Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 | Nostalgia
Belasan tahun lalu, sepasang suami istri hidup harmonis dan bahagia. Keduanya sama-sama sibuk bekerja dan tak begitu mengikuti perkembangan berita di lingkungannya.
Hingga pada suatu waktu, saat keduanya libur, barulah satu per satu kata dan kalimat mampir di telinga.
"Wes rabi suwe ora ndang duwe anak."
"Periksa ke dokter coba."
"Ikut promil."
"Golek duit terus, ra nduwe anak, la arep nggo ngopo? Percuma."
Dan masih banyak lagi komentar dari tetangga yang nyinyir setiap kali berpapasan dengan mereka berdua.
Hingga sang ibu memberi nasehat agar mereka mengasuh anak untuk 'pancingan'. Mendengar itu, si istri segera meminta suaminya untuk menemani ke sebuah panti asuhan di daerah yang sama.
Tatapan berbinar dari anak-anak di sana membuat sang istri menangis. Dia memeluk satu per satu tubuh kecil itu, hatinya tak kuasa menahan haru juga kesedihan yang dalam.
"Mas, aku bingung mau yang mana, aku nggak tega misahin mereka." Wanita itu menatap lembut pada anak-anak yang berlarian sembari tertawa riang.
"Coba pikir ulang, sebelum nanti kamu nyesel kalau kita pulang." Suaminya mengusap punggung si istri dengan penuh kasih sayang.
Tiba-tiba, terdengar tangisan dari dalam. Seorang pengasuh keluar dengan wajah lelah, dalam dekapannya terlihat seorang bayi tengah menangis.
Hanna terpaku, tatapannya tak bisa lepas dari wajah mungil yang terbalut kain jarik.
"Bu, boleh saya gendong?" ujar si wanita penuh harap, sedangkan pengasuh itu tersenyum lalu mengangguk.
"Mas, aku mau dia jadi anak kita."
Tanpa menunggu lama, suami istri itu menyatakan diri untuk menjadi orang tua asuh. Prosedur pun dilakukan.
"Dia ditinggalkan orang tuanya di bawah jembatan dan ditemukan oleh seorang pemulung yang kebetulan tinggal tak jauh dari sana." Pemimpin panti menjelaskan secara detail.
Setelah lewat beberapa hari, akhirnya proses itu selesai dan bayi mungil itu telah sah menjadi anak pasangan tersebut.
Suami istri itu adalah Bastian dan Hanna, mereka pulang dengan wajah penuh kebahagiaan.
Sementara di dalam kantor panti, dua orang pengurus saling melirik dan salah satunya berucap pelan.
"Biarin aja, nggak usah dikasih tahu semua, toh keliatan mereka orang kaya, pasti bisa ngurusnya." Mereka mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaan.
17 tahun berlalu, bayi mungil itu tumbuh menjadi gadis remaja cantik yang sedikit keras kepala. Dialah Alana Prameswari, yang kini tengah duduk termenung di bawah pohon sawo dengan pikiran berlarian ke sana kemari.
Kamu di mana sekarang? Masih inget aku nggak?
Dalam benaknya, Alana kembali mengingat hari di mana dirinya bertemu dengan seorang anak laki-laki. Dia menghampiri Alana dengan sekuntum mawar di tangan kecilnya.
"Hai, kamu cucunya Mbah Kromo ya? Kapan datang? ... ini buat kamu." Anak itu memberikan mawar pada gadis kecil di hadapannya.
"Iya, kamu siapa? Aku baru sampai tadi pagi." Alana kecil menciumi mawar di tangan dengan wajah berseri.
"Aku biasa dipanggil Tole, yang dalam bahasa Jawa artinya anak laki-laki. Kamu juga bisa panggil itu."
Tanpa banyak kata lagi, keduanya langsung akrab. Hingga setiap Alana berkunjung ke rumah neneknya, anak laki-laki itu selalu datang dengan setangkai mawar.
Mereka menghabiskan waktu untuk bermain, memanjat pohon sawo atau pohon jambu yang ada di sekitar rumah nenek, tak jarang 'si tole' juga ikut serta makan bersama keluarga mbah Kromo.
Sampai di umur 7 tahun, saat Alana kembali ke Yogya, dia tak lagi bertemu dengan anak laki-laki itu hingga saat ini di usianya yang menginjak 17, pertemuan mereka tak lagi ada seperti dulu.
Kamu ke mana? Pergi nggak pamit, nggak ada kabar juga.
Alana menunduk dan merasakan sebuah tangan halus mengusap kepalanya.
"Mama?"
Alana terkejut, lalu berdiri dengan jantung berdebar.
"Kamu ngapain bengong di sini, Sayang? Udah sore, mandi dulu sana. Nanti kita makan bareng pak Mul dan bu Siti"
Tanpa penolakan, Alana mengikuti saran ibunya.
Sementara di Jakarta, tepatnya di SMA Dirgantara. Anak-anak berlarian untuk pulang, setelah mengikuti berbagai kegiatan tambahan yang ada.
