Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hampir
Tiba-tiba, di tengah keheningan itu, angin berhembus lebih kencang. Sehelai kain lusuh terbawa terbang, jatuh tepat di depan kaki Putri Minghua. Kain itu sobek di beberapa bagian, tapi ada lambang yang masih jelas terlihat: sebuah naga bermahkota, dikelilingi bunga peony merah.
Putri Minghua membeku.
Tangannya bergetar saat ia meraih kain itu. “Ini…” suaranya tercekat.
Putri Xiaolan menatap heran. “Kakak mengenali lambang itu?”
Putri Minghua menggenggam kain tersebut erat-erat, matanya bergetar penuh keraguan. Lalu, tanpa ia sadari, bayangan masa kecil perlahan menyeruak ke dalam kepalanya.
Putri Minghua tersentak, kembali ke dunia nyata. Nafasnya memburu.
Sanghyun segera menoleh, alisnya berkerut. “Apa yang kau lihat?”
Putri Minghua menggenggam kain itu lebih erat, matanya berkaca-kaca namun berkilat tegas. “Aku… aku pernah melihat simbol ini saat masih kecil. Seseorang memberikannya padaku. Katanya, jika istana hancur… aku harus mengikuti petunjuknya.”
Wei mendekat, wajahnya serius. “Petunjuk ke mana?”
Putri Minghua menutup mata sejenak, berusaha mengingat dengan jelas. Potongan memori kembali muncul—sebuah gerbang tua di luar ibu kota, ukiran naga di atas pintunya, dan suara samar pria itu: ‘Hanya di sana kau akan tahu siapa kawan, siapa lawan.’
Putri Minghua membuka matanya, suaranya penuh keyakinan. “Aku tahu tempatnya. Sebuah kuil tua di pegunungan barat. Di sana… mungkin ada jawaban tentang siapa yang mengkhianati istana.”
Putri Xiaolan menatapnya terkejut. “Kuil barat itu sudah lama terbengkalai… bahkan rakyat jarang berani mendekat. Katanya tempat itu penuh kutukan.”
“Justru karena itu,” Sanghyun menyahut pelan, matanya tajam. “Tempat yang dianggap terkutuk adalah tempat terbaik untuk menyembunyikan kebenaran.”
Wei menyeringai miris. “Baiklah. Kalau memang itu jalan satu-satunya, aku ikut.”
Putri Minghua menatap simbol naga di kain itu sekali lagi, lalu menatap reruntuhan istana di sekelilingnya. Hatinya bergetar.
Dulu ia adalah seorang putri yang dibuang, hidup tanpa tujuan.
Tapi sekarang, seolah takdir menuntunnya—ia adalah satu-satunya yang memiliki kunci menuju kebenaran.
Belum sempat mereka berembuk lebih jauh, suara langkah tergesa terdengar dari arah gerbang utama istana. Derap kaki prajurit, banyak sekali, mendekat cepat.
Sanghyun segera bereaksi. “Sembunyi!” desisnya, menarik Putri Minghua ke balik salah satu tiang runtuh. Wei dan Putri Xiaolan mengikuti, menahan napas.
Dari balik bayangan, mereka mengintip. Puluhan prajurit masuk dengan obor menyala. Namun bukan pasukan istana yang mereka kenal—baju zirah mereka berwarna hitam pekat, tanpa lambang kekaisaran. Wajah-wajah mereka tertutup topeng besi menyeramkan.
Pemimpinnya, seorang lelaki bertubuh tinggi dengan pedang panjang berlumuran darah kering, mengangkat tangannya. Suaranya berat dan dingin.
“Cari mereka. Putri buangan itu masih hidup. Jika kalian menemukannya… bawa kepalanya padaku.”
Darah Putri Minghua serasa membeku. Dadanya naik turun cepat, matanya melebar. Tangannya refleks menggenggam erat kain bersimbol naga bermahkota itu, seolah benda kecil itu satu-satunya pegangan yang menahannya agar tidak runtuh.
Putri Xiaolan hampir bersuara, tapi Sanghyun menutup mulutnya, menggeleng cepat. Wei sendiri sudah meraih pedangnya, urat-urat di lehernya menegang menahan amarah.
Para prajurit bayangan itu menyebar ke setiap sudut istana, menendang pintu, mengobrak-abrik ruangan, bahkan menusukkan pedang mereka ke tumpukan kain dan jerami—seolah yakin mangsanya bersembunyi di sana.
Suara teriakan terdengar ketika salah satu pelayan yang masih tersisa tertangkap. Prajurit bertopeng menarik rambut si pelayan dengan kasar.
“Katakan, di mana Putri Minghua?! Jika kau berbohong, nyawamu habis di tempat.”
Pelayan itu menangis, suaranya bergetar. “Sa… saya tidak tahu! Yang Mulia Putri sudah lama—”
Sret! Pedang menebas. Tubuh pelayan itu terjatuh tanpa kepala. Darah segar mengalir di lantai marmer.
Putri Minghua menutup mulutnya rapat, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Ia ingin menjerit, ingin berlari menolong, tapi Sanghyun menahan pundaknya kuat-kuat. Tatapan mata Sanghyun tajam, seolah berkata: jangan gegabah, kau harus hidup.
Wei, dengan rahang terkunci, berbisik lirih. “Biadab… kalau aku turun sekarang, mereka akan kubantai semua.”
“Bukan waktunya,” sahut Sanghyun pelan, matanya tetap awas pada gerakan musuh.
Para prajurit itu terus mengacak-ngacak istana. Salah satunya mendekat ke arah tiang tempat mereka bersembunyi. Langkahnya semakin dekat, suara denting logam di sabuknya terdengar jelas.
Putri Minghua nyaris menahan napas sampai sakit di dadanya. Ia bisa mendengar degup jantungnya sendiri—keras, tidak terkendali.
Satu langkah lagi… pedang prajurit itu terangkat, hendak menusuk ke balik reruntuhan tempat mereka bersembunyi.