Vira Sita, seorang gadis yatim piatu yang sederhana, dijodohkan dengan Vito Hartawan — pewaris kaya raya — sebagai amanat terakhir sang kakek. Tapi di balik pernikahan itu, tersimpan niat jahat: Vito hanya menginginkan warisan. Ia membenci Vira dan berpura-pura mencintainya. Saat Vira hamil, rencana keji dijalankan — pemerkosaan, pengkhianatan, hingga kematian. Tapi jiwa Vira tidak pergi selamanya. Ia bangkit dalam tubuh seorang gadis muda bernama Raisa, pewaris keluarga Molan yang kaya raya, setelah koma selama satu tahun. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Vira kini hidup kembali. Dengan wajah baru, kekuatan baru, dan keberanian yang tak tergoyahkan, ia bersumpah akan membalas dendam… satu per satu… tanpa ada yang tahu siapa dirinya sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 – Elegan di Atas Luka
Panggung pameran kampus dipenuhi cahaya hangat dan gemuruh antusiasme. Malam itu, aula utama disulap menjadi ruang peragaan karya. Lima tim finalis berdiri di sisi panggung, menunggu giliran mempresentasikan desain mereka di depan para dosen, alumni, serta juri tamu dari dunia fashion.
Dan di antara semua keramaian itu, Raisa berdiri tenang, mengenakan blouse putih bersih dan rok hitam panjang yang sederhana namun anggun. Di wajahnya terpancar kepercayaan diri dan keteguhan, meski sorot matanya sesekali menatap tajam ke arah sudut aula—tempat Sonia berdiri sambil mengobrol dengan seorang dosen tamu.
---
“Selanjutnya, tim dengan tema Kehidupan Kedua,” seru MC.
Raisa, Rani, dan Ardo melangkah maju. Tepuk tangan terdengar sopan. Di belakang mereka, seorang model mengenakan gaun dua sisi yang mereka rancang: merah terang dengan lapisan tipis mengalir seperti cahaya pagi, sisi gelap sobek anggun berhiaskan renda, dengan kalimat kecil bordir di pinggang:
Still Breathing.
Raisa mengambil mic.
“Selamat malam. Kami ingin mempersembahkan sebuah perjalanan—bukan hanya gaun. Ini adalah kisah tentang seseorang yang pernah hancur, tapi memilih untuk bangkit. Bukan dengan menyembunyikan lukanya, tapi dengan menjadikannya bagian dari dirinya.”
Suasana hening. Semua mata tertuju.
“Sebagian orang berpikir luka harus ditutup rapat. Tapi kami percaya, menerima luka adalah bentuk keberanian. Dan dari keberanian itulah, lahir kehidupan kedua.”
Saat Raisa mundur, mata para juri tertuju penuh pada model. Tak satu pun dari mereka berkata apa-apa selama beberapa detik. Lalu, terdengar tepuk tangan—berikutnya riuh.
Rani memeluk Raisa pelan. “Kamu luar biasa.”
Ardo melirik, bangga. “Kita bisa menang.”
---
Saat acara berakhir dan pengumuman pemenang akan segera dibacakan, Sonia tiba-tiba mendekati meja juri sambil tertawa pelan. Ia terlihat mengenalkan diri pada seorang juri tamu, pria paruh baya yang dikenal sebagai pemilik butik terkenal.
Sonia mengangkat suaranya cukup keras agar terdengar, “Gaun mereka... sebenarnya sangat mirip dengan karya desainer muda dari Italia tahun lalu. Hati-hati lho, jangan-jangan hanya modifikasi.”
Raisa yang mendengar itu tetap tenang. Ia melangkah mendekat, berdiri tak jauh dari Sonia dan juri.
“Permisi,” ucap Raisa, dengan suara lembut tapi tegas. “Jika memang mirip, boleh tunjukkan contohnya? Karena ide ini berasal dari pengalaman pribadi dan sketsa tangan kami... lengkap sejak awal pendaftaran.”
Sonia tersenyum tipis, pura-pura bingung. “Oh, aku cuma iseng bicara, kok. Nggak usah sensitif begitu, sayang.”
