NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:550
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17 LUBANG DI DALAM POHON

Langkah-langkah mulai menuruni bukit. Udara sore terasa lebih lembap. Langit, yang tadi jernih, kini perlahan kehilangan warna jingganya, tergantikan oleh awan-awan kelabu yang bergulung pelan.

Zia berjalan lebih dulu, tubuhnya ringan tanpa beban berat semangka dalam ransel, langkahnya percaya diri. Viren mengikuti tak jauh di belakang, disusul Jake yang tetap waspada seperti biasanya.

“Sepertinya akan hujan,” gumam Zia, menghentikan langkahnya. Ia menengadah, menatap langit yang mulai berkerut. Nafasnya terasa berat, seolah tubuhnya bisa membaca pertanda.

Viren menundukan kepalanya melihat Zia.

Namun sebelum sempat ia membuka suara, Tiba-tiba dari arah atas jalur sempit, seorang pria berjaket tebal berjalan terburu-buru. Gerakannya tak terkendali, dan ranselnya yang besar tersangkut di sisi Zia—menyentak bahunya.

Ia terhempas ke arah sisi jalur yang licin, kakinya yang baru sembuh terpeleset di tanah berlumut. Tangannya terentang ke udara, mencari pegangan. Dalam sepersekian detik, dunia menjadi sunyi. Suara langkah, hembusan angin, dan detak jantung bercampur menjadi satu.

“Zia!” pekik Viren, refleks menangkap tangan Zia yang terjulur di udara.

Sentuhan itu terjadi dalam sepersekian detik—ujung jari yang bertaut—namun dalam detik yang sama, tubuh Viren ikut tertarik oleh berat tubuh Zia yang terjatuh ke bawah. Keseimbangan mereka terlepas seperti ikatan simpul yang mengendur.

Jerit Zia tertelan angin, dan suara tubuh mereka yang jatuh menghantam semak dan tanah terdengar menyayat dari atas.

Jake berseru, “Tuan!”

Keduanya tergelincir. Tubuh mereka meluncur turun melewati rerumputan dan bebatuan, terhenti pada lereng dangkal sekitar dua belas meter di bawah jalur pendakian. Tidak terlalu dalam, namun cukup untuk membuat orang-orang yang melihat menahan napas.

Kerumunan mulai terbentuk. Beberapa pengunjung berkerumun di pinggir jurang, menyorotkan ponsel dan meneriakkan panik.

“Tuan! Nona!” teriak Jake sekali lagi dari puncak, Ia berlari ke tepi, menunduk, tapi tak ada apa pun yang terlihat selain pepohonan dan dinding batu.

Tanpa banyak bicara, Jake berbalik dan segera turun ke bawah, berlari menembus jalanan licin untuk mencari pertolongan.

Sementara di dasar jurang, keheningan membentang seperti kabut.

Zia terbaring tak sadarkan diri, wajahnya tersembunyi di pelukan Viren. Tubuhnya nyaris tak bergerak, hanya napas yang samar menjadi penanda bahwa ia masih hidup. Di sisi lain, Viren terduduk lemah, bersandar pada batu besar. Wajahnya penuh luka-luka kecil dan memar, tapi ia masih sadar—meski nyeri menyengat dari lengan kirinya yang robek hingga siku.

Ia tidak bergerak. Hanya memeluk Zia lebih erat—melindunginya dari dingin dan hujan yang mulai menetes perlahan.

Viren menunduk, menyentuh kening Zia dengan punggung jarinya. Ia masih hangat. Itu cukup untuk membuatnya bertahan sedikit lebih lama.

"Bangunlah..." bisiknya nyaris tanpa suara, lebih seperti doa yang dipanjatkan dalam hati.

Hujan mulai turun, menetes dari rambutnya yang basah, menyusuri rahangnya hingga jatuh ke tanah yang dingin. Malam mulai menyergap mereka pelan-pelan, dan langit tampak menggulung awan hitam seperti tabir duka.

