NovelToon NovelToon
Ishen World

Ishen World

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Fantasi Isekai / Anime
Popularitas:65
Nilai: 5
Nama Author: A.K. Amrullah

Cerita Mengenai Para Siswa SMA Jepang yang terpanggil ke dunia lain sebagai pahlawan, namun Zetsuya dikeluarkan karena dia dianggap memiliki role yang tidak berguna. Cerita ini mengikuti dua POV, yaitu Zetsuya dan Anggota Party Pahlawan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A.K. Amrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Liburan Para Pahlawan

Pagi hari menyambut Kouji dan Akari dengan langit biru cerah yang dihiasi awan putih menggulung lembut di atas Ibukota Sedressil. Kota itu ramai tapi tidak hiruk pikuk, dengan jalanan batu yang bersih dan deretan bangunan bergaya medieval berdiri megah. Aroma roti panggang dari toko roti Feruna's Oven menyeruak di udara, bercampur dengan harum bunga dari pasar pinggir jalan.

“Aku senang akhirnya bisa berjalan berdua denganmu…” kata Akari sambil menggenggam lengan Kouji, pipinya memerah lembut.

Kouji menoleh dan tersenyum, “Ya… setelah pelatihan yang melelahkan, ini seperti hadiah.”

Mereka menyusuri jalan utama, melihat anak-anak berlarian membawa kue di tangan, para penjaga patroli yang menyapa warga, dan seorang bard yang memainkan seruling di sudut jalan.

Saat mereka hendak memasuki restoran bergaya rustic yang terkenal dengan daging panggang madu, suara lantang yang tak asing membuat keduanya berhenti.

“Heeeei! Koujiii!! Tunggu aku!” Yui berlari sambil melambaikan tangan, jubah putihnya berkibar. Ia kehabisan napas namun tetap menampilkan senyum cerah.

Akari menghela napas pelan. “Yui…”

Yui dengan polos langsung berdiri di antara mereka berdua. “Kalian mau makan? Wah, aku juga lapar banget! Ayo Kita makan bertiga!".

Kouji menoleh ke Akari, mencoba memberi sinyal maaf. Akari menunduk sedikit, tersenyum... meski jelas senyum itu menahan sesuatu.

Di dalam restoran, Yui duduk tepat di sebelah Kouji, terlalu dekat untuk ukuran normal. “Kouji, kamu suka daging yang dibumbui garam atau madu? Aku ingat kamu suka yang manis…”

Akari mengangkat alis. “Kamu bahkan hafal makanan favoritnya?”

Yui tersenyum manis, “Tentu saja. Aku selalu memperhatikan Kouji. Dia pahlawan kita, kan? Sangat keren dan lembut.”

Kouji menyentuh belakang kepalanya, merasa canggung.

Setelah makan, mereka berjalan lagi—atau lebih tepatnya, mencoba. Tapi Yui selalu menemukan cara untuk menghalangi momen romantis: tiba-tiba ingin membeli bunga, memaksa Kouji mencoba jubah baru di toko kain, bahkan berkata kakinya keram agar bisa berpegangan pada Kouji.

Akhirnya, Akari menarik tangan Kouji dan membisikkan, “Kita kabur lewat gang kecil sebelah kanan, sekarang!”

Kouji tertawa kecil dan mengikuti. Mereka berlari melewati lorong sempit, sampai tiba di taman tersembunyi di belakang Asosiasi Petualang, tempat tenang dengan air mancur dan bangku batu.

“Akhirnya...” Akari duduk, napasnya sedikit terengah. “Kencan ini... hampir jadi bencana.”

Kouji duduk di sampingnya, lalu menatapnya lembut. “Tapi aku tetap senang. Karena aku bersamamu.”

Akari menunduk pelan, wajahnya memerah, lalu menyandarkan kepala ke bahu Kouji. “Aku juga.”

