Menjadi seorang dokter bedah ilegal di dalam sebuah organisasi penjualan organ milik mafia berbahaya, membuat AVALONA CARRIE menjadi incaran perburuan polisi. Dan polisi yang ditugaskan untuk menangani kasus itu adalah DEVON REVELTON. Pertemuan mereka dalam sebuah insiden penangkapan membuat hubungan mereka menjadi di luar perkiraan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ungkapan Rasa Tanpa Kata
Devon kemudian berbalik dan berhadapan dengan Ava. Pria itu berlutut di depan Ava yang masih duduk di sofa.
Ava dan Devon kini saling memandang. Jari-jari pria itu, dengan lembut menyentuh pipi Ava yang terasa dingin.
Keduanya diam. Suara dunia di luar sana seakan menghilang. Ava tidak menepis tangan Devon.
Dia hanya menatapnya, dan tatapan itu semakin intens. Di antara mereka, sebuah ruang baru tercipta.
Sebuah ruang yang hanya diisi oleh denyut nadi yang berdegup kencang, oleh napas yang tiba-tiba menjadi berat, dan oleh sebuah daya tarik yang sebelumnya mereka abaikan.
Kini Devon dan Ava saling menatap. Tatapan mereka begitu dalam, menyelami lorong-lorong memori yang pernah mereka lewati bersama tanpa sengaja.
Devon melihat keraguan di mata Ava, tetapi di baliknya, ada sebuah keinginan yang sama besarnya dengan yang dia rasakan.
Devon melihat pantulan dirinya di kedua bola mata indah milik Ava, dan dalam pantulan itu, dia melihat seorang lelaki yang siap terjatuh, yaitu dirinya sendiri.
Tanpa sadar, wajah mereka semakin mendekat. Seolah ditarik oleh sebuah benang tak kasat mata.
Devon bahkan bisa memperhatikan setiap bulu mata Ava yang mengerjap. Dia bisa merasakan kehangatan napasnya yang pendek dan sedikit berat.
Dengan perlahan, Devon memindah posisi tangannya. Jari-jarinya, dengan gerakan yang sangat pelan, menyentuh tengkuk leher Ava.
Kulitnya terasa sehalus sutra di bawah sentuhannya. Panas. Ava menutup matanya, sebuah lenguhan lembut keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka.
Itu bukan sebuah penolakan. Itu adalah sebuah penyerahan. Sebuah izin.
Jari Devon semakin berkelana, menyapu sebuah helai rambut yang jatuh dari ikatan dan menempatkannya kembali di belakang telinga Ava.
Sentuhannya kembali berjalan ke pipi, kemudian kembali menyusuri rahangnya yang tegas namun feminin, hingga ke dagunya yang sedikit mendongak.
Sentuhan itu berbicara lebih banyak daripada ribuan kata yang pernah mereka bagi.
Lama kelamaan, bibir Devon mendekat. Gerakannya sangat pelan, memberikan Ava kesempatan untuk menjauh, untuk berteriak, untuk menghentikannya.
Tapi Ava diam. Dia tetap di tempatnya, dengan mata yang kini terpejam dan bibir sedikit bergetar, menantikan sesuatu yang telah lama menjadi bayangan dalam mimpi terlarang mereka.
Lalu, sentuhan itu pun akhirnya terjadi. Bibir Devon menyentuh bibir Ava.
Bibir Ava terasa lebih lembut dari yang dia bayangkan. Bibir itu hangat, lembap, dan manis.
Ava tak menjauh dan tak mengelak dari sentuhan itu. Sebaliknya, sebuah desiran halus mendera tubuhnya.
Devon merasakan tangannya yang dipegang erat sedikit mencengkeram. Itu adalah sebuah respon sekaligus jawaban.
Dan bagi Devon, itu adalah lampu hijau. Sebuah persetujuan dan undangan untuk melanjutkan.
Itu adalah penegasan bahwa dia tidak sendirian merasakan getaran itu. Devon menyesap bibir Ava.
Devon menarik bibirnya sejenak, hanya untuk memastikan, untuk melihat lagi ke mata Ava.
Dia membuka matanya dan menemukan Ava sedang menatapnya. Dan di dalam tatapan itu, tidak ada lagi keraguan. Hanya ada sebuah penerimaan, dan sebuah rasa lapar yang menyala-nyala.
Itu yang Devon tunggu.
Devon mendekat sekali lagi, tetapi kali ini dengan keyakinan penuh. Bibirnya menemukan bibir Ava untuk kedua kalinya.
Ciuman itu berubah lebih dalam dan lembut, penuh dengan penghormatan dan rasa haus yang tak terpadamkan.
Devon menggerakkan bibirnya dengan penuh kelembutan, menyelami setiap lekuk dan bentuk bibir Ava.
Tangannya yang menyentuh pipi Ava bergerak ke belakang, jari-jarinya tenggelam dalam rambutnya yang halus, menahan kepala itu di tempatnya, bukan dengan paksaan, tetapi dengan sebuah kekuatan yang meyakinkan.
Ava akhirnya membalas ciumannya. Tangannya, yang sebelumnya diam saja, kini naik dan meraih lengan Devon, mencengkeram lengannya yang berotot seolah mencari penahan di tengah badai emosi yang menerpa mereka.
Dia membuka mulutnya sedikit, sebuah undangan yang lebih dalam lagi, dan Devon menerimanya dengan sukacita yang terasa di seluruh tubuhnya.
Kini dunia mereka terisi oleh suara desahan napas mereka yang saling bertautan.
Ciuman itu bukanlah ciuman yang penuh nafsu dan terburu-buru. Itu adalah sebuah percakapan tanpa kata.
Devon merasakan dadanya semakin bergermuruh. Ini adalah Ava. Ava. Perempuan yang selalu dia cari.
Perempuan yang, tanpa disadarinya, telah menjadi patok yang menancap begitu dalam di hatinya, hingga jika mencabutnya akan membuatnya berdarah-darah dan begitu sakit.
Dan kini Ava ada di pelukannya, membalas ciumannya dengan rasa yang sama, seolah dia juga telah menunggu sepanjang hidupnya untuk momen ini.
Hingga akhirnya bibir mereka berpisah. Napas mereka tersengal-sengal, kening mereka masih saling bersandar, mata mereka pun masih terpejam.
Devon membuka matanya terlebih dulu. Pipi Ava memerah, bibirnya bengkak dan basah karena ciuman mereka.
"Ava …,” bisik Devon.
Ava membuka matanya. Ada tatapan mata yang hangat meskipun masih sedikit bingung, tetapi dia tersenyum. Sebuah senyum kecil dan penuh dengan banyak makna.
"Hmm …," balasnya, suaranya serak.
"Kau adalah segalanya bagiku. I think … i love you,” lirih Devon dengan berkata jujur tentang perasaannya.
Mata indah wanita itu mencari kesungguhan pada ekspresi Devon. Mereka berdiam lagi dalam keheningan, dan kemudian Devon kembali memeluknya seakan takut jika Ava menjauh.