Tiba-tiba, Zia bergerak pelan. Jemarinya menggenggam kain di dada Viren, seperti mencari sandaran dalam gelap. Ia mengerjapkan mata, pelan sekali, seolah enggan meninggalkan mimpi.

Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat... jaket hitam dengan resleting neon yang familiar. Hangat. Membungkusnya.

Ia tengadah.

Dagu Viren.

Pria itu memeluknya erat.

“Dia... melindungiku?” batin Zia.

Tubuhnya menegang, pipinya memanas tanpa sebab. Ia tidak tahu bagaimana mereka sampai seperti itu, tapi satu hal pasti—Viren menarik tubuhnya lebih dulu, menahan beban jatuh mereka, dan kini ia... berada dalam pelukannya.

"Viren...?" suaranya parau, serak, dan tercekik oleh sakit di sekujur tubuhnya serta dingin.

Pria itu menunduk menatapnya. Ada beberapa luka kecil di wajahnya dan goresan debu di sisi rahangnya. Tapi matanya tetap tajam dan sadar. Ia perlahan melepaskan pelukan itu.

“Kau tidak apa-apa?”

Zia mengangguk pelan. Tangannya menopang tanah, duduk perlahan. “Kau sendiri?”

“Aku oke,” jawabnya sambil membenarkan posisi duduk yang lebih nyaman.

Zia menatap wajahnya, dan saat ia melihat darah mengalir di lengan kiri Viren, tubuhnya kaku.

"Tidak! Kau berdarah... Tuhan..." Zia buru-buru merogoh ranselnya, mengambil botol air dan kain kecil seadanya, tangannya gemetar saat menyentuh kulitnya.

Viren hanya menatap. Wajah Zia tampak panik, matanya mulai berair.

"Jangan seperti ini," ucap Zia lirih, suaranya pecah di antara air mata yang tumpah tanpa bisa ia tahan. "Jangan diam seperti ini, seolah kau baik-baik saja padahal kau tidak... Aku benci jika kau begini."

"Zia..." panggil Viren, tapi suaranya lemah.

"Aku takut!" Zia akhirnya menangis, tangannya bergetar saat membersihkan luka Viren. "Aku pikir kau akan mati di atas sana, lalu kau tarik aku dan kita jatuh dan... aku—aku bahkan tidak sempat berterima kasih karena kau selalu melindungiku!"

Viren menarik napas panjang. Luka di tangannya terasa seperti sejumput dari luka yang tak terlihat di dalam dirinya—yang telah lama ia sembunyikan.

Hujan mulai deras, Viren berdiri memegangi lengannya yang diperban seadanya. Ia berjalan beberapa langkah, menembus tirai air yang mengguyur deras, mencari tempat berteduh meskipun keberadaan tempat itu sangat tidak mungkin.

Zia hanya duduk dengan ransel yang dijadikan sebagai sandaran. Wajahnya pucat dengan noda tanah di pipinya. Rambutnya tidak perlu ditanya—lepek dan berantakan, menempel di sisi wajah seperti benang hitam basah.

Ia menarik celananya sedikit ke atas, menahan napas saat rasa perih menyambar lututnya. Luka itu masih basah, merah menyala, dan darah menetes pelan—mengalir seperti garis luka di kanvas tubuhnya sendiri.

Saat hujan menyentuhnya, nyeri itu meledak, menyengat seperti disiram api. Zia meringis, mencoba menahannya dengan satu tangan, menggigit bibir untuk tidak mengerang.

Tiba-tiba, suara dari semak-semak terdengar—gemerisik cepat, seperti langkah yang tak ingin diketahui.

Refleks, Zia menarik celananya turun kembali, menutup luka itu secepat mungkin. Jantungnya berdebar. Pandangannya menajam ke arah suara, menanti apakah itu harapan... atau ancaman.

Beberapa detik kemudian, Viren muncul dari balik rimbunnya semak. Ia menunjuk sesuatu di kejauhan.

"Kita berteduh di sana," ucapnya, pendek.

