Aira tak menyangka jika pernikahan harmonis yang ia bina kini hancur lebur, karna orang ketiga.
Dunianya hancur, hingga sebuah kecelakaan menimpanya dan membuat ia koma. setelah sadar, ia dihadapkan dengan seorang pria yang tiba-tiba saja menjadikannya seorang budak. hingga dimana Aira dijadikan bak seorang tawanan oleh pria misterius itu.
sementara disisi lain, Rayyan berusaha menjalani dendam yang diamanatkan padanya dari sang ayah. dendam yang begitu membuatnya berapai-api pada Aira.
akankah Rayyan berhasil menuntaskan dendamnya? atau malah rasa cinta timbul dihatinya untuk Aira?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annavita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Saat mentari mulai tenggelam dan menyisakan semburat jingga di langit Jakarta, Rayyan beranjak dari kursinya. Pekerjaan hari ini terasa lebih melelahkan dari biasanya, bukan karena tumpukan dokumen, namun karena interaksi singkat namun intens dengan Pandu. Ia meraih jas yang tersampir di sandaran kursi, lalu melangkah keluar dari ruangannya.
Saat Rayyan hendak membuka pintu mobilnya, tiba-tiba seorang pria menghadangnya. Pria itu tampak kacau dengan wajah memerah dan napas tersengal. Rayyan mengenali pria itu sebagai Dimas, suami Aira.
"Bisa minta waktumu sebentar?" tanya Dimas dengan nada yang terdengar putus asa sekaligus mengancam.
Rayyan mengangkat alis, menatap Dimas dengan tatapan dingin dan tanpa ekspresi. "Ada apa? Apa kita saling mengenal?" tanyanya, mencoba mengendalikan situasi.
Dimas maju selangkah, tatapannya penuh amarah dan kebencian. "Aku tahu kau yang menculik Aira! Sekarang katakan di mana dia?!" desisnya dengan suara rendah namun penuh tekanan.
Rayyan menyunggingkan senyum sinis. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. "Siapa yang kau maksud? Aku baru mendengar nama itu," jawabnya, berpura-pura tidak tahu apa-apa.
"Jangan pura-pura bodoh!" bentak Dimas, emosinya mulai terpancing. "Aku tahu kau terlibat dalam menghilangnya Aira. Jika kau tidak mau bicara, aku akan melaporkanmu ke polisi!"
Rayyan tertawa kecil, meremehkan ancaman Dimas. "Heh, silakan saja," tantangnya dengan nada mencemooh. "Tapi ingat, tanpa bukti, kau hanya akan terlihat seperti orang gila yang menuduh tanpa dasar."
Rayyan mendorong Dimas yang menghalangi pintu mobilnya, lalu dengan cepat masuk ke dalam mobil dan menyalakannya. Ia menekan pedal gas dalam-dalam, membuat mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Dimas yang terpaku di tempatnya dengan tangan terkepal.
Tanpa Rayyan sadari, Rania, yang baru saja keluar dari kantornya, menyaksikan seluruh perdebatan itu dari kejauhan. Ia terkejut melihat Dimas dan Rayyan saling berhadapan dengan tegang. Setelah mobil Rayyan menghilang dari pandangan, Rania mendekati Dimas yang masih berdiri di tempat yang sama dengan wajah frustrasi.
"Jadi, kamu menanyai dia tentang Aira?" tanya Rania dengan nada sinis dan cemburu. Ia tidak suka melihat Dimas masih memikirkan wanita lain, apalagi wanita yang telah menghancurkan pernikahannya.
Dimas tidak menjawab pertanyaan Rania. Ia mengabaikannya dan berbalik, berjalan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana. Ia merasa tidak ada gunanya berbicara dengan Rania. Wanita itu tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaannya.
"Dimas!" panggil Rania dengan nada kesal, mencoba menghentikan langkah Dimas. Namun, Dimas tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan, meninggalkan Rania yang berdiri terpaku di tempatnya dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa ditinggalkan dan tidak berarti.
*
Rania membanting pintu mobil Dimas, lalu duduk dengan kasar. "Bisakah kau berhenti terobsesi dengan wanita itu?" semburnya, matanya memerah karena marah. "Aku mengandung anakmu, Dimas! Apa itu tidak cukup untukmu?"
Dimas menghela napas panjang, memijat pelipisnya. "Rania, kumohon, jangan sekarang," ucapnya lelah. "Aku sedang tidak ingin bertengkar."
"Tidak ingin bertengkar? Lalu apa yang kau lakukan dengan menemui pria itu? Apa yang kau harapkan?" Rania terus menyerang, tidak peduli dengan kelelahan Dimas.
