Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba untuk memahami
Sena datang bukan karena ajakan atau undangan dari Sasa untuk pulang ke rumah orang tuanya. Kehadirannya murni karena menghormati ibunya—perempuan yang telah lebih dulu mengundangnya datang, meski tanpa maksud tertentu seperti yang Sasa katakan di telepon tadi, dinner.
Apapun yang terjadi, tetap berpikir positif, Sen, gumamnya dalam hati sambil mengemudi dengan tenang, selepas menyelesaikan pekerjaannya di kampus.
Beberapa menit setelah itu, mobilnya tiba di pelataran rumah orang tuanya. Taman yang luas menyambut pandangannya, dengan air mancur berdiri di tengah-tengahnya, memberi nuansa tenang pada sore yang mulai redup.
Benar saja, begitu ia memasuki garasi, matanya langsung tertumbuk pada sebuah mobil berwarna pink yang sangat familiar.
Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Sasa?
Tepat pada saat itu, Jeno keluar dari dalam rumah sambil menenteng helm di tangan. Melihat kakaknya baru saja tiba, ia pun buru-buru menghampirinya.
"Mas, didalam ada Sasa, loh!" ujarnya cepat, seolah itu kabar penting.
Sena yang baru saja turun dari mobilnya hanya terkekeh ringan. "Iya, Mas sudah tahu. Tadi dia telepon," jelasnya santai.
"Kalau tahu, kok tetap datang? Kenapa nggak alasan aja?" Jeno menatapnya bingung.
"Tadi Mama chat Mas. Nggak enak kalau nolak. Takut Mama kecewa. Jadi ya udah, Mas datang aja," kata Sena tenang.
"Oalah, Mas... Andai tadi aku tahu, pasti aku bilang ke Mama kalau Sasa ganggu Mas lagi," keluh Jeno, nadanya terdengar kesal.
"Udah, nggak apa-apa," balas Sena sambil menggeleng pelan. "Omong-omong, ini mau ke mana?" tanyanya, baru menyadari helm di tangan adiknya.
"Ke supermarket, disuruh Mama beli tisu," jawab Jeno cepat.
"Ya udah, sana. Nanti Mama nungguin." ujar Sena memberi isyarat agar Jeno segera pergi.
Jeno mengangguk singkat, lalu bergegas menuju motor sportnya. Sementara itu, Sena pun melangkah masuk ke dalam rumah tanpa banyak berpikir lagi.
Perasaan Sena terasa tidak enak, membayangkan bagaimana Sasa akan bersikap dan juga bagaimana nanti ibunya akan memperlakukan dirinya bersama mantan calon menantunya itu.
Sena ingat betul bagaimana sikap sang Ibu dulu begitu manis terhadap Sasa. Apalagi, sang Ibu dan Sasa mempunyai hobi yang sama, yaitu memasak. Keduanya begitu klop. Akan tetapi, Tuhan menakdirkan bahwa mereka tidak berjodoh. Dan justru hal itu yang membuat dirinya kini merasa agak canggung.
“Nah, itu bintang utamanya datang,” kata Rumi sesaat setelah melihat kedatangan putra sulungnya.
Sena yang sebenarnya jengah berusaha keras menarik sudut bibirnya, memperlihatkan sikap yang biasa saja, padahal jelas dirinya malas—bukan kepada ibunya, melainkan pada sosok wanita yang berdiri tidak jauh darinya, Sasa.
“Mama pikir kamu nggak datang,” kata Rumi.
“Datang, Ma. Sena lapar soalnya,” jawab Sena sambil tersenyum, sekadar sopan.
“Kata Sasa tadi kamu nggak datang, jadi Mama agak kesal. Eh, ternyata prank!” seru Rumi dengan gelak tawa, yang langsung disusul oleh tawa kecil Sasa.
“Mas Sena nggak berubah, ya, Ma. Masih aja jenaka,” ceplos Sasa.
Sementara itu, Sena hanya memutar bola matanya malas. Basi, gumamnya dalam hati.