“Ugh! Mereka kabur lagi!" Yui benar benar merasa kesal. Tapi matanya tetap bersinar penuh harap. “Kouji~, kau akan menyadari kalau akulah yang paling cocok untuknya…”

Setelah menikmati ketenangan di taman tersembunyi, Kouji mengajak Akari ke Forge of Arvan, pandai besi paling terkenal di Ibukota Sedressil. Api di tungku bergemuruh, dan suara dentuman logam terdengar serempak di dalam ruangan penuh uap besi panas.

Kouji melihat-lihat pedang yang dipajang. "Aku rasa sudah waktunya ganti senjata. Pedangku yang sekarang sudah ada retakan halus setelah latihan kemarin."

Akari berdiri di sampingnya, matanya waspada memandangi setiap pandai besi yang lewat, terutama yang berwujud gadis magang.

Lalu...

“Hai, Kouji~! Aku ikut ya!”

Yui kembali muncul. Tidak ada yang tahu dari mana dia datang. Seolah dia bisa mencium aroma keberadaan Kouji dari jarak dua blok.

“Oh tidak…” gumam Akari.

Yui dengan cepat berdiri sangat dekat di sisi Kouji, bahkan menepuk-nepuk bahunya. “Kau tahu, aku membaca kalau campuran mithril dan baja naga membuat senjata jauh lebih ringan tapi tetap kuat. Mungkin kamu harus coba itu!”

Akari tersenyum manis, namun nadanya dingin. “Wah, Yui, kamu tahu banyak ya. Tapi sayangnya... Kouji tidak butuh penasihat pribadi. Apalagi yang datang tanpa diundang.”

Yui tertawa kecil. “Aku hanya ingin membantu. Aku suka melihat Kouji dengan senjata yang cocok untuknya. Lagipula, aku juga ahli sihir. Aku tahu sedikit tentang peralatan tempur.”

Akari menahan senyum licik, lalu mendekat lebih rapat ke Kouji, menggandeng lengannya dengan jelas dan meletakkan kepalanya di bahunya. “Oh? Tapi Yui... aku yang tahu cara bertarung bersama Kouji. Bukan hanya soal senjata, tapi juga hatinya.”

Yui terdiam sejenak, matanya sempit.

Kouji berkeringat. “U-uh… kalian mau lihat pedang yang ini? Atau... kita pilih perisai dulu?”

Namun dua gadis itu sudah tidak peduli. Aura persaingan mereka membakar lebih panas dari tungku di belakang mereka.

“Kalau Kouji butuh pertahanan,” kata Akari, “maka aku akan jadi perisainya.”

“Kalau begitu,” balas Yui sambil melangkah maju, “aku akan jadi penyembuhnya. Yang selalu menyembuhkan luka... termasuk luka hatinya.”

Pandai besi di belakang mereka yang tadinya fokus menempa tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan menoleh, merasa tekanan udara menegang.

Kouji mendesah pelan, “Dewi Elysia, lindungi aku…”

Saat suasana di Forge of Arvan mulai mendingin, langkah pelan dan tenang terdengar memasuki bengkel.

Haruto.

Wajahnya dingin seperti biasanya, rambut hitamnya berayun lembut mengikuti langkahnya yang ringan tapi mantap. Jubah gelapnya berkibar, dan sabit hitam di punggungnya memancarkan aura kematian yang tak bisa diabaikan. Semua pandai besi langsung menunduk atau pura-pura sibuk.

Matanya hanya tertuju pada satu orang.

“Yui,” ucapnya pelan namun tajam.

Yui menoleh, sedikit terkejut. “Haruto? Kau di sini?”

“Aku mencarimu,” katanya datar. “Tapi ternyata kau... sibuk.”

Kouji dan Akari diam. Suasana berubah aneh.

Haruto melangkah maju, berdiri di antara Yui dan Kouji. Matanya masih menusuk wajah Yui.

