Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran Fara
Setelah makan, Keira dan Naila mengajak Valeria ke perpustakaan untuk meminjam buku pelajaran yang akan dipakai besok. Namun, Valeria menolak dengan halus.
"Kalian duluan aja," kata Valeria. "Gue mau langsung ke kelas."
Keira dan Naila saling pandang, raut wajah mereka menunjukkan sedikit keheranan. "Tumben? Ada apa, Val?" tanya Naila.
"Nggak apa-apa. Gue cuma mau ngerjain tugas aja di kelas," jawab Valeria, meskipun dalam hati ia tahu alasannya bukan itu. Ia merasa ada dorongan kuat untuk kembali ke tempat di mana ia baru saja menghadapi Damian. Tempat di mana permainan ini dimulai.
"Yaudah deh, kalau gitu. Nanti kita nyusul ya," ucap Keira.
Valeria mengangguk. Setelah berpisah dengan teman-temannya, ia pun berjalan sendirian menuju kelas, dengan langkah yang mantap dan penuh keyakinan.
Valeria berjalan kembali ke kelas, melewati taman sekolah yang sepi. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok duduk di salah satu bangku. Wajahnya mengernyit, merasa familier dengan kedua orang itu. Alih-alih langsung ke kelas, Valeria mengubah arah. Ia berjalan perlahan, mengendap-endap mendekat, lalu bersembunyi di balik semak-semak.
Sementara itu, Damian, yang baru saja keluar dari kelas untuk pergi ke kantin, melihat gerak-gerik aneh Valeria. Penasaran, ia mengurungkan niatnya. Tanpa diketahui Valeria, Damian ikut mengendap-endap dan bersembunyi di balik pohon.
Dari balik persembunyiannya, Valeria mendapatkan pandangan yang lebih jelas. Ia terkejut. Sosok pria yang duduk di bangku taman itu adalah Revan. Dan wanita di sampingnya adalah Aluna.
...Hanya ilustrasi gambar....
Valeria bersembunyi, matanya tak lepas dari Revan dan Aluna. Ia berbisik pelan, "Revan... Aluna... mereka ngapain? Apa mereka ada hubungan?"
Tanpa Valeria sadari, Damian sudah berdiri tepat di belakangnya. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, menguping bisikan Valeria sambil mengarahkan pandangannya ke arah yang sama.
...Hanya ilustrasi gambar....
Sementara itu, di bangku taman, Aluna menatap Revan dengan cemas. "Aku lihat kamu kemarin... ada apa sama Damian?" tanyanya.
Revan menghela napas, terlihat lelah. "Nggak ada apa-apa, kok," jawabnya, mencoba menenangkan Aluna. "Cuma salah paham aja."
Aluna tidak terlihat yakin. "Kamu kelihatan marah banget."
"Udah, lupain aja," kata Revan, lalu menatap Aluna dengan tatapan serius. "Pokoknya, jangan sampai Valeria tahu, ya. Dia nggak perlu tahu soal ini."
Valeria dan Damian, dari tempat persembunyian mereka, sama-sama terdiam. Keduanya kini mengetahui rahasia baru yang Revan sembunyikan.
Valeria berusaha keras untuk mendengar apa yang Revan dan Aluna bicarakan, tapi jarak membuat suaranya tidak terdengar. Frustrasi, ia berbisik pelan, "Sialan, nggak kedengaran lagi."
Tepat di belakangnya, Damian yang mendengar bisikan itu mengernyitkan dahinya. Ia menyadari Valeria juga sangat penasaran dengan percakapan itu. Perlahan, Valeria menoleh ke belakang dan tatapannya langsung bertemu dengan mata Damian.
Valeria terkejut, begitu juga dengan Damian. Keduanya kini berdiri di sana, saling berhadapan, dengan rahasia yang sama yang mereka saksikan di depan mata mereka.
Tiba-tiba, angin berembus kencang, menerbangkan debu-debu kering dari tanah. "Aduh!" Aluna berteriak, mengusap matanya yang kelilipan. Revan yang panik langsung mendekat, mencondongkan tubuhnya untuk membantu meniup mata Aluna.
