Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PROYEK SURABAYA
Pagi di Bandara Halim Perdanakusuma terasa sibuk seperti biasa. Arif berdiri di dekat pintu keberangkatan VIP, memeriksa jadwal di ponselnya. Ia tidak mengenakan jas formal seperti biasanya—hanya kemeja biru muda dan celana panjang bahan gelap. Tetap tampan dan berwibawa, tapi kali ini lebih santai.
Beberapa staf proyek sudah berkumpul, termasuk Retno. Ia mengenakan blazer krem lembut dengan rok hitam sederhana. Rambutnya dikepang rapi ke samping. Tidak mencolok, tapi entah mengapa kehadirannya membuat mata Arif langsung terarah ke sana.
“Kita berangkat tepat waktu. Pesawat charter sudah siap,” ujar Arif datar, namun matanya sempat menatap Retno sekejap sebelum melangkah menuju gate.
Retno mengikuti dari belakang, membawa berkas tebal hasil analisis pasar Surabaya. Dalam hati ia berusaha tetap profesional, walau jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Ini pertama kalinya ia bekerja langsung di bawah pengawasan Arif Dirgantara—CEO yang selama ini hanya ia lihat dari layar presentasi atau berita ekonomi nasional.
Setibanya di Surabaya, rombongan langsung menuju Dirgantara Logistics Center di kawasan Pelabuhan Tanjung Perak. Bangunan megah itu menjadi pusat distribusi energi dan barang ekspor-impor. Proyek perluasan gudang dan sistem digitalisasi yang akan mereka tinjau hari itu diperkirakan bernilai ratusan miliar rupiah.
Di dalam ruang rapat, Arif duduk di ujung meja panjang. Retno berdiri di depan layar presentasi, menjelaskan proyeksi penghematan biaya dengan sistem baru yang ia usulkan.
“Jika sistem logistik digital ini diimplementasikan penuh, kita bisa memangkas waktu pengiriman barang keluar negeri dari delapan hari menjadi lima. Efisiensi ini juga berpotensi menarik investor Jepang dan Singapura.”
Semua peserta rapat mencatat serius. Arif mendengarkan dengan penuh perhatian, jarinya mengetuk meja pelan seirama dengan setiap kalimat Retno.
Ketika presentasi selesai, Arif berkata pelan namun tegas,
“Analisis yang sangat matang. Tapi saya ingin tahu—menurut Anda, risiko terbesar dari implementasi ini apa?”
Pertanyaan itu sulit. Semua menoleh, menunggu apakah Retno bisa menjawab.
Ia menarik napas.
“Risikonya bukan pada sistem, Pak. Tapi pada budaya kerja. Kita harus memastikan orang-orang di lapangan mau berubah. Teknologi tidak akan berarti apa-apa kalau manusia di belakangnya tidak mau menyesuaikan diri.”
Keheningan menyelimuti ruangan beberapa detik. Lalu Arif tersenyum tipis.
“Jawaban yang sangat benar. Dan jarang saya dengar dari orang yang baru tiga tahun di perusahaan.”
Senyum itu membuat wajah Retno memanas. Ia menunduk sopan, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba datang.
Sore harinya, mereka meninjau langsung area pelabuhan. Angin laut membawa aroma asin dan deru kapal besar yang sedang bongkar muat. Retno berdiri di tepi dermaga, memerhatikan pekerja mengoperasikan kontainer. Ia tampak kagum, matanya memantulkan warna oranye senja.
Arif berdiri di dekatnya. “Kau suka laut?”
Retno menoleh sedikit. “Sejujurnya, iya, Pak. Laut itu luas… tapi kadang menakutkan. Seperti kehidupan.”
Arif menatapnya sekilas, lalu berkata, “Tapi justru di situlah keindahannya—karena tak semuanya bisa ditebak.”
Mereka terdiam. Hanya suara ombak dan kapal yang membunyikan klakson pelan. Ada jarak di antara mereka, tapi bukan jarak yang dingin. Jarak yang justru terasa hangat—karena mulai terisi rasa ingin tahu satu sama lain.
Malamnya, di hotel tempat rombongan menginap, Retno duduk di balkon kamarnya. Ia menatap lampu-lampu kota Surabaya yang berkelap-kelip di kejauhan. Hatinya campur aduk—antara bangga, gugup, dan… sesuatu yang belum berani ia akui.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal.
“Terima kasih atas kerja keras hari ini. Presentasimu luar biasa.”
— A.D.
Retno terdiam cukup lama. Ia tahu siapa pengirimnya. Tangannya hampir tak berani membalas. Tapi akhirnya ia mengetik singkat:
“Terima kasih, Pak. Saya hanya melakukan tugas saya.”
Beberapa detik kemudian, balasan datang:
“Dan saya menghargai orang yang melakukan tugasnya dengan hati.”
Retno menatap layar ponselnya lama sekali. Senyum kecil muncul tanpa bisa ia cegah.
Di kamar sebelah, Arif duduk di depan laptop, menatap layar yang sama. Ia tahu ini tidak seharusnya—antara atasan dan bawahan. Tapi ada sesuatu pada perempuan itu yang membuatnya sulit berpaling.
Di luar, langit Surabaya berubah kelam. Tapi di hati keduanya, perlahan-lahan, cahaya kecil mulai tumbuh.
menarik