Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan Sulit
“Sudah enakan?” Tanya Axel setelah menunggu cukup lama diam nya Jani di bangku kantin rumah sakit yang kosong.
“Ahhhh…Jani jadi nglantur gini sih, maaf ya Kak. Kak Axel boleh pulang Kak, maaf sudah Jani repotkan.” Axel tersenyum, ternyata Jani mengenalinya.
“Tidak repot Jan, aku malah seneng kamu ketemu aku di saat yang tepat seperti tadi.” Senyum Kak Axel membuat Jani menunduk tersipu malu.
“Maaf ya Kak, Jani tidak sopan merepotkan Kak Axel malam-malam begini. Jani terimakasih banyak ke Kak Axel.” Jani segera melangkah meninggalkan Axel yang sebenarnya masih ingin ada di sisi Jani.
Huhhhhh……
“Gak tau saja aku sejak tadi deg degan deket kamu Jan.” Axel masih tersipu malu bisa berinteraksi dengan cukup dekat dengan Jani.
Axel diam-diam memendam rasa yang cukup manis untuk Jani. Gadis cantik yang terus menunduk dan tertawa diam-diam saat anak-anak kelas membuat lelucon yang membuat kelas selalu gaduh dan berisik.
Axel senang merasa diberi hadiah istimewa di hari ulang tahunnya. Malam menjengkelkannya berakhir begitu indah bersama Jani. Debaran di jantungnya masih belum redup, dia terus riuh bergemuruh menebarkan getaran cinta yang semakin Axel yakini adanya.
Axel bersyukur segera kabur dari pesta minuman keras yang teman-temannya adakan dengan alasan memperingati ulang tahunnya. Beruntung dirinya tidak banyak perhitungan dan bertemu Jani di tengah kegelisahanya yang begitu menyiksa.
Hanya berada di dekatnya saja membuat Axel merasa begitu tenang, Axel merasa bisa mengontrol emosinya saat ada Jani di sisinya. Dia tenang, tidak berhenti bersikap manis dan terus menjadi sandaran untuk Jani yang tengah kacau.
Kembali ke Jani, dia berjalan perlahan menyusuri Lorong rumah sakit yang begitu sunyi. Masih teringat jelas teriakan Mbak Gina yang meminta Mas Angga untuk segera mendapatkan uang untuk pengobatan Putri kecilnya.
Tangis mereka belum reda saat Jani tiba. Bedanya sekarang hanya suara tangisan, Mbak Gina sudah tidak ada tenaga lagi untuk berteriak. Dia menangis menumpu kepalanya di atas kedua lututnya. Pemandangan yang menyiksa Jani yang melihatnya.
“Mas….” Mas Angga mendongak. Ada senyum getir saat melihat adik nya datang.
“Aku mau menikah dengan orang itu.” Angga menelan salivannya susah payah.
Seperti di sambar petir di tengah gersangnya gurun yang terik. Tatapan mata Mas Angga begitu penuh kepiluan, dia mengepalkan kedua tangannya menahan emosi yang menyeruak memenuhi kepalanya.
“Duduk, jangan banyak bicara.”
“Mas…”
“Diam Jani. Kau kira menikah itu main-main! Kau kira menikah itu semudah yang kau ucapkan barusan!” Teriak Mas Angga dengan cukup keras.
Jani terisak, hanya ini yang bisa Jani lakukan untuk segera mendapatkan uang dalam jumlah besar.
“Tapi tidak bisakah Jani kita minta berkorban untuk Putri kita Mas? Quin sekarat Mas. Dia butuh uang itu untuk operasinya.”
"Dia sudah banyak berkorban! Apalagi yang harus adikku korbankan untuk kita!"
“Jani yang membuat pilihan ini Mas, Jani janji akan hidup bahagia setelah menikah. Jani janji Mas tidak akan menyesal sudah menikahkan Jani dengan laki-laki itu Mas.”
“Aku bahkan tidak tahu orang seperti apa yang Langit maksud.” Angga mengusak wajahnya dengan gusar. Dia terdiam merenung tanpa bicara sepatah katapun.
Jani memeluk Mbak Gina nya, dia wanita baik hati yang selalu ada di sisi Mas nya. Meski kadang sikapnya menyakiti Jani, tapi kehadirannya menjadikan Mas Angga selalu tersenyum bahagia. Jani hanya diminta berkorban sedikit demi kedamaian rumah mereka.
“Apa kau yakin Jan?” Jani melangkah mendekati Mas Angga, menggenggam tangannya dengan erat.
“Jani yakin, Mas Angga bisa percaya pada Jani. Jani janji akan hidup bahagia dengan pilihan Jani.”
Akkhhhhh……
“Terimakasih Jani, Mbak Gina minta maaf karena selama ini suka memanfaatkan mu mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Maafkan Mbak Jan….” Tangis Mbak Gina yang ahirnya pecah kembali merasa bahagia dan lega.