Valeria dan Damian yang tadinya terkejut karena bertemu, langsung menoleh kembali ke bangku taman. Mereka melihat Revan begitu dekat dengan Aluna. Dari sudut pandang Valeria, Revan terlihat seperti akan mencium Aluna.
...Hanya ilustrasi gambar....
Jantung Valeria langsung berdegup kencang, perasaan kaget dan cemburu menyelimutinya. Tanpa sadar, ia menarik napas tajam.
Valeria hendak berteriak, namun dengan cepat tangan Damian membekap mulut Valeria erat, mencegahnya mengeluarkan suara. Ia menarik Valeria menjauh, menyembunyikan mereka di balik semak-semak yang lebih tebal di sisi lain taman.
Revan yang mendengar suara samar, seketika menoleh. Ia memandang sekeliling, mencoba mencari tahu asal suara itu.
"Ada apa, Rev?" tanya Aluna, menyadari perubahan ekspresi Revan.
"Nggak ada apa-apa," jawab Revan, meskipun matanya masih menyisir sekeliling. Ia merasakan firasat aneh, seolah ada yang mengawasi.
Setelah merasa aman, Damian melepaskan bekapan tangannya dari mulut Valeria. Valeria menatap Damian, matanya berkobar penuh amarah. "Apa-apaan sih lo?!" bisiknya, kesal, sambil berusaha menepis tangan Damian.
"Lo mau ketahuan?" balas Damian, juga berbisik, nadanya terdengar serius. "Makanya jangan teriak. Kita nggak boleh ketahuan."
Valeria terdiam, napasnya memburu. Ia kini menyadari, di balik semak-semak itu, ia dan Damian bukan lagi musuh, melainkan sepasang pengintai yang baru saja menyaksikan rahasia yang sama. Pemandangan Revan dan Aluna yang begitu dekat terlintas kembali di benaknya. Hatinya terasa perih.
Damian melipat tangannya di dada, menatap Valeria dengan tatapan penuh arti. "Gue bilang juga apa," desisnya, suaranya pelan. "Revan nggak sebaik yang lo kira."
Valeria menoleh ke arahnya, mata mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, ia melihat bukan lagi musuh di mata Damian, melainkan seseorang yang memiliki informasi yang ia butuhkan. Namun, ia tidak mau terlihat lemah.
"Bukan itu masalahnya," balas Valeria, berusaha keras untuk terdengar tenang. "Lo tahu siapa cewek itu?"
Damian menyeringai. "Tentu saja. Gue kenal dia."
"Siapa?" tanya Valeria, tidak sabar.
"Lo mau tahu? Kalau gitu, lo harus kerja sama dengan gue."
Valeria menatap Damian dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana mungkin Revan, teman masa kecilnya, melakukan hal yang tidak ia duga? Hatinya bergejolak, penuh keraguan.
"Kerja sama?" tanya Valeria, suaranya dipenuhi kecurigaan. "Setelah semua yang lo lakuin ke gue?"
"Gue nggak peduli," jawab Damian, suaranya rendah. "Yang gue tahu, gue nggak salah soal Revan. Dan lo juga penasaran, kan? Kenapa dia menyembunyikan hal itu dari lo?"
Valeria terdiam, kata-kata Damian menusuk kebenaran yang tak bisa ia bantah. Ia memang penasaran. Perasaan dikhianati oleh teman masa kecilnya lebih menyakitkan daripada ancaman Damian.
"Apa yang harus kita lakuin?" tanya Valeria akhirnya, mengalah.
Damian menyeringai, senyumnya kini bukan lagi senyum sinis, melainkan senyum penuh strategi. "Kita cari tahu, apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka."
Valeria menghela napas panjang, menimbang semua risikonya. Namun, rasa penasaran dan pengkhianatan yang ia rasakan jauh lebih besar dari ketidak percayaannya pada Damian.
"Oke, deal," kata Valeria, suaranya terdengar berat. "Tapi kalau lo berani macam-macam, gue nggak akan ragu buat laporin lo."
Damian menyeringai, matanya menyipit. "Tenang aja," jawabnya, suaranya kini terdengar seperti bersekutu. "Sekarang, kita harus tahu apa yang mereka bicarakan. Kita harus dengar semuanya."