“Yui. Selama ini aku diam, karena aku pikir perasaanku bisa tumbuh perlahan. Tapi aku sadar... kau tak pernah menoleh padaku. Kau hanya mengejar dia.”

Yui menunduk sebentar. “Haruto, aku menghargai semuanya… tapi kau tahu dari awal, hatiku hanya untuk...”

“Kouji,” potong Haruto, suaranya tajam seperti bilah sabitnya. “Selalu Kouji.”

Ia menghela napas. Tatapannya tetap tenang, tapi bibirnya mengerut menahan emosi yang tidak terlihat.

“Aku rela terluka dalam diam, demi tak menyakitimu. Tapi kau...” Dia menatap Yui dengan dingin. “Kau menyakitiku tanpa peduli. Kau tahu aku mencintaimu, tapi kau gunakan kehadiranku sebagai bayangan, pelarian saat kau gagal mendekati dia.”

Yui melangkah mundur sedikit. “Aku tidak...”

“Berhenti, Yui.” Suara Haruto mulai berat. “Kalau kau tidak pernah punya niat mencintaiku, kau seharusnya membiarkanku pergi sejak awal. Bukan memeluk saat kau kesepian. Bukan menatapku seolah aku ada harapan.”

Akari menggenggam lengan Kouji lebih erat. Bahkan Kouji tampak terguncang, tak tahu harus berkata apa.

Yui menatap Haruto, dingin dan... tajam. “Lalu apa yang kau inginkan? Simpati? Aku tak pernah memintamu mencintaiku. Itu keputusanmu sendiri.”

Seketika, suasana terasa seperti beku.

Haruto menatapnya lama, lalu berkata pelan:

“Setidaknya sekarang aku tahu. Kau bukan gadis yang selama ini kupikirkan.”

Ia berbalik perlahan, langkahnya tenang, tapi setiap tapaknya terasa seperti guntur bagi yang melihat. Tanpa menoleh, dia berkata:

“Aku doakan kau bahagia... meskipun dengan luka yang kau tanam.”

Dan Haruto pun pergi, meninggalkan jejak keheningan dan rasa bersalah yang membara.

Yui menatap lantai, rahangnya mengeras. Tapi bibirnya bergetar. “Aku tak butuh simpati… aku hanya tak ingin kehilangan Kouji…”

Langkah Haruto menyusuri lorong-lorong berbatu di ibu kota Sedressil. Langit mulai gelap, cahaya lampu dari toko-toko berkelip samar. Tangannya mengepal, sabitnya memantul di punggungnya seolah ikut merasakan gejolaknya.

“Kenapa harus dia… Kenapa harus Kouji?” gumamnya pelan.

Di matanya, bayangan Yui terus terulang. Tatapannya yang dingin. Ucapannya yang sadis. Dan senyum hangat yang hanya ia tunjukkan pada Kouji. Bukan padanya.

Seketika, pikirannya gelap.

Mungkin… kalau Kouji tidak ada… semuanya akan lebih mudah.

Ia berhenti di sebuah gang gelap, bayangan menjulur di sekelilingnya. Aura kelam Reaper di tubuhnya bangkit, napasnya berat.

“Jika aku menantangnya duel... jika aku mengalahkannya... mungkin dia akan pergi… mungkin Yui akan melihatku…”

Sabitnya hampir ia cabut. Tapi tangan satunya menahannya.

Diam. Sunyi. Dan...

Sebuah kenangan muncul, tawa mereka saat latihan, Kouji menepuk pundaknya, berkata, “Haruto, kau selalu bisa diandalkan. Aku percaya padamu.”

Haruto menutup mata. Giginya terkatup kuat.

“…Tidak. Tidak seperti ini…”

Dia bersandar di dinding, kepalanya menunduk. Sakit. Tapi bukan luka dari sabit. Ini luka yang tak bisa disembuhkan potion manapun.