......................
Semua berkumpul di meja makan panjang. Beberapa hidangan khas rumahan telah disiapkan—masakan yang tampak sederhana namun menggoda, dengan sentuhan khas rumah keluarga berada.
Ada sup buntut dengan taburan bawang goreng renyah, ayam panggang utuh berbalut bumbu madu, sambal goreng kentang ati, serta tumisan sayur baby buncis yang masih mengepul hangat.
Sasa duduk tepat di seberang, berhadapan langsung dengan Sena. Di samping Sena, Jeno ikut bergabung, tampak santai seperti biasa.
Ini kapan selesainya, sih? pikir Sena.
Padahal, satu suap pun belum ia telan. Lantas, bagaimana bisa berharap semuanya segera selesai? Cukup konyol memang.
Suasana makan malam berlangsung dengan Rumi yang sibuk menyajikan makanan, dibantu oleh seorang maid yang datang hanya pada waktu-waktu tertentu.
“Cukup, Ma,” ucap Sena pelan saat melihat Rumi hendak menuangkan nasi ke piringnya, lagi.
“Diet, Sen?” tanya Saleem, ayah mereka, dengan nada santai.
“Nggak, Pa. Udah malam, Sena memang nggak makan banyak kalau malam,” jelas Sena singkat.
“Biar badannya bagus, biar doi tambah lengket,” goda Jeno, sambil terkikik kecil.
“Huss! Apa sih, Jen?” sela Sena sambil menyikut Jeno halus.
Di seberang meja, Sasa tampak tersipu malu. “Padahal, kamu gemoy aja tetap cakep, loh, Mas. Aku suka kok,” sahutnya dengan suara yang dibuat ringan, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa.
Jeno mengerutkan kening, lalu menyambar cepat. “Dih, bukan kamu ya, Sa. Tapi ceweknya Mas Sena. Pede amat.”
Nada sarkastik Jeno membuat Sena dengan reflek menyenggol kakinya di bawah meja, peringatan halus agar adiknya tahu batas.
Seketika, raut wajah Sasa berubah masam. Sorot matanya meredup. Melihat perubahan ekspresi itu, Rumi buru-buru mencoba mencairkan suasana.
“Udah, bahas yang lain aja, ya?” ucapnya mencoba terdengar netral.
Namun Jeno belum berhenti. “Tunggu, Ma. Ini biar Sasa juga tahu batasan. Mas Sena itu sebenarnya nggak nyaman makan malam seperti ini. Ini aja karena undangan Mama, kalau bukan, juga nggak bakal mau. Soalnya Mas Sena udah punya cewek dan sebentar lagi mau dilamar. Iya, kan, Mas?” katanya, terlalu ringan untuk sebuah pengakuan yang membuat semua kepala sontak menoleh ke arah Sena.
“Jen! Kamu ngomong apa, sih? Ma, enggak—”
Belum sempat Sena membantah, Rumi sudah lebih dulu memotong, “Beneran? Siapa? Yang waktu itu kamu ceritain ke Mama?”
Sasa mengerutkan keningnya. Matanya bergantian menatap Rumi dan Sena, penuh tanya. Jadi, beneran? Sena punya cewek? sungutnya dalam hati.
“Ma, enggak usah dibahas, ck,” gumam Sena, mulai kesal.
“Oh, selamat ya, Mas. Aku ikut senang. Kalau boleh tahu, dia siapa? Kok rasanya aku belum pernah lihat kamu jalan sama siapa pun?” tanya Sasa dengan suara yang ditahan tenang. Tapi sorot matanya cukup menjelaskan apa yang tak terucap.
Alih-alih menjawab, Jeno malah menyela cepat.
“Nanti tunggu tanggal mainnya, sekarang makan dulu. Aku lapar.” katanya sambil kembali menyendok nasi ke piring.
Sasa diam. Ia hanya meremas sendok dan garpu yang kini terasa dingin. Matanya menatap kosong ke arah piring penuh lauk di depannya.
Brengsek! umpatnya dalam hati.