Zia mengangguk tanpa suara. Ia mengangkat ranselnya dan berjalan mengikuti Viren. Tanpa mengeluh, tanpa banyak bertanya. Seakan dirinya baik-baik saja.

Yang Viren temukan bukan sekadar batang pohon biasa—ia menunjuk sebuah pohon tua yang besar, seukuran rentangan tangan orang dewasa yang melingkar. Lubang menganga di sisi batangnya, cukup dalam untuk satu orang bersandar dan terlindung dari arah angin. Mungkin pohon itu telah hidup selama puluhan tahun, menjadi saksi diam segala perubahan tanah, langit, dan waktu.

Begitu mereka sampai di hadapan pohon, Viren menyentuh pinggir lubangnya. Kasar, dingin, lembap—tapi cukup untuk satu tubuh berlindung.

"Kau masuklah dulu," ujar Zia cepat.

Viren menoleh. "Tidak. Kau yang—"

"Tanganmu. Kau tak bisa bertahan di luar dalam keadaan seperti itu," potong Zia. Nada suaranya tegas, meskipun rahangnya mulai gemetar.

Viren diam. Tatapan Zia penuh keyakinan, meski tubuhnya sendiri mulai menggigil dari bahu sampai ujung jari. Ia tahu tak bisa menang melawan tekad perempuan itu—dan diam-diam, ia menghormatinya.

Akhirnya, Viren masuk dan bersandar pada sisi dalam pohon. Sementara Zia duduk di luar, menempel pada batang yang sama, namun tetap terkena hembusan angin yang menyusup di antara daun-daun, menyelinap masuk melalui Jaket tipis yang menempel seperti kulit kedua.

Langit terus menggeram. Hujan semakin deras, angin semakin liar. Petir menyambar dari kejauhan—suara dan cahaya memecah langit hampir bersamaan.

Zia tersentak, bahunya mengangkat, mata terpejam beberapa detik. Ia tak bergerak dari tempatnya, tapi tubuhnya jelas menggigil bukan hanya karena dingin.

Viren melihatnya dari balik lubang pohon. "Ia takut...” pikirnya. “Bukan karena pohon, bukan karena aku... tapi karena langit. Dan dia masih di sana, duduk diam menahan segalanya. Apa kau selalu seperti ini, Zia? Menyembunyikan takutmu di balik diam?”

“Kalau aku bisa... aku ingin menarikmu ke sini. Tapi aku tahu, kau tak akan datang—bukan karena keras kepala, tapi karena kau selalu memilih bertahan sendirian.”

Batin Viren.

Zia meraih ranselnya, membuka resleting dengan tangan gemetar. Hujan masih memukul punggungnya, dan dingin terus meresap ke dalam kulit. Dalam diamnya, ia mengeluarkan satu demi satu benda—seolah tak ada habisnya.

“Ini... aku punya P3K.” Tangannya meraih kotak putih kecil, sedikit basah karena terkena embun dari dalam tas.

Viren hanya memandang. Ia diam—sampai matanya menangkap kain tebal berwarna abu-abu gelap yang Zia keluarkan selanjutnya.

"Selimut?" gumamnya.

Zia mengangguk. “Dan ini... jas hujan. Satu lagi jaketmu yang kau tinggalkan di kamar kemarin, aku bawa.”

Viren mendengus pelan, lalu tertawa—bukan mengejek, tapi seperti menemukan bagian kecil dari dunia yang tak pernah ia tahu ia butuhkan.

“Kau benar-benar membawa isi Calligo.”

Zia menoleh cepat, mulutnya setengah terbuka. “Hei! Ini semua penting. Lihat, sekarang berguna kan?”

Viren mengangguk pelan, masih terkekeh. Tawa itu tak berlangsung lama, tapi cukup untuk membuat pipi Zia memerah dan hujan di hatinya sedikit reda.

Zia membuka kotak P3K lalu menyuruh Viren untuk memberikan tangan kirinya yang ia perban seadanya tadi.

“Ini akan sakit,” ucapnya menatap wajah Viren.