Valeria mengangguk. Keduanya kembali mengendap-endap, kali ini dengan tujuan yang sama, mencoba mendekati Revan dan Aluna untuk menguping pembicaraan mereka yang terputus.
Valeria dan Damian kembali mengendap-endap ke tempat persembunyian mereka, kali ini dengan tujuan yang sama. Mereka mengintip dari balik semak-semak, tetapi yang mereka lihat hanyalah bangku taman yang kosong.
"Nggak ada," bisik Valeria kecewa. "Ke mana perginya mereka?"
Tanpa mereka sadari, Revan, yang sempat melihat mereka berjalan menuju semak-semak, merasa ada yang aneh. Ia meminta Aluna pergi duluan, lalu diam-diam menghampiri tempat itu. Dengan langkah tanpa suara, ia berdiri tepat di belakang mereka.
Valeria dan Damian masih fokus menatap bangku kosong di depan, tidak menyadari kehadiran Revan.
"Cari siapa?" suara Revan tiba-tiba terdengar, membuat Valeria dan Damian terperanjat kaget. Keduanya menoleh, dan melihat Revan berdiri di belakang mereka, dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan.
"Re...Revan?" bisik Valeria, suaranya tercekat.
"Kalian ngapain di sini?" tanya Revan, nadanya dingin, jauh dari Revan yang Valeria kenal. "Kenapa bersembunyi?"
Damian, dengan cepat, mencoba mengalihkan situasi. "Bukan gue. Valeria yang ajak gue ke sini. Dia bilang dia punya firasat nggak enak, terus ngajak gue buat ngintip lo."
Valeria menatap Damian dengan kesal, lalu kembali menoleh ke arah Revan. "Revan, siapa Aluna?" tanyanya, suaranya bergetar. "Kenapa lo mau dia nggak bilang ke gue?"
Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Revan berubah. Ia kini tahu, semua rahasianya sudah terbongkar.
Revan menatap Valeria, raut wajahnya dingin. "Bukan siapa-siapa," jawabnya, suaranya menusuk. "Dan nggak ada rahasia." Tanpa menunggu reaksi mereka, Revan berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Valeria dan Damian sendirian di taman.
Valeria terdiam, napasnya tercekat. Perkataan Revan yang penuh kebohongan dan penolakan menyakiti hatinya lebih dalam daripada ancaman Damian. Ia kini tidak melihat Revan sebagai teman masa kecilnya, melainkan orang asing yang menyembunyikan sesuatu. Rasa sakit dan kebingungan menyelimuti dirinya.
Damian berdiri di sampingnya, melihat wajah Valeria yang terluka. Untuk pertama kalinya, tidak ada senyum sinis di wajahnya. Ia hanya menatap kosong ke arah Revan pergi.
"Lo... nggak apa-apa?" tanya Damian, suaranya terdengar ragu.
Valeria menggeleng, air matanya tak bisa lagi ia tahan. Ia merasakan sakit yang begitu nyata. Ia tidak pernah menyangka Revan akan mengkhianatinya.
Damian menatap Valeria yang menangis. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasakan keinginan untuk mencela atau menyindirnya. Ia hanya melihat seorang gadis yang terluka karena pengkhianatan. Tanpa berkata-kata, ia meraih saputangan dari saku celananya dan menyodorkannya pada Valeria.
Valeria terkejut, namun ia menerimanya. Ia menyeka air matanya, menatap Damian dengan pandangan penuh kebingungan.
"Jangan nangis," kata Damian, suaranya pelan dan tidak lagi sinis. "Nggak ada gunanya nangis buat orang kayak gitu."
Valeria hanya terdiam. Ia merasa malu, namun pada saat yang sama, ia juga merasa ada sedikit kehangatan dari kehadiran Damian.
"Ayo, kita balik ke kelas," ajak Damian, lalu berjalan lebih dulu.
Valeria mengangguk dan mengikuti Damian. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bicara. Keheningan itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh dengan pemahaman baru. Ketika mereka sampai di kelas, bangku-bangku sudah kosong.
"Sekarang," kata Damian, menatap Valeria, "kita harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Valeria tetap diam. Setibanya di kelas, ia memilih duduk di salah satu bangku dekat tembok, lalu menelungkupkan wajahnya di atas meja. Isakan tangisnya tidak bersuara, hanya getaran kecil di bahunya yang menunjukkan betapa hancurnya ia.
