Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Still
Jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam ketika suara langkah Nicko menggema di koridor penthouse. Sepatu kulitnya menghentak lantai marmer dengan ritme berat namun terukur. Jas marun yang tadi ia kenakan kini terlipat di lengannya, meninggalkan kemeja hitam yang terbuka satu kancing di bagian atas.
Kehadiran Sara di penthouse membuat Nicko selalu merasa ada rumah yang menunggunya. Namun malam ini, ia pulang lebih larut dari biasanya. Sebuah undangan mendadak dari salah satu raksasa bisnis energi memaksanya tetap berada di luar hingga larut. Pertemuan yang begitu krusial itu tak bisa ia serahkan pada orang lain, sebab sebagai pewaris Velmier Group, kehadirannya adalah pesan itu sendiri.
Ia menaiki tangga menuju lantai tiga, lalu berhenti di depan pintu kamar besar. Dengan satu dorongan pelan, pintu terbuka.
Udara dingin menyambut. Lampu temaram menyorot sudut ruangan. Dari ambang pintu, Nicko melihat Sara di sofa, meringkuk dengan gaun tidurnya yang kusut. Lututnya ditarik ke dada, kedua lengannya melingkari tubuh rapuh itu. Bahunya tampak bergetar, seolah berusaha menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa dingin.
Sesaat, napas Nicko terasa sedikit lebih ringan. Ada rasa lega yang merayap di dadanya, Sara belum tidur. Persis seperti yang ia inginkan. Ia tahu itu bukan kebetulan, botol obat penenangnya ada di sakunya sejak pagi.
Nicko masuk perlahan dan meletakkan botol kecil berisi pil di meja.
"Sedang mencari ini, Sayang?" suaranya datar, namun mengandung tekanan.
Sara mendongak perlahan. Matanya merah, sembab. Napasnya memburu, seolah tubuhnya masih bereaksi pada rasa takut. Ia menatap Nicko, dan dari sorot matanya, jelas ia sudah mengerti.
“Jadi ini tujuanmu... membuatku seperti ini?” suaranya serak, penuh tuduhan.
Nicko menatapnya lurus tanpa ragu. “Kalau itu yang dibutuhkan untuk membuatmu berhenti lari, ya.” Nada suaranya tenang, tapi ada tekanan di balik setiap kata.
Ia melangkah perlahan mendekat, sorot matanya tak pernah lepas dari Sara.
“Jangan mendekat, Nick,” bisik Sara. Suaranya rapuh, tapi ada bara marah yang berusaha muncul di balik ketakutannya. Tubuhnya menegang, jemarinya mencengkeram erat tepi sofa agar tidak jatuh, sementara lututnya bergetar menahan berat badannya yang hampir goyah.
Sara berdiri menempel pada kaca besar di belakangnya. Dadanya terasa sesak, rasa terperangkap membuat pikirannya kacau. Ia benci posisi ini. Benci bagaimana Nicko selalu membuatnya kehilangan ruang dan kendali, hingga tak ada jalan untuk mundur, apalagi lari.
"Kau mau apa lagi? Apa kau masih belum puas?" suaranya serak, penuh lelah, seolah pasrah jika malam ini Nicko kembali menyentuhnya.
Tatapan Nicko turun ke jemari Sara yang gemetar hebat, lalu ke matanya yang tak berani menatapnya balik. Ia berdiri hanya dua langkah darinya.
Terlalu dekat.
“Kau takut padaku,” katanya pelan, suaranya datar tapi menusuk. “Aku bisa lihat itu dari matamu.”
Ia sedikit menunduk, wajahnya makin dekat, rambutnya jatuh berantakan hingga ujungnya hampir menyentuh pipi Sara.
“Tapi kau salah, kalau mengira ini cuma tentang aku. Ketakutanmu.. itu datang dari dalam kepalamu sendiri. Dan aku tidak akan membiarkanmu terus lari darinya.”
Tangannya terulur, menyentuh lengan Sara yang dingin. Sara langsung mundur, tapi terhalang kaca di belakangnya.
“Jangan..” suaranya pecah. “Jangan sentuh aku lagi...”
