NovelToon NovelToon
Istri Kejam Sang Mafia

Istri Kejam Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Mafia / Pernikahan Kilat / Romansa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Naelong

Aurelia Valenza, pewaris tunggal keluarga kaya raya yang hidupnya selalu dipenuhi kemewahan dan sorotan publik. Di balik wajah cantik dan senyuman anggunnya, ia menyimpan sifat dingin dan kejam, tak segan menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.

Sementara itu, Leonardo Alvarone, mafia berdarah dingin yang namanya ditakuti di seluruh dunia. Setiap langkahnya dipenuhi darah dan rahasia kelam, menjadikannya pria yang tak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya.

Takdir mempertemukan mereka lewat sebuah perjodohan yang diatur kakek mereka demi menyatukan dua dinasti besar. Namun, apa jadinya ketika seorang wanita kejam harus berdampingan dengan pria yang lebih kejam darinya? Apakah pernikahan ini akan menciptakan kerajaan yang tak terkalahkan, atau justru menyalakan bara perang yang membakar hati mereka sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naelong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

di hadang

Pagi yang sebelumnya riuh oleh deretan mobil mewah telah berubah menjadi keheningan yang aneh di halaman rumah Valenza. Angin membelai dedaunan, namun di udara tetap terasa berat — seperti napas yang tertahan sebelum badai. Setelah salam-salaman dan kata-kata ringan yang dipaksakan, Aurel dan Leo telah berangkat meninggalkan gerbang besar itu. Di dalam rumah, suasana menjadi titik fokus bagi kepalsuan dan ambisi.

Papa berdiri di dekat jendela ruang tamu, tangan mengepal pada pegangan kursi kayu, menatap jalan yang baru saja dilewati mobil hitam itu. Wajahnya tampak ternoda oleh keraguan. Ia memanggil kakek dengan suara yang penuh tanya.

“Papa,” Alessandro berkata, nadanya berat, “mengapa kau memutuskan semuanya begitu cepat? Aurel... dia masih muda. Disegerakan menikahkan cucu seperti ini — dengan seorang mafia nomor satu? Apa yang kau harapkan?”

Giovanni duduk tenang di kursi goyangnya, tongkatnya disandarkan di samping. Wajah tua itu tak menunjukkan ketidaksabaran, hanya ketegasan yang lahir dari pengalaman hidup bertahun-tahun. Ia menghela napas, matanya menatap jauh seolah melihat peta masa depan yang tak terlihat oleh orang lain.

“Kau tahu, Alessandro,” jawab kakek dengan suara serak namun tegas, “dunia berputar dengan cepat. Aliansi tidak pernah menunggu waktu yang pas. Vittorio sudah lama menaruh perhatian pada kita. Ini bukan soal terburu-buru menikahkan cucu; ini soal menyatukan kekuatan ketika waktu memerlukan. Kita tak boleh lengah. Musuh tak pernah memberi ampun saat kita ragu.”

Alessandro menggigit bibirnya. Ia tahu kakek benar tentang sejarah keluarga, tentang bahaya yang mengintai bisnis yang berdiri di atas batu permata dan properti. Namun nalurinya sebagai ayah berbeda. “Tapi Aurel... dia tak siap, pa. Kau mengenalnya. Dia lembut, manja—dia tak tahu bagaimana kerasnya dunia ini.”

Kakek menoleh, tatapannya lembut padam ketika melihat Papa. “Lembut belum tentu lemah, Alessandro. Aku tahu kau mencintai cucuku itu. Tetapi ada kelembutan yang memang dipoles sebagai pelindung, dan ada kelembutan yang mematikan bila digunakan sebagai pedang. Kita semua punya peran. Kau ingin melindungi Aurel; aku ingin memastikan Valenza tetap berdiri. Kadang cara itu memang kejam. Maafkan aku bila keputusan ini membuatmu gelisah.”

Di ruangan lain, suasana bertolak belakang. Marcella, sang ibu tiri, telah kembali ke ruang riasnya sambil menari-nari dalam hati. Bianca dan Dante berkumpul di ruang makan dengan wajah berseri—senyum yang sama liciknya seperti mata mereka. Mereka mengepalkan tangan dalam kebahagiaan yang tak tersamarkan.