Dengan botol antiseptik di tangannya, Zia menuangkan cairan bening itu ke luka. Darah mencair bersatu dengannya. Ia meniupnya perlahan—refleks sederhana yang entah kenapa membuat jantung Viren berdetak tak biasa.

"Kau sering ke tempat ini?" tanya Zia di sela-sela aktivitasnya.

Viren mengangguk kecil. "Dan ku pikir kau akan menyukainya, tapi—"

"Aku menyukainya." Potong Zia cepat. "Ajak aku lagi, ya."

Viren menoleh pelan. Matanya menangkap ketulusan di wajah perempuan itu. Beberapa detik diam, lalu ia mengangguk pelan.

Zia kemudian menambahkan obat merah, lalu membalut luka itu dengan perban elastis. Saat jarinya menyentuh kulit Viren, ia merasa panas, bukan dari luka, tapi dari sentuhan diam-diam yang tak pernah ia bayangkan.

“Dia menggigil. Tapi masih merawat orang lain. Aku yang duduk di sini terlindung, dan dia di luar menantang langit. Sungguh ironi...”

“Sudah,” katanya akhirnya.

“Terima kasih,” ucap Viren. Lembut, jujur, dan tanpa pelindung.

Zia hanya mengangguk lalu memberikan jaket yang ia bawa pada Viren, sedangkan ia membentangkan selimut abu yang ia bawa.

Viren menerima jaket itu tanpa kata, tapi dalam diamnya, ia menyadari satu hal—tak ada perlindungan sehangat perhatian yang tak diminta.

Sementara itu, Jake berdiri di antara petugas evakuasi dan beberapa relawan lokal di sebuah titik di kaki bukit. Ia basah kuyup. Jaketnya meneteskan air. Raut wajahnya keras, tegang, dan penuh kegelisahan.

“Bagaimana? Kenapa belum juga naik?” suaranya naik satu oktaf, hampir meledak.

“Maaf, Pak. Anginnya terlalu kencang. Jika kami naik sekarang, ada risiko tanah longsor dan batu lepas. Kami tidak bisa menempatkan alat berat di sisi utara. Bahkan helikopter tidak bisa stabil,” jawab seorang anggota penyelamat dengan suara tertahan.

Jake menggertakkan giginya. Ponselnya menempel di telinga. Ia mencoba menghubungi Viren. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

“Nomor yang Anda tuju berada di luar jangkauan.”

Suara otomatis itu lebih menusuk daripada petir mana pun yang menyambar malam itu.

Jake mendesah tajam, lalu mencoba lagi. Kali ini ke Zia.

Sama. Tidak ada jawaban. Ia menatap layar ponsel yang mulai basah dan penuh embun. Sinyal mati sepenuhnya.

Pikirannya semakin kabur. Suara di ujung telepon dari pos pusat darurat juga tak memberi harapan—tidak ada kendaraan darurat yang bisa naik sekarang. Hujan, kabut, dan angin membentuk kombinasi mematikan.

“Berapa lama lagi?”

“Paling cepat, satu jam jika angin mereda. Tapi kami butuh konfirmasi cuaca.”

Jake memukul palka mobil dengan kesal. Nafasnya memburu. Ia menatap ke arah puncak bukit, gelap tak terlihat. Tapi pikirannya sudah ada di sana.

Viren dan Zia.

Tuan-nya yang dingin dan tajam, dan wanita yang kini perlahan mengubah dinamika seluruh Calligo.

“Mereka butuh bantuan sekarang…” gumam Jake.

Ia menatap petugas penyelamat sekali lagi, lalu berjalan ke belakang mobil, membuka pintu bagasi. Ia mengambil satu kantung darurat—berisi thermal blanket dan senter cadangan.

“Aku naik sendiri.”

“Tidak bisa, Pak Jake! Kami tidak akan bertanggung jawab kalau—”

“Aku tidak butuh tanggung jawab kalian. Aku hanya tidak mau kehilangan mereka.”