Damian, yang duduk di sebelahnya, tidak mengatakan apa pun. Ia hanya memandang Valeria, lalu perlahan mengulurkan tangannya dan mengelus rambut Valeria dengan lembut. Sentuhan itu tidak lagi menakutkan, justru memberikan kehangatan dan rasa aman yang sangat Valeria butuhkan.
...Hanya ilustrasi gambar....
Bel berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai. Bu guru masuk ke dalam kelas. Tanpa berkata-kata, Damian mengambil salah satu buku dari tasnya dan menaruhnya di dekat kepala Valeria, menutupi wajahnya agar tidak terlihat. Ia kemudian mengambil bukunya sendiri dan fokus ke depan, sambil sesekali melirik ke arah Valeria.
Dua jam berlalu, bel pulang pun berbunyi. Bu guru menghentikan pelajarannya dan meninggalkan kelas. Damian mulai membereskan buku-bukunya sendiri dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah itu, ia mengambil buku Valeria dan memasukkannya ke dalam tasnya. Para murid lain di kelas melihat apa yang dilakukan Damian, dan bisik-bisik mulai terdengar. Namun, Damian tidak peduli.
Ia menoleh ke arah Valeria dan berbisik pelan, "Ayo, kita pulang."
Valeria tetap diam, tetapi ia mengangkat kepalanya dan berdiri. Melihat itu, Damian pun ikut berdiri. Ia mengambil tasnya, menyampirkannya di sisi kiri bahunya, lalu mengambil tas Valeria dan meletakkannya di sisi kanan.
Tanpa berkata apa-apa, ia mempersilakan Valeria lewat. Valeria berjalan keluar kelas, dan Damian mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan dalam diam, keluar dari gedung sekolah.
Sementara itu, di area parkir, Revan sedang menerima telepon dari Mama Diandra.
"Halo, Tante Diandra," sapa Revan.
"Revan, sayang. Tante mau minta tolong, ya," suara Diandra terdengar hangat dari seberang telepon. "Valeria hari ini sopirnya nggak bisa jemput. Tante khawatir dia kenapa-kenapa di jalan. Kamu bisa tolong antar dia pulang?"
Revan menoleh ke pintu keluar sekolah. Pikirannya dipenuhi kegelisahan. "Oh, iya, Tante. Tentu saja. Revan akan antar Valeria pulang, Tante. Tante tenang saja."
"Makasih banyak ya, Revan. Tante percaya sama kamu," kata Diandra.
"Sama-sama, Tante."
Revan menutup teleponnya, hatinya terasa berat. Ia memikirkan bagaimana ia harus menghadapi Valeria setelah semua yang terjadi di taman. Saat itulah, ia melihat Valeria dan Damian berjalan ke arahnya. Valeria berjalan di depan, dan Damian berjalan di belakangnya, sambil membawa kedua tas.
Melihat pemandangan itu, Revan terdiam, kaget.
"Damian," panggil Revan, suaranya dingin. "Apa yang lo lakuin sama Valeria?"
Damian tidak menjawab, ia hanya menatap Revan dengan tenang.
Valeria, yang tadinya hanya menunduk, kini mendongak dan menatap Revan dengan mata yang dipenuhi luka.
"Mama Diandra barusan telepon gue," kata Revan, mengabaikan Damian. "Sopir lo nggak bisa jemput, jadi gue yang harus anter lo pulang."
Valeria hanya menatapnya, tidak bergeming. "Gue nggak butuh lo," balasnya, suaranya pelan tapi tegas.
"Val, kenapa lo ngomong gitu?" tanya Revan, bingung. "Gue cuma mau anter lo pulang. Itu permintaan nyokap lo."
Valeria menatapnya, matanya dipenuhi luka. "Tapi gue nggak mau."
"Valeria, kalau nggak sama gue, lo mau pulang sama siapa?" tanya Revan, nadanya mulai terdengar frustrasi.
"Ojek online," jawab Valeria singkat.
Damian yang sedari tadi diam, akhirnya menimpali. "Kalau begitu, gue yang antar."
