Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Jam 12.00 siang, bel istirahat kedua berbunyi. Han bergegas keluar kelas—dia ingin menjemput Anya pulang dari sekolah. Namun, saat ingin keluar dari area sekolah, satpam yang menjaga gerbang melarangnya untuk keluar.
"Jika ingin keluar karena ada urusan, kamu harus mendapatkan izin dari kepala sekolah telebih dahulu." ujar satpam sambil menahan Han.
Han mengangguk. Ia segera menemui kepala sekolah dan menjelaskan tujuannya. Setelah mendapatkan izin, Han kembali menemui satpam sekolah dan menjalankan mobil-nya menuju sekolah Anya.
Dari kejauhan, ia sudah melihat Anya berdiri di sisi trotoar bersama seorang wanita muda yang mengenakan seragam guru.
"Itu mobil Abangku, Bu guru!" seru Anya sambil menunjuk ke arah kendaraan yang mendekat.
Wanita itu—seorang guru muda—menoleh dan matanya langsung terpaku saat melihat Han keluar dari mobil. Lelaki tinggi berwajah tampan dengan seragam SMA yang rapi. Seketika, wajahnya terkesan.
"Anya, udah lama nungguin Abang?" tanya Han sambil menghampiri adiknya, lalu melirik wanita di sampingnya.
Wanita itu tersenyum. Ia tampak berusia sekitar 22 tahun, anggun dalam balutan seragam guru.
"Enggak, Bang. Ini untung ada Ibu Guru nemenin, jadi Anya nggak bosan," jawab Anya sambil tersenyum ceria.
"perkenalkan... Saya Nuri Ivywood. Wali kelas Anya" ucap wanita itu sambil mengulurkan tangan.
Han menyambutnya dengan sopan.
"Terima kasih sudah menjaga Anya, Bu. Saya Hand Ivanov, kakaknya."
Nuri mengangguk.
"Tadi saya melihat Anya sendirian di sini. di saat semua anak-anak pulang di jemput, sebagai wali kelas Anya, Saya khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu padanya, jadi saya temani." jawabnya sambil tersenyum lembut—matanya masih mencuri pandang ke wajah Han.
Han berpikir sejenak. Ia merasa bersalah karena Anya harus menunggu seperti ini, apalagi ia sendiri masih harus sekolah.
"Kalau begitu, biar saya antar pulang sekalian, Bu," tawarnya ramah.
"tidak perlu, saya bisa naik taksi sendiri. Lagian... kamu juga masih pakai seragam sekolah. Bukankah ini belum jam pulang?"
"tidak apa-apa, anggap saja ini bentuk terima kasih karena sudah menjaga Anya."
Setelah beberapa kali ditolak dengan halus, akhirnya Nuri luluh dan mengangguk pelan. Dalam hati, ia senang—bukan karena nebeng pulang, tapi karena bisa lebih dekat dengan Han. Meski ia tahu, Han masih SMA, tapi dari caranya berbicara dan bertindak, lelaki ini sangat matang dan dewasa.
Setelah mengantar Anya ke rumah dan mengantar Nuri pulang, Han kembali ke sekolah saat jam 13.30, dan ternyata, kelas sudah kembali dimulai.
Tok! Tok! Tok!
Han mengetuk pintu kelas dan membukanya perlahan. Seluruh siswa langsung menoleh ke arah pintu, termasuk Bu Andin yang ada di depan kelas. Ia berhenti menulis di papan dan menatap tajam ke arah Han.
"Dari mana kamu? Jam segini baru masuk saat pelajaran saya!" suara Bu Andin terdengar dingin dan tegas.
Han terpaku sejenak di ambang pintu. Ia tidak menyangka Bu Andin dengan wajah semanis itu bisa marah juga. Tapi anehnya, bukan membuat Han takut—malah... ada rasa lucu dan gemas yang muncul.
"Eh iya, Bu... maaf. Saya tadi keluar dengan izin dari kepala sekolah," jawab Han agak canggung.
Bu Andin masih menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menunjuk bangku nya.
"Baiklah, silakan duduk. Perhatikan pelajaran saya, jangan ada yang terulang."
Han mengangguk masuk dan duduk di bangkunya, mencuri beberapa tatapan dari teman-temannya—terutama murid laki-laki yang sepertinya juga sedang “berperang batin” karena pesona sang guru tidak cocok dengan sikap galaknya.
Setelah sekitar satu setengah jam pelajaran berlangsung, bel pulang sekolah pun berbunyi. Sontak, para murid langsung berebut keluar dari kelas seperti pasukan yang baru saja bebas dari barak latihan. Han tetap santai, membereskan bukunya dengan tenang.
Citra yang duduk di sampingnya menoleh.
"Han, aku ikut kamu pulang, ya?" pintanya dengan suara pelan dan sedikit malu-malu.
Han mengangguk cepat.