“Aku... hampir kehilangan jati diriku… hanya karena cinta…”

Haruto memukul dinding dengan tangan kosong. Darah menetes, tapi dia biarkan.

“Kouji itu sahabatku…”

Ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin malam menenangkan emosinya.

“Aku tak akan mengkhianatinya… meski hatiku hancur.”

Dia akhirnya bangkit, melangkah perlahan keluar dari kegelapan gang.

Meski hatinya masih berat, Haruto memilih tetap setia pada apa yang benar.

Malam menjelang. Kouji duduk sendirian di balkon mansion para pahlawan. Di tangannya, secangkir teh hangat dari pelayan, namun tak sedikitpun ia hirup. Pandangannya kosong menatap langit Sedressil yang bertabur bintang.

Angin malam menyentuh wajahnya, membawa kembali suara Yui, tawa manjanya, tatapan matanya yang tak bisa disangkal: Yui mencintainya.

“Aku tahu ini salah…” gumamnya.

Bayangan Akari melintas. Gadis yang selalu ada sejak awal, mendukung, mencintai tanpa syarat. Tapi kini, wajah Yui muncul bersisian dengannya, semakin lama… semakin jelas.

Kouji menutup mata, dan berkata pelan:

“Aku menyukai Yui…”

Tangannya mencengkeram pinggiran cangkir.

“Aku tahu Haruto menyukainya… dan aku pernah bilang padanya, aku gak akan ganggu Yui…”

Ia terdiam, sebelum akhirnya mengangkat kepalanya.

“Tapi itu janji di dunia lama.”

Nadanya mulai berubah, lebih yakin, lebih tajam.

“Ini dunia lain… dunia tanpa hukum lama. Tanpa norma kita dulu. Dunia ini... penuh sihir, monster, kerajaan, dan… pilihan baru. Yang berlalu biarkan berlalu, janji itu tidak berlaku lagi disini...”

Ia berdiri, menatap ke bawah balkon, melihat ibu kota yang terang benderang.

“Di sini, aku seorang Paladin. Pahlawan. Dan... jika aku menginginkannya, aku akan berjuang untuk mendapatkannya.”

Ia menghela napas, lalu mengukir senyum kecil.

“Tentu, aku tetap mencintai Akari… Tapi jika aku bisa punya dua wanita yang kucintai… kenapa tidak?”

Ia menatap ke langit, seolah meminta restu dari bintang-bintang.

“Timing… aku hanya butuh timing yang tepat… Yui… kau akan jadi milikku juga.”

Dan di malam itu, untuk pertama kalinya, Kouji mulai berubah dari pahlawan yang patuh… menjadi pria yang siap mengklaim takdirnya, dengan caranya sendiri.

Disisi lain pada hari yang sama.

Matahari pagi menyinari Ibukota Sedressil, membawa kehangatan yang lembut. Hanabi melangkah tenang di samping Hanzo, keduanya berpakaian santai—tidak seperti biasanya ketika mereka berlatih atau bertempur.

“Jadi… toko roti dulu?” tanya Hanabi, melirik Hanzo sambil tersenyum tipis.

Hanzo mengangguk, agak kikuk, “Iya… kau bilang suka yang manis-manis.”

Hanabi tertawa kecil. “Wah, kau ingat ya?”

Hanzo mengalihkan pandangannya cepat. “Tentu… bukan berarti aku peduli atau apa, cuma… ya, ingat aja.”

Mereka memasuki sebuah toko roti kecil dengan aroma hangat yang menggoda. Hanabi memilih roti lapis madu dan satu tart kecil. Hanzo? Ia hanya memilih satu roti polos, tapi kemudian menambahkan satu tart yang sama dengan pilihan Hanabi secara diam-diam.

“Apa kau suka tart juga?” tanya Hanabi, melihatnya.

Hanzo menatap ke samping. “Nggak… cuma… buat perbandingan rasa aja.”