Revan menatap tajam ke arah Damian, lalu mengabaikannya dan kembali menatap Valeria. "Hah, Valeria? Tante, Mama kamu minta aku untuk antar kamu pulang, dan aku nggak enak kalau Tante tahu aku nggak anterin kamu pulang. Ayo!"
Valeria tetap menggelengkan kepalanya, menolak. Revan melihat tas Valeria yang masih berada di bahu kanan Damian. Dengan cepat, ia mengambil tas itu, lalu menarik tangan Valeria menuju parkiran motornya.
Sesampainya di sana, Revan memasangkan helm di kepala Valeria dan menyampirkan tasnya di pundak Valeria. Setelah selesai, ia menyalakan motornya. Revan menengok ke belakang dan berkata, "Ayo, naik! Atau perlu gue gendong naik ke motor?"
Mendengar itu, Valeria terpaksa naik. Revan kemudian mengulurkan lengannya. Valeria ragu sejenak, namun akhirnya memegang jaket Revan.
Sementara itu, Damian hanya bisa menatap mereka dari jauh. Setelah Revan dan Valeria meninggalkan area sekolah, ada perasaan sakit hati dan cemburu yang menggerogoti Damian.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan. Hati Valeria masih terasa perih, dan ia hanya memandang jalanan yang mereka lewati. Revan sesekali melirik ke arah Valeria melalui kaca spion, mencoba membaca ekspresinya. Namun yang ia lihat hanyalah wajah murung dan mata yang sembab.
Tiba-tiba, Revan mempercepat laju motornya. Valeria yang terkejut karena tidak siap, secara refleks memeluk Revan dengan erat. Revan tersenyum puas di balik helmnya, lalu kembali memperlambat laju motornya.
Valeria menyadari ia telah tertipu. Dengan cepat ia melepaskan pelukannya, hanya memegang jaket Revan dengan jari-jari gemetar. Revan melihat itu dari spionnya, dan mencoba untuk mempercepat lagi.
"Revan, jangan!" teriak Valeria, suaranya parau.
Revan terkejut, lalu memperlambat laju motornya. Ia kemudian menepi dan menghentikan motornya di pinggir jalan.
"Ada apa?" tanyanya, suaranya kini kembali normal. "Lo kaget, ya?"
Revan menatap Valeria, menunggu jawaban. Namun, Valeria tetap diam. Ia hanya memandang Revan dengan tatapan yang penuh kekecewaan, tatapan yang lebih menyakitkan dari sekadar amarah.
"Val, gue cuma bercanda," kata Revan, mencoba mencairkan suasana. "Gue nggak bermaksud nakutin lo."
Valeria akhirnya menoleh, matanya masih memerah. "Kenapa lo bohong?" tanyanya, suaranya parau. "Kenapa lo bilang nggak ada apa-apa, padahal gue lihat semuanya? Kenapa lo minta Aluna nggak bilang ke gue?"
Revan terdiam, tatapannya beralih ke jalanan. Ia menghela napas panjang, sadar bahwa ia tidak bisa lagi bersembunyi.
"Aluna... adalah sepupu Fara," jawab Revan, suaranya pelan. "Dan gue ketemu dia untuk kasih tahu soal Damian. Dia nggak mau Fara tahu, karena Fara lagi berjuang buat pindah ke sekolah kita, dan dia takut rencana itu gagal."
Valeria terkejut, namun ia tetap mendengarkan.
"Gue nggak bilang ke lo, karena gue nggak mau lo khawatir. Gue janji bakal selesain ini sendiri," lanjut Revan. "Gue nggak tahu kalau lo... cemburu."
Valeria menunduk, otaknya mencerna informasi baru itu. Namun, kebohongan Revan tetap menyakitkan.
Valeria terdiam, mencerna semua yang Revan katakan. Ia menatap kosong ke jalanan. "Jadi, Fara dan Aluna sepupu... dan info itu juga benar, bahwa dia mau pindah dalam minggu ini," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Namun, Revan mendengar gumaman itu. Ia langsung menoleh ke arah Valeria, wajahnya menunjukkan kebingungan.
