell?”
Arabella mengangkat bahu, “Gak papa. Dia sibuk banget soalnya, katanya ngurus perusahaan dari Yaman. Gak sempet ngobrol juga. Udah gitu aja kok.” Arabella tidak mau sang Daddy bertanya lebih lagi.
Nilam pelan-pelan mengelus punggung putrinya, lalu berkata dengan nada lembut, “Kamu masih suka sama dia, sayang?”
Arabella menunduk sejenak. “Hm... Dulu mungkin iya... sekarang, entah Mom. Kadang rasa itu bisa berubah kan. Mungkin bukan gara-gara gak suka lagi, tapi lebih ke... sadar diri aja.”
Jawaban itu membuat Ardana dan Nilam terdiam. Arabella memang tumbuh cepat dan mereka bisa merasakannya sekarang, di tengah angin sore yang membawa keheningan yang berbeda.
Nilam tersenyum lembut. “Apa pun keputusan kamu, pastikan kamu bahagia. Soal cinta, nanti juga akan datang lagi saat waktunya tepat.”
Arabella hanya mengangguk kecil, memandang matahari yang mulai tengelam. Satu bagian dari hatinya sedang belajar melepaskan... mungkin bukan orangnya, tapi harapan yang sempat dia bangun diam-diam.
Setelah memastikan kondisi Mommynya semakin stabil dan warna cerah mulai kembali pada wajah Nilam, Arabella akhirnya bersiap untuk kembali pulang ke pesantren.
Pagi itu, udara di depan rumah sakit terasa segar. Burung-burung berkicau riang seolah tau hati Arabella yang tak lagi seberat sebelumnya.
Arabella berdiri di depan Nilam yang duduk manis di kursi roda, lengkap dengan selimut tipis menutupi kakinya. Dengan tangan berkacak pinggang dan wajah serius yang terlalu dipaksakan, Arabella menatap sang Mommy tajam.
“Mommy, dengerin ya...” ucap Arabella dengan gaya sok dewasa.
Nilam sudah senyum-senyum, sementara Ardana bersandar di dinding dengan tangan terlipat, siap menikmati pertunjukan haru absurd yang hampir selalu muncul dari anak semata wayangnya itu.
“Mulai hari ini... Mommy harus jaga diri baik-baik! Jangan stres mikirin cucian yang belum kering, jangan sedih karena kangen aku, dan jangan mikirin diet-dietan dulu!”
Nilam langsung ngakak tertahan, “Kamu pikir Mommy stress mikirin cucian?”
Arabella mengangguk cepat. “Iya dong, siapa tau kan. Pokoknya Mommy harus banyak istirahat, makan yang bergizi. Jangan suka nonton drama korea pas lagi kemoterapi. Fokus aja nonton sinetron lokal, biar hatinya tetap Indonesia!”
Ardana sampai tepuk jidat. “Bella...”
Belum selesai, Arabella langsung jongkok di depan kursi roda dan memeluk Mommynya erat-erat, kali ini, tanpa banyolan. “Beneran ya, Mom. Aku balik ke pesantren. Tapi hati aku di sini, nemenin Mommy terus. jadi jangan sedih... soalnya aku juga pasti kangen.”
Nilam mengelus kepala Arabella lembut. “Mommy bangga sama kamu, Nak... kamu luar biasa, jangan pernah berubah, tetap jadi Arabella yang unik, tengil tapi selalu punya hati yang tulus.”
Ardana mendekat dan ikut memeluk mereka berdua. “Keluarga aneh, tapi lengkap.” Gumamnya, membuat mereka tertawa pelan ditengah haru.
“Mommy, Daddy..” Arabella berdiri dan mengangkat koper pinknya. “Aku berangkat ya. Tapi inget... jagain diri kalian baik-baik. Jangan sampai pas aku pulang malah kalian bolos ngurusin diri sendiri!”
“Siap komandan!” jawan Ardana sambil memberi hormat.
Dan begitu Arabella melangkah pergi, sambil sesekali menoleh ke belakang, dia tau cintanya kepada keluarga ini adalah bahan bakar paling besar yang akan membuat langkah-langkahnya di pesantren nanti semakin kuat.