Hanabi tersenyum lebih lebar.

Setelah menikmati roti di bangku taman dekat air mancur, Hanabi berdiri dan berkata, “Ayo ke barak. Aku mau nunjukin sesuatu.”

“Panahan?” tebak Hanzo.

“Benar. Aku penasaran, seberapa bagus target yang mereka punya di sini.”

Setiba di barak militer kerajaan, mereka disambut oleh beberapa prajurit. Salah satunya langsung memberi hormat.

“Hanabi sang Archer dan Hanzo sang Ninja… kebetulan, Jenderal Rey Normand ada di dalam.”

Tak lama, Rey Normand keluar, tersenyum sambil menyilangkan tangan. “Kalian ingin coba tempat latihan panahanku?”

“Jika diizinkan,” jawab Hanabi sopan.

“Tentu saja. Silakan tunjukkan kebolehanmu.”

Di lapangan panahan, Hanabi berdiri gagah, menarik busur panjang miliknya. Matanya tajam, penuh percaya diri. Hanzo berdiri di samping, memperhatikannya. Untuk pertama kalinya, hatinya terasa… berdebar.

Swish!

Anak panah menghantam tepat di tengah sasaran.

Kemudian satu lagi. Dan satu lagi.

“Hebat…” gumam Hanzo, tak sadar ia mengatakannya keras-keras.

Hanabi meliriknya, tersenyum kecil. “Kau terpesona?”

Hanzo kaget, lalu cepat-cepat menoleh ke arah lain. “Aku… cuma kagum pada teknikmu. Profesional.”

“Hmm, begitu ya…” jawab Hanabi, nada suaranya menggoda.

Rey Normand tertawa. “Kalian berdua cocok jadi pasangan tempur.”

Hanabi hanya tersenyum, sementara Hanzo nyaris tersedak udara.

Setelah latihan selesai, mereka berjalan ke toko pakaian. Hanabi mencoba beberapa model pakaian sederhana, gaun ringan, jubah, dan bahkan satu pakaian petualang wanita.

Hanzo? Duduk di luar ruang ganti, namun menoleh setiap kali Hanabi keluar.

“Bagaimana?” tanya Hanabi saat mencoba gaun berwarna merah marun.

Hanzo tak bisa menyembunyikan ekspresi kagumnya. “Itu… cocok. Sangat.”

Hanabi menaikkan alisnya, “Jarang kau bicara lebih dari satu kata.”

Hanzo mengalihkan pandangan. “Kau… tipeku.”

Mendadak hening. Hanzo membeku, baru sadar apa yang ia katakan barusan.

“Apa?” tanya Hanabi pelan.

“A-aku maksudnya… gayamu. Gayamu… ya, tipe gayaku dalam… estetika.”

Hanabi menahan senyum. Ia tidak menanggapi langsung, hanya melirik Hanzo sambil kembali ke ruang ganti.

“Kalau begitu… nanti ajak aku kencan lagi. Biar kau bisa lihat lebih banyak… gaya yang kau suka.”

Hanzo hanya bisa menunduk, wajahnya memerah tipis. Untuk pertama kalinya… sang Ninja kehilangan keseimbangan emosinya karena satu wanita bernama Hanabi.

Disisi lain...

Sore menjelang malam di mansion para pahlawan. Angin lembut masuk dari jendela terbuka, membawa aroma bunga dari taman belakang. Di ruang tengah, Takeshi duduk di sofa sambil menyeka pedangnya yang besar, meskipun itu bukan tugasnya sebagai Tanker, ia hanya ingin terlihat sibuk saat Kaede lewat.

Dan benar saja.

Langkah ringan terdengar dari koridor, lalu muncul siluet seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang diikat ponytail, jubah support berwarna ungu gelap berkibar saat ia melangkah.

“Kaede,” sapa Takeshi, berdiri cepat. “Ada waktu sebentar?”