"Info apa?" tanya Revan, nadanya kini penuh waspada. "Val, apa yang sebenarnya terjadi?"
Valeria menoleh ke arah Revan, matanya kini memancarkan amarah. "Semua itu," jawabnya, suaranya bergetar. "Ancaman Damian, rencananya untuk mengintimidasi gue, semuanya tentang lo dan Fara. Itu semua yang gue tahu."
Revan terkejut, ekspresi wajahnya berubah total. Ia tidak menyangka bahwa masalahnya dengan Damian telah berdampak sejauh ini, bahkan membahayakan Valeria.
"Val, gue..."
"Jangan bicara lagi, Revan," potong Valeria, suaranya kini dingin. "Gue cuma mau pulang. Gue udah muak sama semua ini."
Revan menatapnya, merasa bersalah dan tak berdaya. Ia tahu, kebohongannya telah menghancurkan kepercayaan yang Valeria berikan padanya. Ia hanya bisa menyalakan kembali motornya dan melanjutkan perjalanan pulang dalam keheningan yang menyesakkan.
Setelah sampai di depan rumah Valeria, Revan menghentikan motornya. Keheningan yang menyelimuti mereka terasa berat. Valeria langsung turun, melepaskan helmnya, dan meletakkannya begitu saja di depan Revan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Revan hanya bisa menatap helm di depannya, lalu beralih menatap pintu rumah Valeria yang kini tertutup rapat. Ia tahu, kebohongannya telah menghancurkan kepercayaan Valeria. Ada penyesalan yang mendalam di matanya.
Sesampainya di rumah, Revan memarkir motornya di garasi. Ia melangkah masuk ke dalam rumah, melewati ayahnya yang sedang menonton televisi. Dengan langkah gontai, ia menuju kamarnya dan mengunci pintu. Ia melempar tasnya ke lantai, lalu merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit.
Pikirannya kembali ke kejadian di taman dan di depan rumah Valeria. Ia membayangkan lagi wajah terluka Valeria, air mata yang membasahi pipinya, dan tatapan penuh kekecewaan yang ia berikan. Ia menyadari, usahanya untuk melindungi Valeria justru menjadi bumerang. Kebohongannya membuat Valeria lebih sakit daripada jika ia tahu kebenarannya dari awal.
Ia juga teringat Damian, yang dengan tenang berdiri di samping Valeria, melindunginya. Revan kini menyadari, Damian bukanlah sekadar musuh yang jahat, melainkan seseorang yang juga terluka dan terpaksa melakukan hal-hal buruk karena perasaannya.
"Bodohnya aku," gumam Revan, menyadari semua kesalahan yang telah ia perbuat. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki semuanya.
Revan merebahkan diri di kasur, menyesali semua yang telah terjadi. Ia sadar, kebohongannya yang bertujuan melindungi Valeria justru membuatnya lebih sakit. Ia juga mulai melihat Damian bukan sebagai musuh, melainkan seseorang yang juga terluka. Revan tahu, ia harus berani menghadapi kesalahannya dan memperbaiki semuanya.
Malam harinya, setelah makan malam, Revan turun dari kamar dengan jaket di tangan. "Pa, Ma, Revan mau ke rumah Valeria sebentar," ucapnya, nadanya terdengar serius.
Orang tuanya saling pandang. "Malam-malam gini? Ada masalah?" tanya ibunya, khawatir.
"Enggak ada, Ma. Revan cuma mau ngomong sesuatu," jawab Revan, "Ada hal yang harus Revan luruskan."
Ayahnya menepuk pundaknya. "Ya sudah. Hati-hati di jalan, Van."
Revan mengangguk, lalu bergegas keluar. Sepanjang perjalanan menuju rumah Valeria, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ia gugup, tetapi juga merasa harus melakukan ini.
Sesampainya di depan rumah, Revan menekan bel. Pintu terbuka, dan yang muncul adalah Mama Diandra, yang tersenyum hangat. "Revan, masuk, Nak. Tante kira kamu nggak jadi jemput tadi."
"Maaf, Tante. Tadi ada sedikit salah paham," jawab Revan, nadanya sopan. "Valeria ada di rumah, Tante? Revan mau ngomong sebentar dengannya."
