NovelToon NovelToon
(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Cintapertama
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Penasigembul

Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4

Bianca memasuki rumah dengan enggan setelah memarkirkan mobil di garasi. Langkahnya terhenti di ruang keluarga ketika menyadari bahwa papanya tengah duduk di sofa dengan ponsel di tangannya. Bianca berusaha menguasai dirinya dan melangkah semakin mendekat.

“Hai, Pa” sapa Bianca yang membuat pria yang ia panggil papa itu menoleh. “Papa sampe jam berapa?” tanya Bianca masih dengan posisi berdirinya yang tidak berubah.

“tadi siang.” Jawab pria itu singkat, “kamu baru pulang?” tanya papanya kemudian, Bianca menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Hai sayang, kamu sudah pulang?” suara mama Vivi membuat Bianca merasa sedikit lega, setidaknya ia tidak hanya berdua dengan papanya. Meskipun dia tahu papanya tidak lagi seperti dulu tapi wajah dingin dan tegas yang tergurat disana tetap membuat Bianca tidak nyaman berada di dekat papanya.

“iya, ma” jawab Bianca sambil menghampiri mamanya yang muncul dari arah dapur. “ada yang bisa Caca bantu, ma?” tanya Bianca menawarkan diri agar ia memiliki alasan untuk beranjak dari tempat itu.

“semua sudah siap, sayang. Kalau kamu mau mandi dulu gak apa-apa, kami akan menunggumu.” Jawab mama Vivi lembut, mendorong sedikit tubuh putrinya untuk beranjak dan membersihkan diri. Bianca mengangguk dan berjalan ke kamarnya, memasuki kamar mandi yang memang berada di kamar tidurnya dan mulai membersihkan tubuhnya sekaligus meluruhkan rasa lelahnya setelah menjadi pendengar yang baik bagi para kliennya.

Setelah selesai dengan kegiatan mandinya Bianca berjalan menuju meja makan yang berada diantara ruang keluarga dan dapur rumahnya itu. Papa dan mamanya sudah duduk disana, Bianca melihat mamanya sedang menyiapkan sepiring nasi dengan beberapa lauk yang tadi disiapkan mamanya itu.

“Bagaimana pekerjaanmu, Ca?” Suara berat milik papanya memecahkan keheningan dan mampu menembus indera pendengaran Bianca.

“semuanya baik, Pa.” Jawab Bianca, “Papa sendiri bagaimana?” tanya Bianca kemudian.

“Kamu tetap tidak mau melanjutkan bisnis ini, Ca?” bukan mendapatkan jawaban, papanya malah memberikan pertanyaan yang sangat dihindari wanita itu. Inilah alasan dia enggan duduk bersama papanya, sejak dulu papanya tidak setuju dengan pilihannya menjadi Psikolog, papanya sangat ingin ia melanjutkan bisnis yang dibangun dengan susah payah oleh orang tuanya. Bianca sempat kesulitan waktu kuliah karena papanya enggan membiayai kuliahnya, sampai akhirnya Bianca setuju untuk mengambil double degree, psikologi dan bisnis. tuntutan papanya karena tidak memiliki penerus laki-laki dibebankan kepada Bianca.

“Caca minta waktu untuk pertimbangin lagi ya Pa.” Jawab Bianca akhirnya, jawaban yang akhir-akhir ini ia berikan kepada papanya sebagai bentuk penolakan secara halus. Bianca tahu cepat atau lambat ia harus meninggalkan profesinya saat ini dan meneruskan jejak papanya, tapi masih belum dalam waktu dekat.

“berapa lama?” tanya papanya lagi, “Papa sudah semakin tua, kalau kamu meneruskan bisnis ini, papa bisa pensiun.”

Kata-kata papanya membuat Bianca terdiam, tidak tahu harus menjawab apa, ia tidak ingin memberikan janji apapun kepada papanya, tapi ia juga tahu bahwa orang tuanya semakin tua dari waktu ke waktu. “Pikirkan baik-baik, nak. Papamu benar, kami sudah semakin tua, siapa yang akan meneruskan bisnis papamu kalau bukan kamu.” Suara mamanya kali ini terdengar berusaha menengahi dan membantu putrinya keluar dari obrolan yang tidak diinginkan itu. Bianca merespon mamanya dengan sebuah anggukkan sebelum akhirnya keluarga kecil itu makan dengan keheningan meliputi mereka dan dengan pikiran mereka masing-masing.

Bianca langsung kembali ke kamarnya ketika makan malam selesai, ia membutuhkan ruang lebih untuk dirinya sendiri. Malam sudah semakin larut tapi Bianca masih terjaga dan dirinya seolah menolak untuk terlelap, ingatannya kembali pada masa kecil yang begitu menyesakkan bagi dirinya, sikap dingin papanya, semua aturan dan disiplin yang di terapkan kepadanya, sosok papa yang tidak pernah ada dalam setiap masa pertumbuhannya dan tiba-tiba hadir ketika tuntutan sebagai penerus tunggal harus diberikan dan dibebankan di atas pundaknya.