Raisa menatapnya tanpa berkedip. “Sensitif? Mungkin. Tapi saya tidak akan membiarkan nama tim saya dinodai oleh rumor yang tidak punya dasar.”
Beberapa juri mengangguk, menghargai cara Raisa membela timnya dengan ketenangan dan bukti, bukan emosi.
---
MC kembali naik panggung.
“Dan, pemenang proyek desain ‘Kehidupan Kedua’ adalah... tim Raisa, Rani, dan Ardo!”
Sorak sorai langsung memenuhi aula. Rani menangis pelan dan memeluk Raisa, sedangkan Ardo mengangkat tangannya ke udara.
Sonia berdiri di belakang, dengan wajah manis yang mulai membeku. Ia tidak menyangka permainan liciknya justru menjadi panggung kemenangan lawannya.
--
Di rumah, keluarga Molan sudah menunggu dengan lilin kecil di ruang makan dan tulisan karton warna-warni:
“SELAMAT, RAISA KEBANGGAAN KAMI!”
Papa memeluk Raisa dengan erat. “Kamu membuat kami bangga, bukan karena kamu menang. Tapi karena kamu menang tanpa menginjak siapa pun.”
Mama menyiapkan makanan kesukaan Raisa sup jagung, ayam bakar, dan salad buah.
Gavin menyodorkan kado kecil. “Dari kami berempat. Jangan buka sekarang. Nanti malam.”
Rey menambahkan, “Tapi jangan sampai nangis pas buka ya.”
Jordan dan Reno menepuk bahu Raisa bergantian. “Kamu sudah seperti berlian, Sa. Tajam tapi bersinar.”
Raisa menatap semua keluarganya dengan perasaan campur aduk. Tangis haru menari di ujung matanya, tapi ia tahan. Ia hanya tersenyum dan berkata pelan:
“Aku menang... karena aku tidak sendirian.”
---
Hari ini aku berdiri di panggung.
Bukan untuk Vira. Tapi untuk Raisa.
Tapi panggung itu juga adalah pesan:
Bahwa aku bisa mengalahkan mereka... tanpa membunuh. Tanpa menyakiti.
Cukup dengan membuktikan bahwa aku bisa berdiri lagi.
Sonia, kamu kalah di babak pertama.
Dan kau bahkan belum tahu... permainan apa yang sedang kamu mainkan.
...----------------...
Setelah kemenangan mereka di panggung kampus, nama Raisa perlahan mulai dikenal di kalangan mahasiswa dan dosen. Beberapa mulai menyebutnya sebagai "bintang baru mode kampus"—bukan hanya karena karyanya, tetapi karena cara ia membawa diri: tenang, elegan, dan berkarisma.
Tapi di balik senyum hangat dan langkah ringan, Raisa tahu, permainan baru sedang dimulai.
---
Suatu pagi, saat Raisa datang ke kelas, ia melihat Rani duduk berdua dengan Sonia di taman kampus. Mereka tampak sedang mengobrol, dan Sonia bahkan terlihat memberi Rani sebuah gelang.
Raisa tidak langsung mendekat. Ia memperhatikan dari jauh.
Sonia menepuk tangan Rani. “Kamu teman terbaik Raisa, ya? Jaga dia baik-baik. Kadang dia terlalu polos untuk dunia ini.”
Rani tertawa kecil. “Raisa sih malah lebih dewasa dari kami semua.”
Sonia tersenyum manis—senyum yang Raisa sangat hapal. Itu bukan senyum tulus, tapi senyum berbisa.
---
Beberapa hari kemudian, Raisa diam-diam mengunjungi rumah sakit lama tempat ia (sebagai Raisa asli) dulu dirawat. Ia menyamar, mengenakan hoodie dan masker, lalu menuju bagian rekam medis.
“Permisi, saya ingin melihat data kecelakaan bis SMA satu tahun lalu. Saya wartawan kampus, ada tugas riset,” katanya.
Resepsionis membuka data di komputer. “Banyak korban waktu itu. Tapi anehnya, satu data pasien tidak lengkap. Namanya Raisa Andriana Molan. Kami hanya dapat berkas transferan dari rumah sakit luar kota, tanpa rekam rinci.”