“Maaf ya Dek….maaf….maafkan Mas.” Jani memeluk Mas nya erat. Ini pilihan yang sangat sulit untuknya.
Tidak mungkin dia melakukan pilihan ini jika keadaan tidak mendesak seperti ini. Mas Angga pasti menolak keras jika kondisi mereka baik-baik saja.
***
Woooo……wowww…..Yeaahhhh…..
Teriak Langit berlari memasuki ruangan Calvin yang tertutup rapat. “Berhasil Bos, aku Sudah dapat pengganti pengantin wanita seperti yang kau mau.” Wajah Langit berbinar penuh bahagia.
“Siapa?” Tanya Calvin dengan suara beratnya.
“Namanya Jani, dia adik dari sahabat lamaku. Kau tenang saja, dia penurut dan tidak pernah membantah permintaan Kakak nya.”
“Apa kau yakin dia tidak akan merepotkan? Aku hanya butuh Istri yang penurut.” Tegas Calvin yang tidak mau lagi ada drama yang memusingkan.
“Tentu saja, aku bisa pastikan kau tidak akan kerepotan menghadapi Jani. Aku punya foto nya. Sebentar.”
“Atur agar semuanya berjalan dengan benar. Aku tidak suka ada kekacauan.”
“Kali ini kau tidak akan menyesal dengan pilihanku. Aku mempertaruhkan hidupku merayu mereka. Jangan lupa dengan dua miliar yang kau janjikan.
“Minta rekening nya, biar aku kirimkan langsung pada nya.”
“Sudah aku kirimkan. Cepat sebelum mereka berubah pikiran.” Calvin meminta Delia mengirimkan uang yang dia janjikan. Delia segera mengerjakan permintaan yang Calvin minta.
“Aku tidak mungkin menyerahkan Jani pada laki-laki tidak baik Ga, atasan ku ini orang yang baik. Dia sungguh-sungguh ingin mecari teman hidup. Aku jamin kau tidak akan menyesal sudah mengambil keputusan ini.” Pesan Langit yang tidak di balas sama sekali.
Angga hanya memandangi ponselnya dengan penuh penyesalan. Bagaimana bisa seorang Kakak menyersahkan adik kesayangannya pada laki-laki yang dirinya sama sekali tidak kenali. Bagaimana bisa dirinya di sebut Kakak untuk Jani.
Maaf kan Mas Jani, sungguh rasanya Mas ingin mati saja sudah menyakiti mu seperti ini. Mas malu Jan, bagaimana jika keputusan Mas ini salah. Bagaimana jika dia menyakitimu setelah kalian menikah, bagaimana ini ya Tuhan.
Segala macam pikiran buruk muncul membuat Angga terisak sendirian di sudut rumah sakit yang sepi. Sendirian menikmati emosinya yang tengah memuncak merasa begitu terpukul dengan pilihan sulit yang harus dirinya ambil.
Merasa bersalah karena sudah mengorbankan adik nya untuk menyelamatkan Putri nya yang sakit keras. Angga merasakan sesak, kehabisan oksigen meski berada di ruang terbuka yang begitu luas. Rasa bersalahnya membuat tubuh Angga begitu kesakitan.
Sreekkkk……
Angga terkejut melihat gelas kopi berwarna putih ada di depan matanya. Mendongak menatap wajah adik kecilnya yang kini sudah dewasa.
Jani berjongkok, mengusap sisa sisa air mata yang membasahi wajah Mas Angga.
“Jani tidak menyesal dengan pilihan ini. Jani yakin Jani bisa menjaga diri Jani meski berada jauh dari Mas Angga. Jani mohon, jangan menyalahkan diri Mas seperti ini. Ini pilihan yang Jani ambil, Jani memutuskanya dengan sadar.”
“Maaf kan Mas Jan. mas malu sekali Jan.” Jani memeluk Mas Angga dengan erat. Mana mungkin Mas nya ini tidak merasa bersalah, dia pasti terpukul sekali dengan pilihan sulitnya.
“Jani maafkan Mas, semua ini memang harus kita lalui. Dan Mas harus tahu kalau Jani bahagia bisa membantu Mas Angga dan Quin.”
Aakkhhhnnnnn…..maaf Jani….maaf
Hanya itu yang terus Mas Angga ucapkan pada Jani. Rasa bersalahnya sangat besar, dia orang yang akan paling menyesal jika setelah menikah Jani mengalami banyak kesulitan.
Jani menepuk pelan punggung lebar Mas Angga yang masih terisak pilu. Bahagia sekali Jani tahu sebesar ini rasa sayang Mas Angga padanya. Dia diam tapi sayangnya melebihi yang Jani bisa bayangkan.
“Jani sayang Mas Angga.” Ucap Jani membuat isakan Mas Angga semakin keras.