dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 31
Angin berhembus pelan, menggoyangkan sisi tirai putih yang melambai lembut. Cahaya mentari berusaha menyelinap masuk dari sela-sela jendela.
Alejandro membuka matanya perlahan, sesekali menguap kecil. Ia menegakkan tubuh, memposisikan diri untuk duduk.
Sebuah kotak kecil berwarna hitam di atas meja menyita perhatiannya. Alejandro meraih benda itu dan membaca catatan kecil yang menempel di bawah kotak tersebut.
"Jangan berterima kasih padaku, anggap saja ini gajimu bulan ini.
Dari seseorang yang paling senang melihat senyumanmu,"
ELENA.
Kedua sudut bibir Alejandro melengkung ke atas. Saat membuka kotak itu, dadanya terasa nyeri. Matanya memanas, membuat air mata mulai menggenang bukan karena sedih, tapi karena haru. Ia menggenggam benda kecil yang mampu membantunya mendengar suara dunia lagi.
Alejandro tertawa kecil, meskipun air matanya tetap jatuh. Ia bersyukur, ternyata Elena begitu peduli padanya. Pria itu bertekad untuk terus melindungi gadis itu sampai akhir, meskipun harus berdarah-darah menghadapi kejamnya dunia yang terus menghakimi kehidupan gadis malang itu.
Flashback
Elena belum tidur sama sekali, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Ia tak tenang karena terus terbayang wajah Alejandro yang rapuh dan kesakitan saat ia tak bisa mendengar suara dunia.
Elena bergegas membuka laptopnya dan mulai mencari apa yang seharusnya ia dapatkan malam itu. Satu jam kemudian, ia akhirnya menemukan barang yang sesuai, meskipun harganya cukup mahal. Tapi Elena berpikir, ia harus membalas budi atas segala perlindungan Alejandro, meski ini tidak sebanding.
Ia mengenakan hoodie dan masker hitam, lalu berjalan mengendap-endap sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara dan membangunkan Alejandro.
Setelah berjalan kaki sekitar lima belas menit, Elena berhenti di dekat sebuah halte. Ia menunggu seseorang dari situs daring yang menjual alat bantu pendengaran kualitas terbaik.
Lima menit kemudian, orang yang ditunggu datang. Ia menunjukkan barangnya agar Elena bisa memastikannya asli. Singkat cerita, Elena pulang dengan perasaan lega. Ia memegang kotak kecil berwarna hitam itu dengan hati-hati, seakan benda itu bisa pecah kapan saja.
Tepat sebelum Alejandro bangun, Elena yang sudah bersiap sejak subuh meletakkan hadiah tersebut di atas meja, lalu segera pergi.
Elena naik ke dalam bus yang baru saja berhenti di depan halte. Ia duduk di kursi dekat jendela, tersenyum saat melihat suasana luar sana, sesuatu yang selama ini tak pernah ia bayangkan bisa dirasakan kembali, setelah bertahun-tahun terkurung dalam sangkar emas.
Ponsel di genggamannya bergetar. Sebuah pesan singkat berupa emotikon senyum dari Alejandro membuatnya tersenyum lega.
Namun, Elena tidak tahu bahwa seseorang yang mengenakan hoodie dan masker hitam sedang mengawasinya dari dalam bus. Orang itu perlahan berpindah tempat duduk, lalu duduk tepat di belakangnya.
Penumpang saat itu hanya beberapa orang. Orang misterius itu mengawasi sekeliling, lalu mengeluarkan sebuah pisau kecil dari saku hoodienya.
Namun tiba-tiba, gerakan seseorang dari arah belakangnya lebih cepat dan gesit, begitu halus hingga tak menimbulkan suara sama sekali.
Orang misterius itu langsung jatuh pingsan setelah sebuah suntikan bius menancap tepat di lehernya.
Damian segera duduk di sebelahnya dan menendang pisau kecil tersebut ke bawah kursi penumpang. Ia membenarkan letak topinya dan tersenyum tipis melihat Elena yang baik-baik saja. Gadis itu bahkan menggoyangkan kepala pelan, menikmati musik dari earphone putihnya.
"Dia sangat lucu," gumam Damian pelan, terus memperhatikan gadis itu dari belakang. Ia mengangkat ponselnya dan memotret Elena diam-diam.