Nicko menatapnya lama, ekspresinya sulit dibaca.
“Kau pikir aku mengambil obat itu untuk membuatmu menderita?” ujarnya datar. “Tidak, Sara. Aku hanya berhenti membiarkanmu menghindar.”
Sara menunduk, tubuhnya kaku. Napasnya memburu, matanya menolak menatapnya kembali. Nicko tetap di tempatnya, kepalanya sedikit menunduk di dekat wajah Sara, seolah menikmati setiap detik saat Sara tak punya ruang untuk mundur.
Nicko merendahkan suaranya lagi. “Tatap aku, Sara. Tatap lelaki yang kau hindari selama tujuh tahun. Tatap aku, dan hadapi malam itu. Malam yang membuatmu seperti ini.”
Sara memalingkan wajahnya. Seluruh tubuhnya gemetar, udara di sekitarnya terasa dingin dan berat, seolah menekan dadanya.
“Cukup. Pergilah, Nicko. Aku tak ingin membicarakannya lagi,” bisiknya lirih, suaranya hampir tenggelam di antara detak jantungnya yang memekakkan telinga.
Nicko meraih rahangnya, sentuhannya tampak lembut, namun kekuatannya membuat Sara tak berkutik.
Perlahan, ia memaksa wajah itu kembali menghadapnya. Napasnya hangat dan dekat, bercampur aroma samar yang memukul ingatan Sara.
Sekilas, bayangan malam itu melintas, keramaian pesta yang memekakkan telinga, cahaya lampu berputar, lalu sunyi di kamar hotel. Pintu terkunci. Langkah mendekat. Dan rasa dingin yang merayap di punggungnya.
Sara menatapnya sekarang, tapi kosong, tatapannya seolah menembus wajah Nicko, mencari celah untuk melarikan diri, meski hanya di dalam pikirannya.
"Justru karena kau tak mau membicarakannya,” ucap Nicko pelan, suaranya berat dan rendah, “kau akan terus terjebak di sana.”
“Kau gemetar di depanku… persis seperti malam itu,” lanjutnya, jemarinya sedikit mengencang di rahang Sara. “Bedanya, sekarang kau tak bisa bersembunyi di balik siapa pun.”
Sara menarik napas pendek, dadanya naik-turun cepat. Di balik kekosongan tatapannya, sesuatu mulai berubah rasa takut yang menahannya perlahan bergeser menjadi kemarahan. Bibirnya bergetar, karena kata-kata yang memaksa keluar.
“Kau tahu ini salah. Memaksaku, mengikatku dalam dunia yang hanya kau inginkan, lalu mengabaikan ketakutanku.. tapi kenapa itu semua tak pernah cukup untuk menghentikanmu.. Nick?”
Rahang Nicko mengeras, jemarinya menekan sedikit lebih kuat hingga kulit Sara terasa panas di bawah genggamannya.
“Salah menurutmu? Aku tidak peduli. Aku hanya peduli kau di sini… bersamaku.”
Sara mencoba menarik wajahnya menjauh, tapi tubuh Nicko seperti tembok tak bergeser sedikit pun.
“Aku menyadarkanmu,” katanya, napasnya menyapu pipi Sara.
“Kau pikir kau hidup? Tidak. Kau hanya bersembunyi… dan pura-pura baik-baik saja.”
Sara tetap diam kembali menahan amarahnya.
Nicko menatapnya tanpa berkedip, jarinya perlahan bergeser dari rahang ke pipinya.
“Sekarang… lawan aku,” bisiknya. “Atau… miliki aku.”
Sara menggeleng, matanya tetap tertunduk.
“Tidak. Aku.. aku hanya ingin semua ini berakhir.”
Nicko menatapnya lama, sorot matanya mengeras.
“Berakhir? Satu-satunya akhir.. adalah di sisiku. Dan kau tahu itu, meski kau terus berpura-pura ada yang bisa menyelamatkanmu.”
Nicko menatapnya lama, seolah menghitung setiap tarikan napas itu.
Sampai akhirnya ia bicara lagi, suaranya dingin.