“Sekarang semuanya akan berubah,” bisik Marcella. “Begitu Aurel pergi, tak ada yang bisa menghentikan kita. Harta Valenza akan lebih mudah kita kendalikan jika dia jauh, lelah, dan terikat dengan seorang yang tak mengenal hati nurani.”

Bianca memutar rambutnya, masih terpesona oleh bayangan wajah Leo di pikirannya. “Kau lihat kan, Mama? Dia bukanlah monster tua yang kumikir. Mungkin dengan dia di samping Aurel, Aurel akan cepat runtuh. Kita cukup menjaga jarak, menunggu momen yang tepat.”

Dante menambahkan dengan nada sinis, “Dan jangan khawatir soal Papa. Ia terlalu sayang pada Aurel. Ia tak akan mengambil langkah berani melawan kita. Kita hanya perlu sabar.”

Mereka bertiga tertawa kecil, tertawa yang menggema samar di lorong-lorong istana yang sekarang terasa dingin.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di dalam mobil, suasana masing-masing bertolak belakang dengan riuhnya intrik di rumah. Aurel duduk dengan tenang, tangan melingkarkan tas kecil di pangkuannya. Wajahnya menampakkan kelembutan yang sudah dipamerkan di publik — senyum kecil, mata sorot teduh. Namun setiap detik yang berlalu, ada ketajaman di balik senyum itu, seperti pisau tipis yang diselipkan di balik pita. Dia menatap langit yang terlihat samar dari kaca mobil, berpikir tentang apa yang akan terjadi, dan merencanakan beberapa langkah ke depan.

Leo duduk di kursi pengemudi belakang—atau lebih tepatnya, kursi di samping sopirnya yang paling setia, Enzo wijaya. Wajahnya tegap, rahang tegang, mata menatap lurus ke luar. Ia berusaha menahan dirinya agar tidak membiarkan emosi memanggil; kakeknya memerintah dan perintah harus dijalankan. Namun di dalam, ia memendam rasa tidak suka yang mendalam pada segala hal yang dianggap “lembut”.

Di antara mereka, kesunyian menebal. Tak ada satu pun kata hangat yang melintas. Hanya bisik mesin, detak jam yang seolah menandai hitungan waktu yang menegangkan.

Tiba-tiba, suara Enzo yang tenang namun cekatan memecah kebisuan itu. “Boss, ada kendaraan di depan kita yang tampak menahan laju. Mereka menghentikan jalur.”

Leo mengangkat alis. “Di mana?” suaranya dingin. “Kenapa mereka berani menahan konvoi kita?”

Enzo memutar ponselnya dan menatap layar dengan serius. “Sepertinya jebakan. Ada kelompok yang memblokir jalur beberapa meter ke depan. Mereka tidak terlihat seperti pengawal biasa.”

Aurel menelan napas, menatap Leo. Wajahnya dibuat pucat, suaranya bergetar saat ia mengeluarkan kata-kata sederhana: “Kak Leo... ada apa? Apakah... apakah kita akan...?”

Kalimat itu tidak selesai karena Leo langsung menoleh, matanya berkobar amarah. “Bisa diam nggak?!” Bentakan menggelegar di ruang kecil itu, membuat Aurel terkejut dan menunduk. “Tunggu di sini. Jangan keluar. Jangan bergerak.”

Aurel menunduk, menggenggam tasnya lebih erat. “Baiklah, Kak Leo,” jawabnya pelan, suaranya dirapatkan agar tidak memancing perhatian.

Enzo membuka pintu dan melangkah keluar, menyisakan kehampaan yang dingin. Leo turun dari mobil, langkahnya tenang namun mematikan. Ia berdiri beberapa langkah dari konvoi, menatap para pria yang menutup jalan. Mereka bergaya seperti preman jalanan — wajah kasar, tubuh berotot, dan tatapan yang penuh maksud. Namun di antara mereka juga ada sesuatu yang berbeda. Aura bahaya yang mengendap di udara membuat Leo menegang.

“Majulah,” teriak salah satu dari mereka, suara bernada menantang. “Ini peringatan! Turunkan barang berhargamu, atau kami paksa!”

Para preman itu menertawakan, yakin bahwa mereka menakutkan. Enzo maju perlahan, menutup ruang antara mereka dan mengacungkan satu tangan seolah ingin menenangkan suasana. Namun seorang dari preman itu tiba-tiba melesat maju dan menampar Enzo. Bukan dengan kata-kata — melainkan pukulan.

