Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: WANGI KENANGAN DAN DOA ARKA YANG MERINDUKAN
Kondisi Fisik dan Rasa Bersalah
Bara merasakan energi fisiknya terkuras habis. Ia sudah beberapa hari tanpa makanan yang cukup. Latar di pulau terasa semakin menekan, memaksa narasi menjadi lugas dan menekan, kontras dengan meditasi spiritualnya. Ia memegang perutnya yang kosong, setiap gerakan terasa berat.
Aku harus mencari kelapa. Tapi rasa lapar ini bukan yang terberat. Yang terberat adalah rasa gagal.
Rasa bersalah Bara memuncak. Ia mengingat bagaimana Arka hanya menatapnya kosong saat ia berpamitan sebelum menumpang Kapal KM Harapan Jaya. Arka, anaknya yang paling sensitif, tidak pernah bisa mengekspresikan perasaannya, dan Bara merasa kegagalannya sebagai ayah terekam dalam keheningan Arka. Ia juga gagal menunaikan bakti terakhir menjenguk Haji Saleh, ayahnya, yang sakit keras.
Ia kembali ke Cadas Sunyi, titik doa favoritnya, membawa Buku Doa Musafir dan pensil Mala yang semakin pendek.
“Yanto pasti sudah meninggal,” bisiknya pada ombak yang memecah di bawahnya. “Mengapa aku yang selamat, sementara aku gagal menjadi imam bagi anak-anakku?”
Doa Spesifik untuk Arka
Bara beranjak ke dekat Akar Bakau Gergasi, mencari tempat yang lebih terlindung dari angin. Di sana, ia berlutut, menyandarkan dirinya pada akar yang menonjol seperti tulang-tulang raksasa.
Ia membuka buku doanya yang sedikit lembap. Ia menulis doa baru, fokus pada ikatan spiritual dengan Arka.
"Aku tidak meminta diselamatkan. Aku hanya meminta, Ya Allah, biarkan Arka merindukanku. Biarkan ia tahu kehadiranku ada dalam tiap helaan napasnya, walau aku tak terlihat. Jaga dia. Biarkan ia tenang. Itulah tawakal terberatku."
Doa itu terasa lebih personal, lebih putus asa. Ia tahu Arka adalah penerima energi spiritual paling sensitif di antara mereka, dan ia berharap doanya akan menjadi "sinyal" yang bisa diterima putranya yang sunyi itu.
Reaksi dan Wangi Kenangan
Setelah menyelesaikan doa itu, Bara menutup buku. Tidak ada perahu yang terlihat di cakrawala. Tidak ada tanda-tanda pertolongan.
Tiba-tiba, ia mencium aroma yang sangat tipis dan sekilas, yang ia kenal betul. Itu adalah parfum Rina, aroma cendana dan musk yang selalu ia pakai saat salat. Aroma itu menghilang dalam sekejap, secepat embusan napas.
Bara terdiam, jantungnya berdetak kencang. Ia panik. Apakah ia sedang halusinasi karena lapar? Apakah otaknya sedang mencipta kenangan yang ia rindukan?
Jangan gila, Bara. Jangan jadi gila di sini.
Namun, kehangatan sebentar yang ia rasakan setelah menulis doa di hari sebelumnya, dan kini aroma Rina, membuatnya bertanya: mungkinkah ini adalah gema spiritual dari doanya yang menembus jarak, karomah kecil dari ikhlas yang ia paksakan? Ia menatap batu karang, menolak untuk menoleh ke laut, takut harapan palsu akan menghancurkannya.
Ketegangan di Rumah dan Fokus Berlebihan pada Arka
Di rumah, ribuan kilometer dari pulau sunyi itu, ketegangan terasa tebal dan cepat. Rina sibuk mengurus Arka yang hari itu rewel tanpa alasan. Arka terus-menerus merengek, menunjuk-nunjuk ke sudut ruangan dan tidak mau makan.
“Arka, sebentar ya, Nak. Ini Ibu suapi,” kata Rina lembut, mencoba menyuapi Arka bubur.
Rina memberikan perhatian penuh pada Arka. Mengurus Arka memang membutuhkan energi dan fokus 100%, terutama saat Arka rewel. Kelelahan jelas terlihat di wajah Rina, tetapi ia berusaha tegar, mengingat keputusannya untuk tidak menjual aset dan menolak bantuan Bunda Ida.
Nirmala (Mala), putrinya yang berusia lima tahun, duduk di sudut ruangan, di balik sofa. Ia melihat perhatian Rina sepenuhnya tersedot oleh Arka. Mala memeluk boneka lamanya dan menghela napas yang terdengar jauh lebih tua dari usianya.
"Mala, jangan di sana terus, Nak. Ayo sini duduk di sebelah Ibu," panggil Rina, tetapi fokus matanya masih tertuju pada Arka.
"Tidak apa-apa, Bu," jawab Mala pelan. Ia tidak bergerak. Invisible Wound Mala semakin dalam. Ia merasa tidak penting dan tidak didengar, keyakinan bahwa perhatian Rina hanya ada untuk Arka.
Wangi Kenangan di Rumah
Rina yang sedang berjuang menyuapi Arka tiba-tiba berhenti.
"Kau cium sesuatu, Nak?" tanya Rina, kepada Arka.
Arka tidak merespons, hanya merengek.