Setelah itu, suasana di meja makan mendadak sunyi. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar, saling beradu dengan piring keramik.
Sesekali, Sena mencuri pandang ke arah Sasa. Wajah gadis itu benar-benar berubah, suram. Jelas, ini bakal jadi urusan panjang, pikirnya.
Namun, di balik ucapan Jeno tadi yang terdengar ceplas-ceplos dan tanpa filter, ada satu hal yang tak bisa Sena bantah, sebagian ada benarnya. Meski, jelas, caranya menyampaikan jauh dari baik. Terlalu berlebihan, bahkan mengada-ada.
Faktanya, hubungannya dengan Camelia pun kini tak jelas arahnya. Mereka tak saling bicara dengan baik, dan untuk bicara soal lamaran? Terlalu jauh.
Seperti itulah Jeno. Mulutnya selalu lebih cepat dari pikirannya. Sarkasme adalah gaya bicaranya yang khas dan kadang, terlalu menyakitkan untuk diterima semua orang.
......................
Seusai makan malam, sebenarnya Sasa ingin berbincang-bincang dengan kedua orang tua Sena, juga bertanya atau sekadar basa-basi. Sebab, ada begitu banyak rasa penasaran yang membuncah dalam benaknya, tetapi ia memilih mengurungkan niat itu.
Rasanya terlalu cepat untuk membuka semua hal dalam satu malam. Untuk saat ini, satu-satunya cara adalah mengambil hati ibu Sena seperti dulu.
"Ma, biar aku aja yang beresin, nggak apa-apa," ujar Sasa, menawarkan diri dengan senyum ringan.
"Eh, nggak usah. Biarin mbak-mbak aja. Itu Sena sama Jeno lagi di ruang tamu, sana gih, ngobrol," sahut Rumi sambil melirik ke arah ruang tamu.
Sasa hanya mengangguk kecil sebelum melangkah meninggalkan meja makan. Ia berjalan pelan menuju ruang tamu, lalu berhenti sejenak di ambang pintu. "Ehem, boleh gabung nggak?" tanyanya dengan nada sopan, berharap disambut hangat.
Namun, dua laki-laki yang duduk di sana hanya meliriknya sekilas lalu kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing, memainkan ponsel tanpa sepatah kata pun.
Sialan! Sabar, sabar, batin Sasa, merasa canggung sekaligus diacuhkan. Ia pun ikut duduk, tapi memilih posisi agak jauh dari mereka. Aduh, ngapain nih sekarang? pikirnya, gelisah sendiri.
Di sisi lain, Jeno yang sibuk dengan ponselnya mengintip ke arah Sasa sekilas, lalu mengirim pesan ke Sena.
To: Mas Sena - Kesel nggak sih ngeliat dia caper gitu?
Pesan terkirim. Tak butuh waktu lama, notifikasi balasan pun muncul.
From: Mas Sena - Banget. Mas mau ke belakang. Mau ngerokok, temenin Sasa gih, biar nggak boring.
Tak lama setelah membaca pesan itu, Jeno melihat kakaknya bangkit dari sofa dan berjalan keluar rumah menuju taman belakang.
"Mas Sena mau ke mana, Jen?" celetuk Sasa, berusaha mencairkan suasana.
"Nggak tahu. Ngerokok kali." jawab Jeno dengan nada ogah-ogahan, tanpa menoleh.
Sasa yang memang keras kepala dan tidak tahu malu, langsung berdiri dari duduknya, hendak menyusul Sena.
"Benar-benar nggak bisa move on tuh anak, ngejar mulu." gumam Jeno, tak habis pikir melihat kelakuan mantan kakaknya itu.
......................
Satu batang rokok yang menyala dengan asap membumbung tinggi berhasil memberi sedikit ketenangan bagi Sena malam ini. Angin malam yang berhembus lembut, serta hamparan bunga-bunga yang tertata rapi di taman milik ibunya, menghadirkan suasana yang mendamaikan hati. Untuk sesaat, pikirannya tidak lagi dibebani berbagai hal.