Sisi dan Vio sudah bersiap di dekat gerbang, keduanya berulang kali melongokkan kepala ke arah halaman, "kok mereka lama ya, Vi?"
Selang beberapa menit, yang ditunggu pun datang. Kedua gadis itu sudah siap dengan 'ojek' masing-masing.
"Eh, Si. Singa ke mana? Kok nggak masuk dia?" Gala menahan motor temannya.
"Dia ke Jogja, ke rumah neneknya. Udah ah, kita mau jalan, awas, awas, husssss..." Sisi melambaikan tangan meninggalkan Gala yang masih terdiam di atas kendaraannya.
Gala berniat menghubungi Alana, namun dia sungkan jika mengganggu. Mengingat bagaimana perlakuan ayahnya terhadap Alana dan keadaan keluarga gadis itu yang terlihat tidak baik-baik saja.
Sekarang gue tahu, Na. Lo jadi galak, keras kepala dan susah dideketin karena lo punya luka dari orang tua lo sendiri. Ya, gue paham, Na.
Gala menghembuskan napas berat, lalu menghidupkan mesin motornya dan berlalu pulang.
Dia tak menyadari jika ada sebuah motor lain yang mengikutinya. Sampai di sebuah jalanan sepi, Gala dihadang dan dipaksa turun.
Kini, Gala berhadapan dengan dua orang yang tak dikenalnya.
"Siapa kalian? Ngapain ngikutin gue?" Gala mencoba menerka wajah siapa yang ada di balik topi dan masker hitam itu.
"Lo nggak usah deket-deket Alana, atau lo emang udah bosen hidup!" Bentakan pria yang lebih tinggi itu cukup membuat Gala tersentak.
Alana? Mereka kenal singa itu? Siapa mereka sebenarnya?
Belum sempat Gala mengingat, sebuah pukulan mendarat tepat di perutnya.
"Aduuhhh..."
Gala yang belum siap, langsung membungkuk. Rasa nyeri menjalar seketika di sekujur tubuhnya. Dia mencoba tegak kembali, namun pukulan lain mendarat di tengkuknya.
Samar-samar, Gala melihat dua orang berlari pergi setelah melempar sebuah balok kayu ke semak-semak. Setelahnya, semua gelap.
Di rumah sang nenek, Alana baru saja selesai membantu ibunya merapikan pakaian. Mereka akan pulang esok hari setelah subuh.
"Ma, sebenarnya apa yang Papa inginkan? Apa benar Papa memang tak ingin berpisah dengan Mama?"
Hanna menatap putrinya lembut, dia membelai rambut panjang Alana dan merapikan anak rambut di dahi gadis itu.
"Apa pun alasannya, Mama nggak akan kembali padanya lagi, Nak. Sudah cukup kepedihan yang selama ini dia berikan pada kita, Mama akan fokus pada masa depanmu, itu saja. Kamu jangan punya pikiran macam-macam, ya."
Alana terdiam beberapa saat, hingga kemudian dia ingat akan sesuatu.
"Ma, apa benar panti itu ada di kota ini?"
Hanna terkesiap, wajahnya memucat dengan kedua tangan menutupi mulutnya.
"Tenang aja, Ma. Aku belum mau mulai sekarang, aku mau fokus sekolah dulu. Kan udah kelas 3, sebentar lagi ujian." Alana tersenyum demi ketenangan sang ibu.
Setelah selesai, Alana meminta ibunya untuk istirahat terlebih dulu, sementara dirinya pergi ke teras, menatap gemerlap bintang yang mulai terlihat di awal malam.
Dia mengambil ponsel dan mengetikkan sebuah nama tempat di google maps.
Ketemu!!
Alana mengamati gambar peta itu dan mulai menelusuri jalannya.
Oh, beda kecamatan ya? Tapi nggak gitu jauh si.
Tiba-tiba, pak Mul datang membawa sebuah karung yang terlihat cukup berat.
"Itu apa, Pak?" Alana berdiri dan mendekatinya.
Pria tua itu terkekeh, lalu membuka karung yang belum dia ikat.
"Ini ada pisang, Nduk. Sama nangka. Bisa buat oleh-oleh besok ya. Maaf, Bapak cuma bisa kasih ini."
Alana menepuk pundak laki-laki itu, ada rasa haru yang membuat kedua matanya berkaca-kaca.
"Matur nuwun, Pak. Ini udah lebih dari cukup ... oh ya, Pak. Aku boleh nanya?" Alana mempersilakan pria itu untuk duduk di dekatnya. Tanpa berlama-lama, Alana menyebutkan sebuah tempat yang cukup membuat pak Mul terdiam beberapa saat.
"Bapak tahu tempatnya? Jauh nggak dari sini?"
Bukannya menjawab, pria itu justru balik bertanya.
"Untuk apa kamu nanya tempat itu, Nduk?"
*
seperti nya alana dan gala ini, yang jadi pusat cerita/Proud/
bahkan jauh lebih baik dari saat aku menulis pertama kali.
semangat. pembaca akan berdatangan pada akhirnya