Rina mengira ia salah. Ia melanjutkan menyuapi Arka, tetapi kemudian ia menciumnya lagi. Aroma yang sangat tipis, persis seperti parfum Bara saat ia pergi salat. Aroma itu muncul dan menghilang dalam waktu kurang dari satu detik.
Rina terdiam. Ia mengira ia sudah gila. Sinyal aneh yang kurasakan setelah sujud. Panggilan samar kemarin. Dan sekarang aroma parfum? Aku sudah gila.
Mala, dari sudut ruangan, memperhatikan ibunya.
"Ibu, kenapa?" tanya Mala.
"Tidak apa-apa, Nak. Mungkin Ibu terlalu lelah," jawab Rina, mengusap pelipisnya.
Respons Ajaib Arka
Tiba-tiba, Arka yang semula merengek, menjadi tenang total. Matanya yang biasanya fokus ke dalam dirinya, kini menatap lurus ke lemari pakaian Bara yang terletak di seberang ruangan.
Arka melepaskan diri dari suapan Rina. Ia berjalan pelan ke lemari, membuka pintu lemari, mengambil jaket pelaut Bara yang tergantung di sana, dan memeluknya erat-erat.
Rina dan Mala sama-sama terpaku. Arka tidak pernah melakukan hal seperti itu.
Arka memeluk jaket itu di dadanya, lalu menoleh ke pintu tertutup rumah.
Rina mendekat, memeluk putranya. "Kau merindukan Ayah, Nak?"
Arka tidak menjawab, tetapi ia menunjuk ke pintu tertutup itu. Dengan suara yang sangat jarang dan non-verbal, suara yang keluar dari tenggorokannya bukan sebagai sapaan, melainkan seperti sebuah pernyataan keberadaan yang samar, ia mengucapkan satu kata.
"Ayah."
Setelah mengucapkan kata itu, Arka kembali diam, memeluk jaket Ayahnya, dan menyandarkan kepalanya ke dada Rina.
Rina terpaku, hatinya berdebar tak karuan. Suara "Ayah" itu, walau bukan sapaan normal dan sangat non-verbal, adalah hal paling jelas yang Arka ucapkan sejak Bara hilang. Itu terjadi persis setelah ia mencium aroma parfum Bara yang aneh.
"Mala, kau dengar itu? Arka bicara," bisik Rina, suaranya tercekat.
Mala, yang masih di sudut ruangan, hanya mengangguk pelan. Ia tidak tampak senang, hanya khawatir melihat kegirangan ibunya yang terlampau fokus pada adiknya.
Aku tidak gila. Itu bukan halusinasiku. Arka merespons sesuatu. Doa Bara... apakah itu benar-benar sampai?
Rina kini memiliki harapan, tetapi ia harus mengolahnya sendiri tanpa bukti fisik yang meyakinkan. Jika ia menceritakan ini pada Bunda Ida, ia pasti akan dicap gila, persis seperti yang ia takutkan.
Rina memeluk Arka, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia menoleh ke Mala. "Mala, Adik sayang Ayah, kan?"
"Iya, Bu," jawab Mala, tetapi tatapannya kosong. Ia masih memeluk bonekanya erat-erat, seolah memprotes perhatian penuh yang diterima Arka.
"Jangan sedih, Nak. Ayah pasti rindu kalian berdua," kata Rina, mencoba menyeimbangkan perhatiannya.
Mala hanya mengangguk. Luka inti Mala, merasa tidak dianggap penting di tengah krisis, semakin terbelah. Baginya, perhatian Rina pada Arka yang berbicara satu kata itu menegaskan bahwa Arka adalah prioritas, dan ia hanyalah anak kedua yang sunyi.
Rina berdiri, rasa lelahnya hilang ditelan keajaiban mikro Arka. Ia berjalan ke pintu depan.
"Bu, mau ke mana?" tanya Mala.
"Tidak ke mana-mana, Nak. Hanya..." Rina tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya ingin tahu.
Ia membuka pintu, tangannya gemetar. Sejenak, ia berharap Bara benar-benar berdiri di sana, kurus dan pucat, tetapi kembali.
Tentu saja, pintu itu kosong. Hanya ada keheningan jalan komplek dan suara tetangga yang samar.
Rina menutup pintu, menarik napas. Keajaiban itu tidak bersifat fisik, tetapi spiritual.
Ia kembali memeluk Arka. Arka memeluk jaket Ayahnya, menatap pintu dengan pandangan yang tenang dan damai. Ia telah menyampaikan pesannya.
Rina menggendong Arka dan membawanya ke kamar. Ia memeluk putranya, berjanji dalam hati untuk menjaga keyakinan yang tidak rasional ini.
Mala berjalan perlahan ke kamar. Ia melihat ibunya memeluk Arka dengan penuh kasih sayang, dan ia pun kembali ke sudut ruangan. Ia mengambil pensil pendeknya dan selembar kertas lusuh, mulai menggambar sesuatu di sana, jauh dari pandangan ibunya. Ia tahu, satu-satunya cara ia bisa berhubungan dengan Ayahnya adalah dengan caranya sendiri, tanpa harus bersaing dengan Arka.
Rina menutup mata, mencium aroma jaket Bara. Aroma parfum yang ia cium tadi sudah hilang. Ia hanya bisa berdoa agar ia cukup kuat untuk bertahan, percaya pada keajaiban non-verbal putranya.