"Ternyata Tante Diana tak mempercayai ku sepenuhnya, Dia bahkan bergerak lebih dulu. Aku harus lebih waspada,"
"Aku akan melindungimu sebisaku, Elena. Meskipun Alejandro atau siapa pun mencoba menghalangi langkahku, aku tidak peduli. Kau membuatku jatuh terlalu jauh, Elena."
Batin Damian.
Sementara itu, di sudut taman kota, Ryuga sibuk membentangkan alas duduk dan membantu Kinara menyusun beberapa makanan di atasnya.
Wajah pemuda tampan itu begitu berseri-seri. Angin yang berhembus lembut dan suasana yang tenang, tanpa terlalu banyak pengunjung, membuat Ryuga merasa bahwa piknik kali ini begitu istimewa.
"Heh, kenapa sih dari tadi ngelihatin aku terus?" Kinara mendorong pipi Ryuga agar berhenti menatapnya.
"Ya sayang dong, ada pemandangan indah di depan mata, masa diabaikan? Rugi dong." Ryuga menaik-turunkan kedua alisnya menggoda Kinara.
Kinara menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menyipitkan matanya sambil memandangi kekasihnya itu. "Kamu ini suka sekali menggoda. Jangan-jangan waktu magang di rumah sakit, kamu juga menggoda semua pasien di sana?"
Ryuga tertawa terbahak-bahak hingga memegangi perutnya. "Pacarku... sedang cemburu ternyata,"
Ryuga masih tergelak, lalu dengan nada santai tapi penuh jebakan ia berbicara lagi.
"Eh, tapi waktu magang di rumah sakit tuh... emang agak berat juga sih. Soalnya, banyak banget perawat dan pasien yang suka godain aku. Ada yang minta nomor telepon, ada juga yang suka nanyain aku terus..."
Kinara langsung menoleh cepat, alisnya naik setengah senti. "Apa?!"
"Yah, aku kan emang tipe ideal ya, tinggi, ganteng, muda, baik hati..." Ryuga pura-pura mengibaskan rambutnya, lalu melirik Kinara nakal.
"Kadang pas aku lagi periksa pasien, ada yang... iseng pegang-pegang lenganku, bilang katanya lengan dokter muda itu kayak coklat batang, manis dan berotot."
Mulut Kinara membulat, matanya membesar.
"A-apa? Pegang-pegang?? Siapa? Perawatnya? Pasiennya? Aku mau lihat siapa orangnya!" suara Kinara meninggi, pipinya memerah karena cemburu.
Ryuga menahan tawa, tapi pura-pura serius mengeluarkan ponsel dari sakunya.
"Nih, aku sempat foto diam-diam, waktu dia nyuruh aku duduk di sebelahnya dan terus megang-megang tanganku."
Dengan ekspresi penuh drama, Ryuga menyerahkan ponselnya. Kinara dengan cepat menyambarnya dan menatap layar dengan napas naik-turun, siap untuk membakar siapa pun yang muncul di foto itu.
Begitu layar ponsel menyala, Kinara terdiam. Matanya berkedip dua kali. Lalu wajahnya memerah, kali ini bukan karena marah, tapi menahan tawa.
Di layar, tampak seorang nenek-nenek memakai turban pink bermotif bunga, gigi ompong satu, sedang tersenyum lebar dan menggenggam tangan Ryuga erat-erat seperti cucunya sendiri.
"Ryuugaaa!" Kinara mendecak, melempar bantal kecil bentuk hati ke arah Ryuga yang sudah ngakak sambil tiduran di atas alas piknik.
"Ya ampun, niat banget nge-prank aku pakai foto nenek-nenek?!"
"Nenek itu pasien kesayangan ku. Tiap hari minta dicek tekanan darah padahal normal-normal aja. Tapi ya gitu, nggak pernah lupa nyuruh aku duduk dan ngelus-ngelus tangan," ujar Ryuga sambil menirukan suara nenek-nenek, "Ryuga, kamu pasti jadi suami idaman, sayang sama keluarga, ganteng, pintar pula"
Kinara sudah tertawa geli, tapi tetap memukul-mukul Ryuga pakai botol air minum kecil.
"keterlaluan banget! Aku udah panas sendiri tadi!"