Jake sudah melangkah masuk ke jalur bukit sebelum mereka sempat menahan lebih jauh. Namun langkahnya cepat terhenti ketika petir menyambar tak jauh dari lereng, tanah bergetar, dan pohon tua ambruk menghantam sisi jalan.

Ia terdorong mundur.

“Kau lihat sendiri!” seru salah satu petugas.

Jake memukul pohon dengan frustrasi, lalu jatuh terduduk di tanah berlumpur.

“Bertahanlah, Zia...” bisiknya. “Bertahanlah, Tuan...”

Di sisi lain, Manuel duduk di kursi depan, matanya menatap lurus ke jalan yang tergenang, tapi pikirannya melaju lebih cepat daripada kecepatan mobil. Tangan kirinya mengepal pada kemudi, keras, sementara tangan kanan sesekali menyeka embun di kaca dashboard yang tak terjangkau wiper.

Telepon itu datang saat langit mulai kelabu—Disaat siang dan malam bertukar peran.

Manuel sedang duduk di ruang kendali kecil di Calligo ketika suara Jake menerobos sambungan dengan napas tergesa-gesa.

"Tuan—jurang. Viren dan Zia... jatuh. Aku butuh bantuan. Segera."

Suaranya nyaris tenggelam di antara gemuruh angin dan suara orang-orang di sekitarnya. Lalu sambungan mati. Tak ada waktu untuk bertanya. Tak ada waktu untuk panik.

Manuel bangkit tanpa berkata apa-apa. Tangannya meraih jaket dan satu set kunci mobil operasional di gantungan pintu.

Dalam hitungan menit, ia sudah memerintahkan satu unit ambulans, tim medis, dua perawat lapangan, dan dokter pribadi Viren untuk bersiap. Ia juga menurunkan tim teknis darurat dari Cinderline —orang-orang terlatih yang biasa menghadapi kondisi ekstrem: badai, hutan lebat, atau evakuasi vertikal.

Mobil pertama meluncur keluar halaman Calligo dengan lampu rotator menyala dan deru mesin yang memecah kesunyian.

Langit sudah setengah gelap ketika mobil terakhir meninggalkan gerbang.

Bukit hijau—lokasi yang disebut Jake—terpencil dan memakan waktu. Dengan kecepatan tinggi dan tanpa henti, mungkin mereka bisa sampai dalam empat jam. Itu kalau tidak ada longsor. Itu kalau hujan tak menumbangkan pohon ke jalan. Itu kalau angin tidak menghalangi mereka untuk naik sampai ke titik jatuhnya Viren dan Zia.

Dan itu kalau mereka masih hidup saat ditemukan.

Dalam diam, Manuel memejamkan mata sejenak, seolah mengulang strategi yang pernah ia pelajari di masa lalu—kalkulasi risiko, rute tercepat, kondisi fisik korban. Tapi malam ini, semua itu hanya data. Yang ia rasakan adalah kegelisahan yang menekan dada.

“tuan Viren bukan pria ceroboh. Kalau dia jatuh... itu pasti karena mencoba menyelamatkan orang lain.”

“Dan itu... pasti Zia. Ia masih muda. Ia belum tahu medan. Dan tubuhnya—terlalu kecil untuk bertahan lama dalam suhu seperti itu. Jika hujan terus turun dan angin tetap seperti ini... dia bisa hipotermia.”

Seketika itu, pandangannya tertumbuk pada kaca depan, pada langit yang sepenuhnya berubah kelam. Petir menyambar di kejauhan. Lampu dashboard menyorot jam digital.

Empat jam. Dan belum tentu mereka masih di tempat yang sama.

Manuel membuka ponsel, mengetik pesan pendek pada salah satu anggota:

“Siapkan tali, pemotong akar, dan pencahayaan malam. Kita masuk bahkan jika harus merangkak.”

Lalu ia menatap kembali ke depan. Tak ada keraguan di matanya. Hanya satu tujuan:

Membawa mereka pulang. Hidup-hidup.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!