Di sisi lain, Sasa melangkah pelan ke teras belakang. Langkahnya terhenti begitu matanya menangkap sosok punggung bidang milik Sena yang berdiri membelakanginya. Tangan kiri pria itu dimasukkan ke dalam saku celana, sementara tangan lainnya menggenggam sebatang rokok yang sesekali diangkat ke bibir.
Melihat pemandangan itu, Sasa tersenyum kecil, lalu mendekat dengan hati-hati.
"Aku senang banget bisa makan malam bareng keluarga mu lagi. Tapi yang paling bikin aku senang itu... kamu datang. Aku pikir, waktu aku telepon tadi, kamu beneran nggak akan datang. Tapi ternyata datang juga. Makasih ya, Mas," ucap Sasa, kini berdiri di samping Sena sambil mendongakkan kepala untuk menatapnya.
Sena tetap diam, tak bergeming sedikitpun. Pandangannya lurus ke depan, dan satu-satunya suara yang terdengar adalah helaan napasnya saat menghisap rokok.
Perlahan, senyum Sasa memudar. Perasaannya mencelos, seolah kehadirannya sama sekali tidak dianggap.
"Emangnya nggak boleh ya, Mas... kalau aku berubah dan menyesali semuanya? Aku tahu aku salah, tapi kenapa kamu seperti nggak mau buka pintu maaf? Apa aku harus bersujud?" tanyanya lirih, nyaris berbisik.
Sena berdecih pelan, membuat alis Sasa naik heran.
"Mas..." panggil Sasa lagi, nadanya lebih lembut, hampir rapuh.
Sena menarik napas dalam, lalu membuangnya bersamaan dengan hembusan asap rokok. Ia menjatuhkan batang rokok ke tanah dan menginjaknya dengan kuat.
"Aku sudah memaafkan semua kesalahan yang kamu buat, Sa. Tapi rasa kecewaku nggak bisa hilang," katanya lirih sambil menepuk dadanya pelan. "Di sini, di hati ini, masih ada trauma. Kalau aku jahat, kamu dan Sadewa-mu itu, detik itu juga aku habisi. Tapi aku masih punya hati dan rasanya, tangan ini terlalu suci untuk melakukan dosa seperti itu," Sena memalingkan wajah ke arah Sasa, menatapnya sejenak sebelum kembali mengalihkan pandangan.
"Sa, kamu cantik, berpendidikan, punya karir bagus. Please, move on. Cari laki-laki yang lebih mapan dari aku. Jangan bersikap begini terus."
Mata Sasa mulai berair. Ia menggigit bibir bawahnya, dagunya bergetar saat menahan emosi. "Kenapa kamu ngomong kayak gitu, hm? Karena udah punya calon? Jadi nyuruh aku pergi gitu aja?" bisiknya lirih dengan suara bergetar.
"Iya, aku sudah punya calon. Dan aku menghargai perasaannya. Nggak sepantasnya kamu bersikap seperti ini, Sa. Nggak pantas. Bersikap seolah-olah nggak ada apa-apa, padahal semuanya sudah rusak. Apa kamu nggak lihat sorot mata Mama yang sebenarnya juga kecewa atas sikapmu dulu? Tapi beliau tetap menerimamu dengan lapang dada. Setidaknya, hargai perasaan beliau." jawab Sena tajam.
Sasa menunduk, air matanya menetes tanpa bisa dibendung.
"Aku bicara seperti ini bukan karena aku melarang kamu menjalin silaturahmi. Tapi tolong, beri aku dan keluargaku rasa lega karena telah melepaskan mu. Dengan kamu bersikap seperti ini, kamu justru mempermainkan kami, Sa."
Sasa menggigit bibir, menahan tangis yang nyaris meledak. "Tapi aku udah minta maaf, Mas," balasnya pelan.
"Aku tahu. Tapi seperti yang aku bilang tadi, rasa kecewa itu... nggak akan pernah hilang. Paham kamu?!" seru Sena, nadanya meninggi, napasnya naik turun menahan emosi.