"Makanya jangan gampang cemburu. Apalagi sama nenek-nenek," canda Ryuga sambil duduk dan menarik Kinara ke pelukannya.
Kinara cemberut, meski wajahnya bersandar manja di dada Ryuga.
"Tetep aja. Nenek-nenek sekarang tuh... suka genit juga tahu."
Ryuga terkekeh dan mengecup puncak kepala Kinara pelan.
"Tenang aja, hatiku udah dipegang satu orang, dan itu bukan nenek-nenek,"
Setelah tawanya mereda, Ryuga merogoh kantong ranselnya. Tatapan matanya berubah sedikit lebih serius, meski senyum lembut masih terpancar di wajahnya. Kinara yang masih bersandar di dadanya, menoleh penasaran.
"Ada apa? Jangan bilang mau kasih aku foto nenek-nenek lagi," ucap Kinara setengah curiga.
Ryuga tertawa pelan, lalu menggeleng. "Enggak. Kali ini beneran serius."
Ia membuka kotak kecil berwarna navy dari dalam ransel dan menyerahkannya ke Kinara.
"Ini. Untuk mu."
Kinara menatap kotak itu dengan bingung, lalu membukanya perlahan. Matanya langsung membesar ketika melihat isinya... sebuah kalung dengan liontin burung kecil berwarna biru yang mengilat cantik di bawah cahaya matahari sore.
"Ryuga..."
"Suka?" tanya Ryuga, senyumnya malu-malu.
Kinara mengangguk pelan, masih terpukau. "Ini... cantik banget. Tapi kenapa burung?"
Ryuga terkekeh dan mencondongkan tubuhnya, menatap Kinara sambil berkata,
"Soalnya kau mirip sama burung kecil itu. Cerewet dan nggak bisa diam, selalu bersuara."
Kinara langsung manyun. "Hei!"
"Tapi aku suka," potong Ryuga cepat sambil memegang jemari Kinara yang memegang kotak itu.
"Aku suka dirimu yang cerewet dan berisik. Kamu tahu kan aku paling nggak tahan kalau tiba-tiba ngediamin aku. Rasanya kayak sepi banget... kayak dunia kehilangan warnanya."
Kinara terdiam, hatinya mencelos hangat.
Ryuga melanjutkan, nadanya sedikit lebih lembut,
"Kamu boleh cemburu. Karena itu tandanya kamu sayang sama aku, peduli sama aku. Dan aku nggak akan pernah bosan sama kamu yang seperti itu."
Ia mengambil kalung itu perlahan, lalu menggenggamnya di depan Kinara.
"Terima ya? Kalung ini aku beli dari gaji pertamaku bulan lalu. Aku udah kepikiran dari lama buat ngasih ini ke kamu. Nggak mewah, tapi aku pilih sendiri, karena aku pengen kamu pakai sesuatu yang selalu ngingetin aku..."
Kinara menatap mata Ryuga, yang meski sering jahil, kali ini berbicara dengan tulus luar biasa.
"ngingetin sama siapa?" tanya Kinara pelan, suaranya nyaris bergetar.
Ryuga tersenyum dan menyentuhkan liontin itu ke dada Kinara dengan lembut.
"Ngingetin kalau kamu hanya milikku,"
Kinara langsung menunduk, wajahnya memerah hingga ke telinga. Tapi hatinya dipenuhi kupu-kupu.
"Kalau kamu ngomong serius gitu, aku bisa jatuh cinta ulang tiap hari, tahu nggak?"
Ryuga terkekeh, lalu memakaikan kalung itu di leher Kinara dengan hati-hati. Setelah terpasang, dia menatap puas.
"Bagus. Sekarang kamu resmi jadi burung cerewetku."
Kinara mencubit lengannya, tapi kali ini sambil tersenyum penuh cinta.
Ryuga perlahan mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Kinara, tatapannya penuh harap.
Namun dengan cepat, Kinara menutup mulutnya menggunakan satu tangan.
"Kamu lupa ya, apa yang Mommy bilang?" ucapnya sambil menyipitkan mata. "Jangan suka nyosor sembarangan. Nanti aku aduin ke Mommy, gimana?"
Ryuga hanya bisa cemberut kecil di balik telapak tangan Kinara, sementara gadis itu menahan tawa puas.