“Siapa yang pertama kali membawa Raisa?” tanya Raisa pelan.
Perawat muda yang duduk di belakang menjawab, “Kalau tidak salah... seorang wanita muda. Katanya sepupu jauh.”
“Namanya?”
“Ada di data... Sonia Larasati.”
Deg.
Jantung Raisa berdebar. Ia sudah menduga. Tapi mendengar namanya langsung, rasanya seperti dilempar ke jurang memori.
---
Malam itu, Raisa kembali ke kamarnya. Ia menyalakan lampu tidur kecil, duduk di depan kaca, dan menarik napas panjang. Pelan-pelan, ia memejamkan mata.
Gambaran samar mulai muncul.
Suara tawa di bus, nyanyian teman-teman sekelas, dan… suara bisik-bisik Sonia yang membawa minuman.
Lalu, pemandangan kabur. Raisa merasa pusing. Jalanan menikung. Teriakan. Gelap.
Ia terbangun dengan tubuh gemetar.
Sonia... bukan hanya pelaku dalam hidup Vira.
Tapi juga aktor utama dalam hidup Raisa.
---
Keesokan paginya, saat Ardo mengantar Raisa ke toko kain langganan, suasana di dalam mobil terasa hening.
“Ra,” Ardo memecah keheningan, “boleh jujur?”
Raisa melirik. “Boleh.”
“Kamu itu... beda dari orang kebanyakan. Bukan cuma soal jago gambar atau elegan di atas panggung. Tapi... kamu seperti orang yang pernah bertarung dalam perang yang kami nggak tahu bentuknya. Tapi kamu menang.”
Raisa terdiam.
“Kamu tahu nggak, kamu bikin aku pengen jadi orang yang lebih baik,” tambah Ardo dengan suara lembut. “Karena kamu kayak hidup bukan buat cari pujian. Tapi buat buktikan bahwa kamu tetap bisa berdiri, walau pernah jatuh keras.”
Raisa menoleh perlahan. Matanya memerah. Tapi ia tersenyum.
“Terima kasih, Ardo.”
---
Malam harinya, Raisa duduk di balkon rumah bersama Papa dan Mama, ditemani teh hangat.
Papa berkata, “Ayah dulu pernah kehilangan bisnis karena teman sendiri. Tapi Ayah nggak pernah cerita karena Ayah nggak mau kamu hidup dalam dendam.”
Mama menambahkan, “Kadang dunia menyakiti kita lebih dulu. Tapi kita bisa memilih: jadi luka, atau jadi obat.”
Raisa menatap bintang malam. Tangannya menggenggam cangkir teh.
> Aku bisa jadi keduanya.
Dan aku akan jadi versi terbaik dari Raisa, tanpa harus mengubur Vira.
---
📖 Catatan Malam
> Sonia...
Kau bukan hanya merenggut hidup Vira. Tapi kau juga mencoba menghapus hidup Raisa.
Tapi aku masih di sini. Bernapas. Melangkah.
Dengan luka yang kini kupakai sebagai senjata.
Ardo... mulai membaca diriku.
Tapi aku harus hati-hati. Karena hatiku tidak boleh jatuh sebelum aku selesai membangkitkan diriku.
Dunia belum tahu siapa aku. Tapi mereka akan melihatku. Bukan sebagai korban, tapi sebagai kisah yang menolak dikubur.
krain raisa bkln jdoh sm reinald,scra ky ccok gt....tp trnyta ga....mngkn kli ni bnrn jdohnya raisa,scra kluarganya udh tau spa dia....
spa tu????clon pawangnya raisa kah????
wlau bgaimna pun,dia pst lbh ska tnggal d negri sndri....dkt dgn kluarga,dn bs mmbntu orng lain....kl mslh jdoh mh,srahkn sm yg d ats aja y.....
Smbgtttt.....
Hufftt....
jadi, berjuanglah walaupun dunia tidak memihakmu, macam thor, klw ada yg ingin menjatuhkan mu maka perlihatkan dengan karya mu yg lebih baik, semangaaaat thor/Determined//Determined/
ttp smngt...😘😘😘
aku udh mmpir lg,smpe ngebut bcanya....he....he....
smngttt.....😘😘😘