Enzo bergerak cepat, memutar tubuhnya dan membalas serangan dengan pukulan beruntun yang presisi. Ia memecah barisan mereka, kemudian menggunakan tangan dan lutut untuk melayangkan serangan bertubi-tubi yang membuat beberapa preman tersungkur. Gaya Enzo brutal namun penuh teknik — jelas bukan sekadar pengacau jalanan.

Sementara itu di sisi lain, beberapa bayangan gelap lain mulai bergerak ke arah mobil Leo. Tanpa diduga, Aurel melihat seorang pria memanjat ke samping mobil dan menempelkan tangan di pintu — pria itu tampak menahan napas, menatap Aurel dengan mata penuh nafsu. Ia mengetuk kaca dari luar, menunggu pintu dibuka.

Dari dalam, Aurel menatap dengan tenang. Di hadapan bahaya yang datang, ia belum kehilangan kendali. Suaranya lembut, namun ada nada yang dipaksakan: “Tolong... jangan... Jangan lakukan ini, kami hanya lewat...”

Namun nada itu berubah jadi pura-pura takut begitu para penjahat semakin nekat. “Kak Leo, tolong! Kita akan... kita akan mati hari ini!” seru Aurel, suaranya dibuat gemetar.

Leo yang tengah beradu tenaga beberapa langkah dari sana mendengar jeritan itu. Ia mengumpat dalam hatinya—bukan karena khawatir, melainkan karena jengkel. Kenapa aku dijodohkan dengan perempuan se-lemah ini? Selalu menyusahkan. Namun naluri pelindungnya terpanggil; ia tidak suka jika sesuatu mengganggu urusannya, apalagi jika yang diganggu adalah sesuatu yang dititahkan padanya oleh kakeknya.

Tanpa berpikir panjang, Leo menembakkan satu tembakan ke arah seseorang yang sedang menarik Aurel ke luar dari mobil. Suara senapan memecah keheningan seperti ledakan, membuat beberapa preman terhenti mendadak. Peluru mengenai sambungan tangan yang menahan Aurel — luka itu membuat pelaku melepaskan cengkeramannya. Aurel terjerembab ke tanah setengah pura-pura, setengah dramatis.

“Shit,” Leo mengumpat keras. “Kenapa aku harus dipasangkan dengan orang yang membuatku repot begini?”

Aurel berteriak histeris, air mata berpura-pura membasahi pipinya. “Kak Leo! Aku takut sekali!” ia menjerit, menggigit bibir dengan atraksi yang begitu meyakinkan. Matanya penuh air, suaranya memilukan. Di balik semua itu, hatinya berputar dingin seperti baja; ia tahu betul kapan harus menjerit, kapan harus pasang muka lemah.

Leo menyeret Aurel ke dalam mobil dengan gerakan cepat dan kasar. Ia menatap wajahnya, menunggu melihat reaksi lemah yang ia benci. Aurel masih memegang peranannya—menangis, gemetar, bergumam tentang betapa takutnya ia. Suasana menjadi kacau beberapa detik, sebelum Enzo menyelesaikan sisanya dengan menyingkirkan preman yang tersisa sambil memeriksa situasi.

Di dalam mobil, setelah pintu tertutup rapat, Leo menghardik dengan nada dingin yang menusuk: “Aku sudah bilang kau takkan tahan hidup di sisiku, Aurel. Ini bukan panggung untuk bermain sandiwara. Kita batalkan saja pernikahan ini—kembalilah ke rumahmu dan katakan pada kakekku bahwa kau tak sanggup hidup bersamaku.”

Aurel terdiam. Air mata palsu masih mengalir pelan di pipinya, namun di balik itu semua ada senyum tipis yang terpahat di sudut bibirnya saat tidak terlihat oleh Leo. Di dalam hatinya, ia mengejek: Terima kasih untuk bantuannya, kak. Kau baru saja memeragakan lagi betapa mudahnya mereka terkecoh oleh lakon. Namun ia hanya menghela napas, menunduk dengan wajah yang seolah hancur.

“Baiklah,” katanya pelan, suaranya lembut. “Kalau itu yang kau inginkan...”