*****
Langit sore di pesantren tampak bersahabat saat sebuah suara klakson khas dan meraung semangat memecah ketenangan halaman depan. Ya... siapa lagi kalau bukan si Cupi motor gede pink yang sudah menjadi ikon ketengilan Arabella, muncul lagi di parkiran dengan gaya nyentriknya, ditemani suara khas yang membuat para santri menoleh nyaris serempak.
Pak Aming yang sedang menyapu halaman sontak melompat ke belakang pot bunga. “Ya ampuuunnn! Itu suara apaan, kayak suara... suara setan pink!” serunya panik sebelum akhirnya melihat pengendaranya yang langsung menepuk jidat. “Astagfirullah... Neng Bella, lagi-lagi kamu..!”
Arabella turun dari motornya dengan gaya slow motion sok keren, kacamata hitam dan jaket pink melambai tertiup angin. Para santri, yang memang rindu akan kehebohan Arabella, langsung tertawa, bertepuk tangan seperti menyambut pahlawan pulang dari medan perang.
“BELLAAAAAAA!!!” seru beberapa santri perempuan sambil lari menghampiri. “Akhirnya balik juga kamu, Ya Allah!”
Baru saja Arabella hendak melangkah, dari balik taman belakang, muncul trio jail Devan, Balwa dan Balwi—lengkap dengan ekspresi kepo akut.
“Wooyyy... Woooyy.. Wooyyy.. barbar pink! Lo tuh kemana aja sih? Ngilang nggak ada kabar!” celetuk Devan dengan tangan nyebar, seolah hendak menginterogasi.
Balwa ikut menimpali, “Jangan-jangan... Lo kabur gegara kita sering ngerjain lo ya?”
Arabella menegakkan badan, membusungkan dada dengan ekspresi heroik. “Gue? Gue baru pulang dari bertapa! Mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah ke samudra—“
“Hah??!” Balwi langsung membelalak polos. “Serius? Lo nggak cape, Bell? Naik gunung lewat lembah... trus itu, kuncennya gak marah lo dateng-dateng ke gunungnya tanpa ijin?!”
Arabella langsung menahan tawa. Santri di sekitar langsung meledak tertawa.
“Kuncennya sih awalnya kesel,” jawab Arabella sambil menepuk pundak Balwi.
“Tapi begitu liat gue bawa oleh-oleh kerupuk kulit dan sabun cuci muka, dia langsung luluh.”
Balwa langsung menggeleng pelan “Udah. Udah! Gue nyerah. ini bocah satu nggak bisa diajak serius dikit ya!”
Arabella tertawa puas. “Hidup tuh jangan terlalu serius, sayang. Nanti lekas tua kayak pak Aming!”
Pak Aming yang kebetulan lewat langsung menoleh, “Saya denger itu Neng Bella!”
Dan dengan itu, suasana pesantren yang sempat tenang mendadak kembali ramai, heboh, dan penuh warna. Arabella telah kembali. Dan semua yang mengenalnya tau hari-hari mereka bakal jauh dari kata sepi.,
Dari kejauhan, di lantai dua gedung utama pesantren, Ustad Izzan berdiri di balik jendela sambil memperhatikan kerumunan yang mulai ramai di halaman depan. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat dia melihat sosok khas dengan koper pink dan gaya nyentrik yang tak mungkin salah lagi, dia adalah Arabella.
Dia menghela napas perlahan, seolah beban yang selama ini menumpuk perlahan-lahan luruh bersama kepulangannya. “Akhirnya kamu kembali juga, Ara...” gumamnya lirih, penuh rasa syukur dan kelegaan.
Di sisi lain pesantren, tak jauh dari ruang pengajar putri, Ustadzah Rina yang juga melihat kehebohan di luar jendela ikut tersenyum. Tapi ada seseorang yang berdiri tak jauh darinya, menghela napas panjang seperti bersiap menuju medan perang. Ustadzah Halimah. Namun yang lebih menarik adalah sosok yang berdiri di dekat perpustakaan, menatap kearah Arabella dengan mata yang menyala penuh semangat, Ustad Azzam.
Tapi sebelum Azzam sempat melangkah, langkah Ustad Izzan sudah lebih dulu mantap menuju arah gerbang, menembus kerumunan santri yang masih sibuk menyambut kehebohan Arabella.
“Sudah waktunya,” gumam Izzan dalam hati. “Saya akan mulai lagi dari awal. Apapun yang terjadi... saya akan kembali berjuang untuk hati kamu, Ara.”