"Iya, nanti aku anterin pulang." jawabnya, masih sibuk memasukkan buku ke tas tanpa menoleh.
"Emm... aku nggak mau pulang ke rumahku, Han..." kata Citra, lebih lirih, namun jelas terdengar. Han spontan menoleh dengan alis terangkat.
"Hah? Terus? Kamu mau pulang ke mana?" tanyanya bingung.
Citra nyengir malu, memainkan ujung rambutnya.
"Ke rumah kamu lah... kan aku belum tahu tempat tinggalmu kayak gimana. Aku penasaran."
"Aku tinggal di bukit vila Loc Frumos, vila itu aku beli dari keluarga Kalian" kata Han berjalan keluar kelas bersama Citra yang ada di sampingnya.
"Apa?! Serius kamu tinggal di sana?" Citra kaget dan menatap Han penuh tak percaya.
"Wah… sekian lama kosong, ternyata ada juga yang akhirnya beli vila itu. Padahal harganya sangat mahal!"
Citra tahu persis tentang vila itu. Di kawasan Loc Frumos, hanya satu vila yang berdiri megah di atas bukit tertinggi. Dan itu… sekarang milik Han?
"Kebetulan waktu aku jual emas dan berlian ke Klara. Terus, aku butuh tempat tinggal, dan Klara nawarin vila itu," jelas Han santai, memasuki mobilnya di ikuti oleh Citra.
Han menjalankan mobilnya, keluar dari kawasan Sekolah bersama Citra, menuju Rumahnya. Perjalanan mereka terus berlanjut hingga suasana tiba-tiba berubah. Di jalan yang agak sepi, tiga sedan hitam tiba-tiba memotong laju mobil Han. Mereka berhenti melintang, memblokir jalan sepenuhnya.
Han mengernyit. Tanpa panik, ia langsung mengaktifkan Mata Ilahi miliknya. Dalam sekejap, dia bisa melihat aura dan Wajah familiar yang ada di salah satu mobil itu.
dua mobil itu masing-masing pintunya terbuka, Beberapa dari mereka keluar dan mulai mengelilingi mobil Han. Salah satu dari mereka mengetuk keras kaca mobil dengan kasar.
"TURUN! ATAU KITA PECAHKAN KACA MOBIL INI!"
Citra tersentak dan menatap Han panik.
"Han, jangan keluar! Mereka ada banyak!"
Han tetap tenang. Ia menoleh ke Citra dan berkata dengan tenang:
"Kamu di sini aja. Kunci pintu mobilnya. Biar aku yang urus mereka."
Namun Citra menggeleng keras.
"Nggak bisa! Aku ikut. Kita lawan mereka bareng. Aku juga udah bisa bertarung saat latihan di keluarga Subyo!"
Wajah Citra terlihat serius. Meski wajahnya masih menyimpan ketakutan, dia tidak ingin hanya jadi beban.
"Walaupun kultivasiku masih tingkat Bronze Pembangunan… tapi aku nggak akan tinggal diam!" tambahnya tegas.
> Catatan: Di dunia tempat Han tinggal—Negara Zamrud Khatulistiwa—energi alam sangat tipis. Hanya beberapa negara di dunia yang punya kepadatan energi dua kali lipat itu pun masih sangat kurang. Karena itu, menaikkan tingkat kultivasi adalah hal yang sangat sulit. Seorang jenius pun membutuhkan waktu lima hingga enam tahun hanya untuk naik satu tingkat—dan itu pun tergantung dari tingkatannya. Semakin tinggi kultivasi, maka semakin lambat kemajuan karena energi spiritual yang terbatas di dunia ini.
Namun Han Berbeda.
Tubuhnya adalah “Badan Kekosongan”, sebuah kondisi langka yang membuatnya mampu menyerap dan mengumpulkan energi dalam jumlah luar biasa—bahkan melebihi makhluk dari Alam Atas. Karena itu, perkembangan Han tidak bisa dibandingkan dengan kultivator biasa.
Sementara itu, Klara pun disebut-sebut sebagai jenius kultivasi. Apalagi setelah ia mengonsumsi pil pemberian Han, kemampuan kultivasinya meningkat tajam dalam waktu singkat. Tapi tetap saja, Han jauh melampaui mereka semua—meskipun usianya baru 18 tahun.
"Tidak perlu. Mereka bukan lawanmu. Lagipula mereka banyak. Tetap di sini dan kunci pintunya. Tunggu aku."
Han menoleh sejenak ke arah Citra sebelum membuka pintu mobil dan melangkah keluar dengan tenang.
Udara sore terasa lebih dingin, bukan karena cuaca—tapi karena ketegangan yang mulai membungkus jalanan sepi itu. Dari sedan hitam di depannya, seseorang turun dengan langkah angkuh. baju sekolahnya yang memiliki tiga kencing bagian atas terbuka, rambut disisir licin, dan sorot matanya penuh kesombongan.