Kalimat itu tercampur antara kepasrahan publik dan rencana yang jauh lebih licik di baliknya. Aurel tidak akan membatalkan apa pun. Justru ia menemukan kesempatan: Leo menunjukkan reaksi yang kuat—kekuatan dan kekerasan yang ia miliki. Persepsi publik tentang Aurel sebagai gadis yang tak berdaya akan membuatnya mendapat simpati; sementara ia sendiri, di balik tirai kelembutan itu, akan mencari cara untuk mengikat Leo dengan cara yang tidak terlihat.

Mobil melaju lagi, meninggalkan bekas debu di jalan. Di belakang, para preman pulang dengan luka dan rasa takut yang bercampur. Di depan, dua jiwa yang berbeda sekali sedang menimbang ulang permainan yang baru saja dimainkan—satu dengan pedang tersembunyi, satu dengan otot yang siap menghancurkan. Di antara mereka, takdir sudah mulai merajut simpul-simpul yang tak mudah diurai.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di rumah Valenza, berita tentang insiden itu sampai dengan cepat. marcella, Bianca, dan Dante berkumpul di jendela, menatap jalan yang sunyi. Mereka merasa bangga — bangga karena skenario itu membuat Aurel terlihat rapuh, membuat keluarganya cemas, membuat Marcella dan anak-anaknya semakin yakin bahwa rencana merebut kendali akan berjalan mulus.

Alessandro, di ruang tamu, menaruh kepalanya di telapak tangan. Ia merasakan rasa bersalah yang menekan. Tetapi ia juga menyadari sesuatu: kakek Giovanni tahu apa yang dilakukannya. Keputusan telah diambil, dan dia harus mempersiapkan diri menerima konsekuensi — apapun itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sementara dalam mobil yang melaju di malam yang semakin menipis cahaya, Aurel menepuk pipinya lembut, seolah menghapus bekas air mata. Di balik kepura-puraan dan sandiwara, hatinya dingin. Rencana-rencana telah dijalin di pikirannya satu per satu, langkah demi langkah. Leo, dengan kekejamannya yang nyata, baru saja menunjukkan sisi yang bisa dimanfaatkan. Dan Aurel, dengan kelembutannya yang mematikan, tahu persis bagaimana membentuk dunia sesuai kehendaknya.

Mereka belum sadar sepenuhnya bahwa permainan ini bukan hanya soal satu perjodohan. Ini soal siapa yang akan bertahan sampai akhir — dan siapa yang akan dikhianati sepanjang jalan.

1
Eka Putri Handayani
uh dalam mimpi km bisa rebut leo🤣pulu² mau disandingkan sm berlian ya mana bisa, terlalu menganggap aurel reme bngt dasar orng serakah
Ode Nael: betul.. betul.. dasar Bianca.
total 1 replies
Eka Putri Handayani
lanjut pokoknya kak, ttp smngt ya😍
Naelong: makasi sudah mampir🩵
total 1 replies
Eka Putri Handayani
ih siapa ya? apa jangan² leon ya yg menguji aurel
Naelong: siapa yaa??
total 1 replies
Eka Putri Handayani
smngt thor😍
Naelong
sabar yaa☺
Eka Putri Handayani
bagaimana maksudnya thor? kakeknya aurel suka gtu sm menantunya? atau bagaimana ya aku kok krng paham
Naelong: maaf typo, harusnya kakek Aurel sangat menyanyangi mami Aurel.
total 1 replies
Eka Putri Handayani
uh dasar pulu² serakah, itu jg ayahnya aurel knp gak bisa tegas bngt
Naelong: karna terlalu cinta sama istri ke duanya
total 1 replies
Emi Widyawati
bagus sekali, cerita berbeda, karakter kuat. good job thor 👍👍👍
Naelong: makasi sudah mampir☺
total 1 replies
sukahati
Lanjut thor
Naelong: masih sementara di reviuw. di tunggu kelanjutannya. makasi sudah mampir☺
total 1 replies
Asryani ode123
sangat keren ceritanya
Naelong: terimakasi
total 1 replies
Asryani ode123
mantap ceritanya smoga smpai tamat iya.
Naelong: makasi🙏
total 1 replies
Naelong
makasi sudah mampir ☺🙏
Eka Putri Handayani
keren sih, smg ramai yg baca, ttp smngt thor
Naelong: makasi☺
total 1 replies
Ode Nael
ceritanya bagus
Bé tít
Gemesin banget nih karakternya, bikin baper!
Waode Agustina08
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!