Ingatan akan tuntutan nilai sempurna, bentakkan, aturan dan hidup di bawah kontrol papanya memenuhi pikiran Bianca, tanpa sadar air matanya sudah luruh membasahi pipi. Kehadiran papanya hanya membuat Bianca berada dibawah bayang-bayang kontrol papanya selama ini.

Bianca mengambil sebuah buku yang ia simpan di rak buku bersama deretan buku lainnya, ia mulai mengambil bolpen merah dan dengan tangan gemetar mencoret-coret lembaran kosong pada buku itu, meluapkan segala emosinya malam ini sambil terus menangis mengingat luka yang berusaha ia sembuhkan.

*

Bianca segera bangun dari tidurnya setelah menyadari bahwa matahari sudah tinggi dan waktu pada jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul 8. Ia tidak tahu jam berapa ia terlelap setelah dirinya puas dan lelah menangis. Bianca beranjak menuju kamar mandi, sesegera mungkin bersiap karena ia harus tetap praktek hari ini. Bianca memerhatikan pantulan wajahnya di cermin, matanya terlihat sangat sembab akibat menangis semalaman. Ia mengambil beberapa alat riasnya dan memoles wajahnya tipis dan natural.

Setelah dirasa cukup, Bianca beranjak keluar kamar tapi ia tidak menemukan mama ataupun papanya, hanya beberapa ART yang berlalu lalang dengan kerjaan mereka. Seorang ART menghampirinya.

“Non, ini sarapannya.” Ujar wanita yang lebih tua darinya sambil memberikan kotak bekal berisi roti panggang selai strawberry.

“Terima kasih, Bi. Mama kemana?” tanya Bianca setelah menerima bekal sarapannya, Vivi menyadari putrinya kesiangan dan langsung menyiapkan sarapan yang mudah dimakan oleh putrinya di jalan menuju tempat prakteknya.

“Tuan dan nyonya sedang pergi, non.” Bianca mengulas senyum dan mengucapkan terima kasih setelah mendapatkan jawaban dari ARTnya itu, ia berjalan menuju mobilnya dan meninggalkan rumah menuju tempat prakteknya. Bianca sedikit bersyukur karena tidak perlu berpapasan dengan papanya di pagi hari.

*

Jean sudah mengatur ulang agenda Bianca, memindahkan beberapa jadwal konsultasi atas permintaan atasannya itu tadi pagi. Bianca mengabari Jean untuk memindahkan jadwalnya sebelum makan siang tapi semua agenda setelah makan siang biarkan berjalan seperti seharusnya.

“Mba Bianca, are you okey?” tanya Jean yang dapat melihat raut lelah pada wajah Bianca ketika wanita itu tiba. Bianca hanya mengangguk pelan.

“bagaimana dengan agendaku?” tanya Bianca sambil memutar kunci membuka pintu ruangannya. Jean berjalan menghampiri atasannya dan mengikuti langkah Bianca yang masuk ke dalam ruangan.

“sudah aman, Mba.” Jawab Jean setelah keduanya sudah berada di ruangan bernuansa cream pucat itu. “Hari ini hanya ada satu klien di jam 3 sore, Mba atas nama Marvin Dirgantara.” Lanjut Jean lagi memberikan informasi yang diperlukan Bianca.

Bianca yang semula bernafas lega karena Jean hanya menjadwalkan satu klien di tengah suasana hatinya yang berantakan seketika terkejut dengan nama klien yang disebutkan Jean barusan. Pria tertutup yang Bianca tahu memiliki luka yang besar dan dalam.

“Baiklah, terima kasih Jean.” Ujar Bianca merespon informasi yang asistennya berikan. “Boleh bawakan profile Pak Marvin ke mejaku ya.” Tambah Bianca meminta tolong, meskipun file itu tidak banyak membantu dirinya tapi mungkin ia bisa mencocokkan dengan catatan miliknya.

Jean meninggalkan ruangan Bianca dan kembali dengan map berisi lembaran dokumen milik klien bernama Marvin Dirgantara tersebut, kemudian menyerahkannya kepada Bianca. Bianca tersenyum dan mengucapkan terima kasih lalu kemudian memfokuskan dirinya kembali membaca catatan pada sesi terakhir dengan pria bernama Marvin itu.

1
Tít láo
Aku udah baca beberapa cerita disini, tapi ini yang paling bikin saya excited!
Michael
aku mendukung karya penulis baru, semangat kakak 👍
Gbi Clavijo🌙
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!