Dimas menghentikan mobil di bahu jalan. Ia menoleh pada Rania, tatapannya dingin dan tegas. "Cukup, Rania," ucapnya dengan suara rendah namun menusuk. "Aku mencari Aira bukan karena aku masih mencintainya. Itu semua tentang uang."
Rania terdiam, menatap Dimas dengan tatapan tidak percaya. "Uang?" bisiknya.
Dimas mengangguk. "Kami memiliki tabungan bersama. Jumlahnya cukup besar, hasil kerja keras kami berdua selama bertahun-tahun. Aku berhak mendapatkan bagianku, dan aku tidak akan membiarkan Aira menghilang begitu saja dengan membawa semua uang itu."
"Tapi... kenapa kau tidak bilang dari awal?" tanya Rania, suaranya bergetar.
"Karena aku tahu kau tidak akan mengerti," jawab Dimas jujur. "Kau selalu cemburu dan posesif. Aku tidak ingin kau berpikir yang tidak-tidak."
Rania menunduk, air mata mulai menetes di pipinya. "Jadi, selama ini kau hanya memanfaatkan aku?"
"Tidak, Rania," Dimas meraih tangan Rania, menggenggamnya dengan lembut. "Aku mencintaimu, sungguh. Tapi uang itu penting untuk masa depan kita, untuk anak kita. Aku tidak ingin kita kekurangan apa pun."
Rania mengangkat wajahnya, menatap Dimas dengan tatapan ragu. "Apa kau bersungguh-sungguh?"
"Aku bersungguh-sungguh," Dimas mendekatkan wajahnya pada Rania, lalu menciumnya dengan lembut. "Aku janji, setelah aku mendapatkan uang itu, aku akan fokus padamu dan anak kita. Aku akan menjadi suami dan ayah yang baik."
Rania membalas ciuman Dimas, hatinya mulai luluh. "Baiklah," ucapnya setelah ciuman itu berakhir. "Aku akan membantumu. Tapi berjanjilah padaku, setelah ini semua selesai, kau tidak akan pernah menyebut nama Aira lagi."
"Aku janji," Dimas tersenyum lega. Ia tahu, dengan dukungan Rania, ia akan berhasil menemukan Aira dan mendapatkan uang itu.
*
Beberapa hari setelah kecelakaan Aira, Dimas menyelinap masuk ke rumah Aira dengan kunci cadangan yang dulu pernah diberikan Aira padanya. Rumah itu tampak sepi dan berdebu, seolah tidak ada kehidupan di dalamnya. Dimas mulai menggeledah setiap sudut ruangan, mencari buku tabungan dan dokumen-dokumen penting lainnya.
Ia membuka lemari, laci, dan setiap kotak yang ada di kamar Aira. Ia mencari surat-surat berharga, sertifikat tanah, dan bukti kepemilikan aset lainnya. Namun, ia tidak menemukan apa pun. Sepertinya Aira menyembunyikan semua dokumen itu di tempat yang aman.
Dimas hampir putus asa, namun ia tidak menyerah. Ia tahu, Aira pasti menyimpan buku tabungan mereka di suatu tempat yang mudah dijangkau. Ia mulai mencari di tempat-tempat yang tidak terpikirkan oleh orang lain, seperti di bawah kasur, di dalam lemari pakaian, dan di balik bingkai foto.
Akhirnya, ia menemukan sebuah kotak kecil yang tersembunyi di balik tumpukan pakaian di lemari. Dengan jantung berdebar, Dimas membuka kotak itu. Di dalamnya, ia menemukan buku tabungan mereka, beberapa perhiasan, dan foto-foto kenangan mereka berdua.
Dimas tersenyum sinis. Ia berhasil menemukan apa yang ia cari. Ia mengambil buku tabungan itu, lalu keluar dari rumah Aira dengan perasaan lega. Ia tidak sabar untuk mencairkan uang itu dan memulai hidup baru bersama Rania.
*
Rayyan baru saja memasuki rumahnya, berharap dapat beristirahat sejenak dari segala intrik dan rencana balas dendam yang membebani pikirannya. Namun, begitu kakinya melangkah masuk, ia melihat Aira tengah sibuk membantu para pelayan menyiapkan makan malam. Pemandangan itu membuatnya tertegun.
Aira, dengan cekatan memotong sayuran, tampak begitu berbeda dari wanita yang ia culik dan kurung. Ada kehangatan dan kelembutan dalam dirinya yang membuat Rayyan merasa aneh. Terlalu fokus pada pekerjaannya, Aira tak sengaja mengiris jarinya sendiri.