“Aku benci melihatmu seperti ini… bergantung pada sesuatu yang bahkan tidak bisa menyelamatkanmu.”
Sara menahan napas, matanya bergerak gelisah menghindari tatapan Nicko.
“Aku muak dengan botol sialan itu,” lanjutnya, tatapannya melirik ke meja, ke botol kecil berisi sisa pil penenang, obat yang Sara simpan untuk saat terburuk.
“Obat itu jadi satu-satunya yang kau andalkan,” katanya, matanya menyipit. “Seolah tanpa itu kau tak bisa bertahan.”
Ia melangkah tenang ke arah meja, meraih botol itu, menatapnya lama seolah menimbang sesuatu. Lalu ia menoleh pada Sara, sorot matanya tajam dan penuh tekanan.
“Setiap kali kau panik, kau cari obat itu, bukan aku. Setiap kali kau takut, kau pilih menghindar lewat tidur palsu obat itu, bukannya menghadapiku.”
Tangan Nicko mengepal, menggenggam botol itu erat sampai plastiknya berderit pelan.
“Aku ini yang seharusnya jadi tempat kau bergantung. Bukan obat itu. Obat cuma menunda masalah, bukan menyelesaikannya.”
Ia melangkah ke depan Sara, berdiri tepat di hadapannya.
“Aku ingin kau melihatku Sara, bukan lari.”
Sara memejamkan mata, tubuhnya gemetar. Nicko menyentuh pipinya, lembut tapi tegas.
“Serumah denganku belum cukup hm?”
Nada suaranya turun, jadi hampir berbisik.
“Atau kau mau aku benar-benar tinggal di sini tiap malam, baru kau berhenti lari?”
Nicko memperhatikan dengan tajam. Ia mendekat sedikit lagi, hingga napas mereka beradu di udara.
“Kalau obat itu bisa membuatmu tidur nyenyak... lalu apa gunanya aku di sini?”
Tangannya meremas botol obat di genggamannya, lalu tanpa aba-aba—
Braakkk.
Botol itu dibanting ke meja dengan suara keras.
Sara terkejut. Tangannya refleks merapat ke tubuhnya sendiri, tubuhnya kaku. Rasa dingin merayap di kulitnya, membuatnya menegang dan menggigil. Kepanikan mulai menyerang lagi.
Di depannya, Nicko berdiri tanpa senyum. Rahangnya mengeras, dadanya naik-turun pelan. Tatapan matanya tajam, seperti berusaha menyeret Sara keluar dari dinding pertahanannya.
“Aku akan mengajarkanmu tidur... tanpa racun itu,” katanya dingin.
“Bersama rasa takutmu. Bersamaku.”
Nicko berdiri lama, menatap Sara yang masih terdiam.
Nicko berdiri lama, menatap Sara yang masih terdiam.
“Sara,” ucapnya pelan tapi tajam, “kau tak akan berdiri di sini sampai pagi, kan?”
Sara tak menjawab. Wajahnya sedikit tegang, napasnya mulai pelan. Ada rasa takut, tapi ia sudah lelah berdebat. Matanya memanas, air mata hampir jatuh, namun ia menahannya. Yang ia inginkan hanya Nicko pergi dan membiarkannya tenang.
“Aku akan tidur sendiri. Keluarlah.”
Nicko memiringkan kepalanya. Wajahnya datar, tapi matanya seperti menertawakan keputusan itu. Dalam satu langkah, ia sudah berada di depannya.
Gerakannya tenang, hampir tak terdengar, saat tubuh tinggi itu merunduk dan mengangkat Sara ke pelukannya.
“Nick, turunkan aku! Aku bilang aku bisa sendiri!” seru Sara, tangannya menekan dada Nicko. Tapi tubuhnya tetap terkurung di pelukannya.
Nicko terus melangkah menuju tempat tidur.
“Tenang. Aku tak akan menyentuhmu malam ini,” ucapnya pelan. “Setidaknya belum.”
akan melakukan nya lagi dengan Sura
dan pada akhirnya sura berkata jujur karena minuman minuman itu...
hanya author yg tau
lanjut thor ceritanya
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi