Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di cecar rekan kerja
"Ada banyak hal yang terjadi di dunia ini, begitupun di hidup lo selama dua pekan terakhir tapi lo memutuskan nggak cerita apa-apa." Daren pindah ke kursi belakang setelah Dinda pergi.
"Apaan sih."
"Its oke kalau ngga mau cerita, gua cuma mau bilang, gua udah kenal lo dari masa lo pubertasi, alias masa kici kici."
Tristan menatapnya jengah.
"Lo ngga ngomong pun, urat-urat lo udah ngasih tahu ke gua, ngerti."
"Daren, gua mikir ya, bokap gua selalu mengambil tindakan ini itu bukan tanpa sebab."
"Maksud lo?"
"Lo pasti iblis yang senantiasa bisikin hal-hal aneh di telinganya."
Daren membusungkan dada.
"Sialan nih orang, ngatain gua, lu!"
Tristan hanya tersenyum. Melihat raut wajahnya yang ceria, terlihat bahagia dan lebih hidup, Daren merasa ikut bangga.
"Kacau, kacauu."
"Apa yang kacau?"
"Itu .... Emmm dah lah. Lo nggak akan paham."
Daren bahkan ikut menyadari tentang gelang couple yang dipakai Tristan. Dia melihat gelang yang sama meski beda desain di tangan Dinda semalam saat gadis itu mengecek skejulnya.
"Bicara yang jelas, Daren."
"Ngga ada Bro, santai saja."
"Dasar aneh!"
****
Tiba di rumah.
Dinda langsung di sambut oleh Siska dan Nenek Layla.
"Aku pulang!" serunya heboh.
Siska segera bangkit dan terkejut melihat kedatangannya.
"Eh, udah pulang? Cepet banget, kirain lama di sana."
"Ngga dong, bentar aku bawa oleh-oleh khusus untukmu."
"Serius?"
Dinda mengangguk dengan senyum ramahnya.
"Nenek dimana? Nenek sehat kan?" Raut wajah Siska berubah murung. Tak lama Nenek Layla datang dan memeluk cucu kesayangannya.
"Dinda, Dinda kaukah itu?"
"Nenek, aku sangat merindukanmu."
"Nenek juga, syukurlah kamu udah pulang."
Dinda tersenyum. Dia menuntun neneknya masuk lalu mengeluarkan oleh-oleh untuk sahabatnya.
"Aku belikan tas dan baju, juga ada gantungan kunci, khusus buat kamu."
Siska sangat senang.
"Wah, terimakasih banyak. Duh gue jadi ngga enak, Din."
"Santay aja, Sis. Lagian setelah ini mungkin aku masih butuh banyak bantuanmu."
Siska menatapnya datar.
"Lo bercanda?"
"Siska, bos yang aku temani ke Paris kemarin sekarang berangkat ke Singapura. Semua pekerjaannya di indonesia dilimpahkan kepada ku. Semua itu adalah meeting penting, kerja sama dengan orang-orang besar dan survey tempat. Setidaknya selama sebulan ini, aku harus terus di kantor tanpa libur."
Siska meninggalkan oleh-oleh itu di atas meja lalu menarik tangan Dinda pergi dari sana.
"Siska, apa-apaan sih?"
"Dinda, gua tahu lu lagi ingin fokus di karir, pekerjaan lu bagus, bos lu baik dan gue yakin pasti setelah ini lu bahkan dapat bonus bonus dan hal-hal yang baik lainnya. Tapi Dinda."
"Tapi apa?"
"Nenek Layla sekarat, percaya sama gue."
"Hah?"
Dinda mengintip keluar dan melihat neneknya tampak santai menunggu mereka keluar.
"Nenek lu nggak sesehat dulu, Din. Gua saranin sebulan ini lu justru cepet pulang ke rumah biar bisa membagi waktu dengan beliau."
"Siska, jika aku mengambil pekerjaan ini aku bisa mengumpulkan uang untuk biaya perawatan nenek. Aku dengar bonusnya lumayan banget. Pliese dong Sis, andai bukan karena mikirin biaya pengobatan nenek aku juga gak bakal se gininya."
Siska menyilangkan tangan di dada.
"Ya udah terserah saja, yang penting gue udah ngingetin loh, Din."
"Terimakasih, Sis. Kamu memang satu-satunya sahabatku."
Siska tersenyum dan mereka kembali menemui nenek Layla.
"Nenek, apa nenek butuh sesuatu? Selama Dinda pergi, apa sakit nenek sering kumat?"
Nenek Layla menggelengkan kepala.
"Nenek sangat sehat, apa Siska mengatakan sesuatu padamu?"
Dinda melirik sahabatnya.
"Ngga sih, dia cuman ngeluh jika harus jaga nenek terus-terusan."
"Dasar, padahal nenek nggak pernah nyusahin loh."
"Alah, nenek pinter banget ngaduhnya," ucap Siska membuat Dinda tertawa.
"Hari ini, hari pertama lo pulang. Itu artinya hari ini lo bakal libur dan tinggal seharian di rumah, iyakan."
"Nggak, Sis. Hari ini aku hanya membawa koperku pulang, lalu kembali ke kantor. Pekerjaan menungguku, sorry banget."