Rayyan merasakan dorongan kuat untuk menghampirinya, untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja. Wajahnya bahkan sudah menunjukkan ekspresi cemas, namun ia segera menyadari kebodohannya. Ia bukan pria yang peduli, ia adalah seorang pendendam. Dengan cepat, ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya, berusaha mengabaikan rasa bersalah yang tiba-tiba menghantuinya.
Sementara itu, Aira menerima sebuah plester dari Lisa, pelayan yang melihat lukanya. "Terima kasih," ucap Aira tulus. Ia menatap Lisa dengan rasa ingin tahu. Selama ini, semua orang di rumah ini seolah membisu, mengabaikannya seolah ia tidak ada.
"Aku menjadi tawanan di sini selama sebulan, kalian pikir aku tidak akan gila jika kalian selalu diam mengabaikan ku yang sejak tadi bicara?" ucap Aira, meluapkan kekesalannya.
Lisa tersenyum lembut. "Lisa. Nama saya Lisa," ucapnya dengan suara pelan namun jelas.
"Uwah... kupikir kau bisu!" seru Aira dengan nada kagum. Ia merasa senang akhirnya ada seseorang yang mau berbicara dengannya.
Lisa tertawa kecil, lalu keduanya mulai berbincang. Aira menceritakan tentang kehidupannya, tentang Dimas, dan tentang mimpinya yang hancur. Lisa mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan tanggapan yang menenangkan.
Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba Rayyan muncul di ambang pintu. Kehadirannya seketika membuat keduanya terdiam, diliputi rasa takut.
"Aira. Ikut aku," ucap Rayyan dengan nada datar, tanpa ekspresi.
Jantung Aira berdebar tak karuan. Ketakutan mulai menyeruak dalam dirinya. Apa yang akan Rayyan lakukan padanya lagi? Apakah karena ia berani berbicara dengan Lisa? Setiap langkahnya menuju Rayyan terasa begitu berat, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan menakutkan.
Rayyan berbalik dan melangkah menuju ruang kerjanya. Sesampainya di dalam, ia berbalik menghadap Aira yang berdiri dengan gemetar di ambang pintu. Rayyan mengulurkan tangannya, memberikan sebuah ponsel pada Aira.
Mata Aira membulat, bibirnya tertarik membentuk senyum sumringah. Ia tidak menyangka Rayyan akan memberikan ponsel padanya. Apakah ini berarti ia akan dibebaskan? Apakah ia bisa menghubungi Dimas dan meminta pertolongan?
"Hubungi Dimas, bilang kau sedang di luar kota bersama temanmu, dan bilang padanya untuk tidak mencarimu lagi!" ucap Rayyan dengan nada dingin.
Senyum Aira langsung memudar, hatinya mencelos. Ternyata, harapannya terlalu tinggi. Jadi, selama ini Dimas mencarinya? Apakah Dimas masih mencintainya?
"Benarkah? Benarkah Dimas mencariku?" tanya Aira dengan nada penuh harap.
Rayyan menunjukkan wajah tidak suka. "Heh, sepertinya kau masih mengharapkan suamimu? Biar kuberitahu, suamimu mencarimu karena uang tabungan kalian," ejek Rayyan dengan sinis.
Aira menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Rayyan. Dimas tidak mungkin melakukan hal itu. Ia mengenal Dimas, ia tahu bahwa Dimas mencintainya.
"Kau bohong! Berhentilah mengelabuiku, Tuan Rayyan! Tugasmu adalah menawanku untuk mengancam ayahku, bukan suamiku!" bantah Aira dengan nada marah.
Rayyan terdiam, terkejut dengan balasan Aira. Ia tidak menyangka Aira akan begitu keras kepala. Ia menghela napas, lalu mengambil beberapa lembar foto dari laci mejanya. Foto-foto itu menunjukkan Dimas sedang bermesraan dengan wanita-wanita lain di berbagai tempat.
Rayyan melemparkan foto-foto itu ke hadapan Aira. Aira menelan ludahnya, matanya membelalak melihat gambar-gambar yang terpampang di depannya. Air mata mulai mengalir di pipinya, mengkhianati rasa sakit yang ia rasakan.
Saat telepon tersambung, Aira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Hallo?" ucapnya dengan suara bergetar.
"Jangan cari aku," ucap Aira dengan nada dingin dan datar. "Aku sedang bersama temanku di luar kota. Dan jangan harap aku akan memberimu sepeser pun dari tabungan itu!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Aira mematikan telepon dan melemparkan ponsel itu ke lantai, sementara Rayyan hanya menonton amarah Aira dengan bersilang tangan seperti menikmati.
Bersambung...
Jangan lupa komennya ya...
guys baca juga ini seru buanget loh... apalagi mantan suami Aira, nanti sadar dan ngejer ngejer lagi tu mantan bini... hoho