Setelah mengucapkan itu, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Sasa yang berdiri mematung dengan tangan meremas sisi gaunnya.
Ditolak, ya, itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana saat ini. Tidak pernah terlintas dalam bayangannya bahwa Sena akan setega itu. Kata-katanya seperti pisau tajam yang mencabik-cabik hati, meninggalkan luka menganga. Sakit, perih dan tidak bisa dihindari.
Begitulah luka dari seseorang yang pernah dicintai sepenuh hati, ia tahu persis di mana harus menusuk agar rasa sakitnya abadi.
Pada sudut lain rumah itu, seorang wanita paruh baya berdiri membatu di balkon lantai atas, Rumi. Matanya tak lepas dari dua sosok yang berbincang di bawah sana, putra sulungnya dan wanita yang dulu pernah ia harapkan menjadi menantu.
Suara percakapan yang tak sepenuhnya pelan, cukup jelas terdengar olehnya, terutama kalimat terakhir Sena yang terasa seperti sembilu menghujam jantung. Ia menggenggam kedua telapak tangannya erat-erat, mencoba menenangkan gemuruh yang mendadak menguar dari dalam dada.
Apa yang dikatakan Sena memang benar. Bukan hanya putranya yang terluka, tetapi ia dan suaminya juga merasakan hal yang sama. Sasa dulu sudah dianggap seperti anak sendiri. Ia datang membawa kehangatan, menciptakan kebersamaan yang nyaris utuh. Tapi kepergiannya yang mendadak demi pria lain, adalah pengkhianatan paling nyata yang tak pernah mereka bayangkan.
Rasanya seperti ditembak tepat di bagian paling rapuh dalam hati. “Maafkan Mama kalau Mama ijinkan Sasa datang lagi dalam kehidupan kita, Nak. Mama cuma mau semuanya baik-baik saja, walau rasanya sulit. Tapi ternyata, keputusan Mama malah bikin kamu nggak nyaman.” gumamnya, penuh penyesalan.
Rasa bersalah kini membalut seluruh nuraninya. Ia tahu betul bagaimana kondisi Sena setelah patah hati saat itu. Putranya benar-benar tertutup, tidak membuka hati, bahkan seperti menghindari kedekatan dengan perempuan. Ia tenggelam dalam kesibukan, dalam dunia yang hanya sedikit orang bisa masuk.
Namun Rumi tak pernah lupa malam itu, malam ketika Sena datang dan berbicara, tidak banyak memang, tapi cukup untuk membuatnya paham bahwa putranya sedang jatuh cinta lagi. Meski tak menyebut nama, tapi Rumi bahagia.
Bukan karena ingin segera memiliki menantu baru, tapi karena akhirnya Sena berani membuka pintu hatinya lagi. Ia tahu, Sena bukan tipe yang mudah dibujuk, apalagi diselami. Tapi saat ia bicara, saat itulah waktunya tiba.
Maka Rumi pun memutuskan untuk sabar, menanti, dan percaya bahwa wanita yang dimaksud akan datang pada waktunya. Bukan hanya dirinya, Saleem, sang suami dan juga Jeno, adik Sena, tahu betul luka yang tersembunyi dalam diam putra pertama mereka.
Mereka tahu, Sena tidak sedang baik-baik saja, bahkan selama bertahun-tahun. Mereka pun pernah marah pada Sasa, tentu saja. Tapi waktu mengajarkan bahwa marah tidak akan membawa ke mana-mana. Maka mereka memilih untuk berdamai.
Berdamai dengan luka, dengan kecewa, dengan ingatan yang tidak bisa dihapus. Termasuk Sena, yang meski dengan caranya sendiri, juga mencoba menerima.
Cinta memang tidak selalu datang dengan cara yang indah, tapi Rumi percaya, jika memang ditakdirkan untuk kembali, maka seberapa jauh pun seseorang pergi, ia akan tetap menemukan jalan pulang, meski jalannya penuh luka.