Mama Diandra mengangguk, "Ada. Masuk saja. Dia ada di kamarnya."
Revan masuk, lalu berjalan menuju kamar Valeria. Ia mengetuk pintu, dan tidak lama kemudian, pintu terbuka. Valeria berdiri di sana, dengan wajah yang masih sembab. Ia menatap Revan tanpa ekspresi.
Revan mengambil napas dalam-dalam. "Val, gue... gue minta maaf."
Valeria menatap Revan. Tatapannya tidak lagi dingin, melainkan penuh kesedihan. "Kita ngomongnya di halaman belakang aja," ucapnya, suaranya pelan.
Revan mengangguk, mengerti bahwa Valeria belum siap untuk berinteraksi dengannya secara normal. Ia mengikuti Valeria berjalan ke halaman belakang rumahnya yang dipenuhi tanaman hias. Mereka duduk di kursi kayu yang berhadapan. Suasana malam yang sunyi menjadi latar dari percakapan mereka yang tegang.
"Val, gue minta maaf," kata Revan, membuka pembicaraan. "Gue bodoh. Seharusnya gue jujur sama lo dari awal."
Valeria menatap Revan, menunggu penjelasan.
"Aluna itu sepupu Fara. Dia datang untuk kasih tahu gue kalau Fara mau pindah ke sini," jelas Revan. "Gue nggak mau lo tahu, karena gue takut lo khawatir. Gue takut lo terancam lagi sama Damian. Jadi gue minta Aluna buat nggak bilang ke siapa-siapa."
"Tapi lo malah bikin gue khawatir, Revan," potong Valeria, suaranya bergetar. "Gue nggak tahu harus percaya siapa. Lo teman masa kecil gue. Tapi lo yang bohong."
Revan menunduk, mengakui kesalahannya. "Gue salah. Gue terlalu pengecut buat jujur. Gue takut lo jauhin gue kalau lo tahu gue masih berhubungan sama Fara. Gue nggak berpikir kalau kebohongan gue malah bikin lo sakit."
Valeria menatapnya, ada sedikit rasa lega karena Revan akhirnya jujur. Namun, luka di hatinya masih terasa.
Valeria menatap Revan, matanya tidak lagi menunjukkan kesedihan, melainkan ketegasan. "Ada apa masalah antara kamu, Damian, dan Fara?" tanyanya, suaranya pelan dan serius. "Apa kamu yang menyebabkan mereka putus, atau Fara suka sama kamu tapi kamu nggak mau, karena kamu tahu dia milik Damian?"
Mendengar pertanyaan itu, Revan terkejut. Ia menyadari bahwa Valeria sudah tahu jauh lebih banyak dari yang ia duga. Revan tidak bisa lagi mengelak. Ia menghela napas, lalu mulai menceritakan semuanya.
"Awalnya, Fara sering curhat ke gue tentang Damian. Dia bilang Damian terlalu posesif dan cemburuan," jelas Revan. "Lama-lama, gue sadar dia mulai suka sama gue. Dia bahkan bilang kalau dia mau putus dari Damian karena dia lebih nyaman sama gue."
"Lalu?" tanya Valeria, hatinya berdebar kencang.
"Gue tolak Fara," aku Revan, menunduk. "Gue tahu dia pacar Damian. Meskipun gue nggak suka Damian, gue nggak mau jadi orang ketiga yang merusak hubungan mereka. Gue bilang ke Fara, kalau dia mau, selesaikan dulu masalahnya sama Damian. Tapi ternyata... dia nggak terima dan menganggap gue mempermainkan perasaannya. Dia kemudian sengaja bikin Damian salah paham, supaya Damian membenci gue. Dia pikir, dengan begitu, gue akan lebih mudah didapatkan."
Valeria terdiam, mencerna semua informasi itu. Ia kini mengerti. Semua yang terjadi adalah hasil dari kebohongan Fara, dan kebohongan Revan yang ingin melindunginya. Namun, yang paling menyakitkan adalah, ia dan Damian sama-sama menjadi korban dari kebohongan tersebut.
"Jadi, kita berdua cuma korban, Revan?" bisik Valeria, matanya berkaca-kaca.
Revan mengangguk, ia tak bisa berkata-kata.
Bersambung.....