Kaede berhenti, menoleh. Senyum manis terbit di wajahnya, tapi matanya… tidak tersenyum. “Ada apa, Takeshi-kun?”

“Um… aku pikir, mungkin… kau mau makan malam bersama malam ini?” tanyanya, dengan suara berat dan pelan.

Kaede mengedip sekali. “Oh? Makan malam?”

Takeshi mengangguk. “Aku yang masak. Kupikir… kau mungkin suka sesuatu yang hangat dan sederhana. Sup ayam herbal dan roti panggang.”

Kaede menyentuh dagunya, seolah berpikir, lalu tersenyum lebih lebar. “Ah, sup ya? Kedengarannya menenangkan. Tapi maaf… malam ini aku ada ‘diskusi strategi’ dengan Yui dan Akari. Hal-hal perempuan, tahu kan?”

Takeshi diam. Lalu mengangguk. “Tidak apa-apa… mungkin besok?”

Kaede tertawa kecil. “Mungkin. Kita lihat nanti~”

Ia berbalik dan melangkah pergi tanpa suara, meninggalkan Takeshi yang berdiri membeku di tempat. Di sudut ruangan, Lili, pelayan yang kebetulan sedang mengantar teh panas untuk Kouji, melirik Takeshi dengan simpati.

“Kau tidak menyerah, ya?” tanya Lili pelan.

Takeshi tersenyum kecil, pahit. “Dia… berbeda. Tapi aku tidak keberatan menunggu.”

Di balik pintu kamarnya, Kaede duduk tenang, menggulir halaman sebuah catatan rahasia yang berisi informasi tentang semua rekan timnya. Pada halaman milik Takeshi, tertulis:

‘Loyal. Rasional. Rentan terhadap perasaan.’

Ia menyeringai kecil.

“Bukan dia yang kubutuhkan…” gumamnya, lalu menutup buku itu. “Tapi kalau dia bisa jadi tameng untuk permainan berikutnya… kenapa tidak?”

Malam telah jatuh di mansion para pahlawan. Di kamarnya yang remang, hanya diterangi cahaya lilin, Kaede duduk bersila di hadapan meja kecil, membuka kembali buku catatan rahasia miliknya, penuh dengan informasi, data, dan spekulasi tentang masing-masing anggota.

Tangannya berhenti pada satu nama yang dulu nyaris ia lupakan:

Zetsuya – Role: Merchant

“Merchant…” gumam Kaede, matanya menyipit.

Ia teringat saat mereka semua disummon di Kuil Suci Elysia. Zetsuya berdiri paling ujung, diam, kikuk, dan mendapat ejekan dari banyak orang, termasuk Ryunosuke dan… dirinya.

Kaede tersenyum tipis, penuh ironi.

“Aku bahkan tak perlu repot mencatat kemampuanmu,” katanya, menuliskan ulang:

Status: Diusir. Tidak diberi perbekalan. Rendahan. Sampah.

Lokasi terakhir: Tidak diketahui.

Ia menutup bukunya perlahan, lalu berdiri dan berjalan ke jendela. Angin malam menyapu rambut hitamnya yang terikat. Ia menatap ke arah luar, ke kegelapan di balik kota ibu kota Sedressil.

“Kalau kau masih hidup… bagaimana caranya?” bisiknya, nyaris seperti berbicara pada bayangan.

“Dan kalau kau mati… di mana mayatmu?”

Ia tertawa kecil, pelan.

“Zetsuya… aku penasaran,” katanya dengan nada licik. “Bahkan yang terbuang pun bisa jadi ancaman… atau sekutu paling tidak terduga. Tapi untuk sekarang… aku akan menganggapmu mati.”

Ia menoleh ke meja. Di sana, ia menambahkan satu catatan baru di buku intelijennya:

Kemungkinan bertahan hidup: 0,1%

Tingkat Ancaman: Tidak diketahui, Tidak Penting.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!