"Ya Dinda."
"Ngga apa-apa, nenek merasa sehat-sehat saja kok. Biarkan saja Dinda kembali bekerja."
Nenek Layla tampak bangga padanya.
"Terimakasih, Nek."
Dinda meninggalkan Siska dan buru-buru menuju ke kantor, bermodalkan grab gadis itu tiba dengan selamat di tempat kerja.
Beberapa staf menatapnya tanpa menyapa saat dia tiba, Dinda memasang senyum terbaik namun tidak ada satu pun yang membalas sikap ramahnya.
Bisik-bisik terdengar, namun kali ini Dinda tak bisa mendengar apapun karena Tristan pernah memperingati para staf sebelumnya. Mereka tak berani menyinggung Dinda secara terang-terangan, namun cukup hanya melihat lirikan matanya. Dinda sadar ada yang tidak beres.
Gadis itu tiba di ruang kerjanya, hal pertama yang di tatapnya adalah meja kerja Tristan.
Kesunyian sangat terasa saat ini, karena tak ada yang benar-benar baik padanya di kantor itu selain bosnya sendiri.
Tok tok tok!
"Masuk!"
Seorang staf datang dan menatapnya datar.
"Bu Dinda, ini adalah proposal yang ditinggalkan Tuan Daren untuk anda."
"Terimakasih." Saat Dinda akan menerima berkas-berkas itu, Sari sang staf justru meletakkannya dengan sengaja di atas meja. Dinda menatapnya aneh.
"Apa kau punya masalah denganku, Bu Sari?"
Wanita itu segera menutup tanda pengenalnya.
"Tidak ada."
"Jaga sikapmu, aku tidak punya masalah denganmu tapi jika kamu merasa tidak nyaman bekerja sama denganku, aku akan meminta staf yang lain untuk mengantikanmu."
Sari terkejut.
"Hey, kamu hanya sekertaris di sini."
"Benar, aku tidak punya kewajiban untuk memecat mu. Tapi, aku bebas memilih partner yang pas untuk ku."
Sari terdiam, dia meninggalkan ruangan dan menciptakan gosip besar bersama teman-temannya.
Dinda bingung kenapa orang-orang terlihat semakin aneh saat dia kembali, gadis itu tak pernah mencari masalah, juga sangat menghindari masalah, tapi saat ini pandangan orang serasa semakin mencekiknya.
Saat Dinda keluar lagi untuk menghadiri pertemuan penting di luar kantor, Sari dan teman-temannya telah berkumpul di koridor.
"Itu dia orangnya." Melihat banyaknya staf yang kompak menatapnya. Dinda semakin yakin jika ada yang tidak beres di sini.
"Ada apa ini?" tanyanya mencoba memberanikan diri untuk terlihat tegar.
"Bu, anda ini seorang sekertaris yang menjabat belum satu bulan."
"Lalu?"
Dinda menatap mereka tanpa terkecuali.
"Gosip tentang anda sungguh sangat murahan. Kami benar-benar salut."
"Apa maksudmu?"
"Bu, kami melihat foto anda dalam majalah bisnis hari ini, anda dan Pak Tristan di sebuah pesta."
"Itu yang kalian sebut murahan?"
"Bukan itu, tapi berita di dalamnya mengatakan Tristan Bagaskara hadir dalam pesta bersama dengan tunangannya. Jelas-jelas anda bukan tunangannya."
"Lalu?"
"Lalu, apa?"
"Dasar, anda pasti benar-benar berusaha menggodanya di sana."
Dinda menatap Sari dan wanita itu seketika menjauh.
"Dengar ya, saya kesana untuk mendampingi Tuan Tristan. Siapa sangka dalam pesta itu, Tuan Tristan mengatakan saya sebagai tunangan. Kalian kalau mau protes, protes langsung sama pimpinan. Aku akan menelponnya dan kalian bicaralah sendiri."
"Ehh!!" Para staf seketika memintanya berhenti.
"Kenapa? Besok-besok kalau Pak Tristan beneran bertunangan lalu kalian ngga suka orangnya, kalian akan protes atau mogok kerja, atau berhenti kerja sekalian?"
Semua orang diam.
"Tidak kan? Kalian hanya seperti ini, karena aku yang dipasangkan dengan Pak Bos dalam berita itu."
Dinda kembali melihat ponselnya, pertemuan penting hampir saja terlewatkan.
"Saya memang bukan siapa-siapa, tapi saya juga tidak sudi bekerjasama dengan orang yang menganggap remeh saya. Sari mulai hari ini proyek apapun akan saya tangani sendiri."
"Kok gitu, Bu. Lalu kami ngapain?"
Dinda yang kembali melangkah tersenyum menatap mereka.
"Lanjutkan saja bergosipnya, bukankah kalian sangat piawai dalam hal itu?"
Gadis itu berlalu begitu saja, langkahnya tegas tak menyiratkan keraguan.
"Sial, sombong sekali dia."
"Jika dia mengambil alih pekerjaan penting, posisinya akan semakin di atas. Pak Bos akan semakin memujinya."
"Dia bukan siapa-siapa, kalau proyeknya berantakan maka bos akan memecatnya."