Jihan Hadid, seorang EO profesional, menjadi korban kesalahan identitas di rumah sakit yang membuatnya disuntik spermatozoa dari tiga pria berbeda—Adrian, David, dan Yusuf—CEO berkuasa sekaligus mafia. Tiga bulan kemudian, Jihan pingsan saat bekerja dan diketahui tengah mengandung kembar dari tiga ayah berbeda. David dan Yusuf siap bertanggung jawab, namun Adrian menolak mentah-mentah dan memaksa Jihan untuk menggugurkan kandungannya. Di tengah intrik, tekanan, dan ancaman, Jihan harus memperjuangkan hidupnya dan ketiga anak yang ia kandung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Keesokan harinya dimana jam menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Jihan yang baru saja bangun tidur langsung mengambil ponselnya.
Ia meminta Mia dan semua tim agar datang ke Kafe.
Mia dan semua tim langsung mengiyakan permintaan Jihan.
Setelah itu Jihan membuka pesan dari Samuel yang sudah mentransfer sisa pembayaran dan ia juga memberikan bonus kepada Jihan.
Jihan tersenyum tipis saat melihat bonus yang begitu banyak dari Samuel.
Ia pun segera bangkit dari tempat tidur dan pagi ini ia tidak merasakan perutnya yang sakit.
"Dokter Seymus, terima kasih." gumam Jihan.
Jihan lekas menuju ke kamar mandi sambil menyanyikan lagu dari Boyzone.
Setelah selesai mandi Jihan lekas mengganti pakaian dan berangkat ke Kafe.
Begitu mobil Jihan terparkir, ia melangkah masuk ke dalam kafe dengan senyum lega.
Aroma kopi dan pastry segar langsung menyambutnya.
Di sudut kafe, tim EO-nya sudah duduk menunggu.
Wajah-wajah lelah namun penuh semangat itu langsung berseri ketika melihat Jihan datang.
"Pagi semuanya!" sapa Jihan hangat.
"Pagi, Ji!" jawab Mia, diikuti yang lain.
Jihan menarik kursi dan duduk di tengah mereka, ia membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa amplop tebal berwarna cokelat.
"Ini gaji dan bonus untuk kerja keras kalian kemarin malam dan kalian luar biasa."
Satu per satu, ia membagikan amplop dengan senyum tulus.
Sesaat setelah mereka membukanya, suasana langsung berubah—
"YA AMPUN!"
"Beneran ini?!"
"Astaga, bonusnya segini banyak?!"
"Kak Ji, serius ini? Aku sampe gemeteran."
Tawa dan tepuk tangan kecil mewarnai suasana kafe.
Beberapa dari mereka bahkan tak bisa menyembunyikan air mata bahagia.
Jihan hanya menganggukkan kepalanya
"Kalian pantas mendapatkannya. Aku bangga punya tim seperti kalian."
Setelah suasana mulai tenang, Jihan mengangkat gelas kopinya.
"Dan hari ini kalian libur total, tapi tiga bulan lagi kita akan handle event besar. Event pernikahan Sultan dari Uni Emirat Arab. Klien kita langsung dari kerajaan."
Mereka langsung terkejut ketika mendengar perkataan Jihan.
"SERIUS?!"
"Gila! Kita bakal kerja buat Sultan?"
"Ini level internasional!"
Mia bahkan sampai memukul pelan lengannya sendiri.
"Aku nggak mimpi, kan?" tanya Mia.
“Nggak, Mia,” jawab Jihan sambil tersenyum tipis.
Tak berselang lama, pelayan datang membawa makanan yang sudah mereka pesan.
Aroma sedap langsung memenuhi meja, mencairkan suasana yang semula serius menjadi lebih hangat.
Canda tawa ringan mulai mengisi percakapan mereka, sebuah momen lepas setelah berhari-hari berjibaku dengan persiapan acara.
Mereka menikmati makanan itu perlahan, seolah ingin memberi waktu bagi tubuh dan hati untuk benar-benar rileks.
Setelah piring-piring mulai kosong dan gelas-gelas tinggal setengah, satu per satu mulai berpamitan.
“Terima kasih, Jihan. Kamu keren banget, kayak biasa,” ucap Mia sambil merapikan tasnya.
“Libur dulu ya hari ini. Tapi tiga bulan lagi, kita harus siap untuk pernikahan sultan,” ujar Jihan sambil tersenyum penuh arti.
“Siap, Bos!” jawab tim serempak sebelum akhirnya meninggalkan kafe.
Kemudian Jihan duduk sendiri di sudut ruangan yang didekorasi dengan tanaman gantung dan aroma kopi.
Ia memesan croissant dan segelas susu cokelat kepada pelayan.
Kemudian ia mengeluarkan headset bluetooth dan tablet dari tasnya.
Ia membuka sketsa digital yang akan menjadi pondasi acara megah tiga bulan ke depan.
Tangannya mulai menggambar detail: venue bernuansa keemasan, susunan bunga melati putih dan mawar merah, pencahayaan lembut, dan tatanan meja mewah untuk 500 undangan kerajaan.
Sesekali ia berhenti, memperhatikan lekukan desainnya dengan saksama.
Senyum kecil mengembang di wajahnya ketika ia menyadari sesuatu perutnya sudah tidak sakit lagi.
"Terima kasih, dokter Seymus," gumamnya lirih.
Di kafe yang sama, senja mulai turun perlahan, mewarnai langit Istanbul dengan semburat jingga yang hangat.
Ketiga pria masuk kedalam Kafe dan aroma kopi dan pastry menyambut langkah mereka.
Tatapan David langsung tertuju pada satu sudut ruangan.
"Dia di sana," bisik David sambil melihat Jihan yang tengah asyik menatap layar tabletnya.
Rambutnya disanggul sederhana dan sepasang headset bluetooth masih terpasang di telinganya.
Di meja ada croissant separuh termakan dan secangkir susu coklat yang mulai mendingin.
"Aku ingin menyapanya," ucap David lirih, hampir terdengar ragu tapi juga penuh niat.
Namun Adrian, yang berdiri di sisi kirinya, langsung menggeleng pelan tanpa mengalihkan pandangan dari tempat duduk yang kosong di dekat mereka.
“Tidak sekarang,” ucapnya datar.
Yusuf hanya mengangkat bahu dan mengambil tempat duduk.
Mereka bertiga kemudian memesan makanan dan mulai menikmati obrolan ringan sambil sesekali melirik Jihan.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam dan Jihan melepaskan headset nya.
Di saat sedang berdiri ia tidak sengaja melihat mereka bertiga.
Jihan menganggukkan kepalanya ke arah mereka bertiga.
Ia tak terkejut melihat mereka di sana, seperti sudah terbiasa dengan kehadiran mereka di sekitarnya.
Mereka bertiga tampak sedikit kaku, terutama David, yang tampak menyesal tak mengikuti keinginannya tadi.
Jihan mulai membereskan tabletnya, merapikan croissant yang tersisa ke dalam kantong kecil, lalu berdiri.
Langkahnya ringan namun tegas saat ia meninggalkan kafe, tanpa menoleh lagi.
Mereka bertiga hanya memandangi punggungnya yang semakin jauh, hingga menghilang di balik pintu kaca.
"Dia memang berbeda," gumam Yusuf.
Adrian menatap kosong ke arah luar jendela, lalu meneguk kopinya dengan pelan.
David hanya menghela napas, menggenggam gelasnya lebih erat dari sebelumnya.
Di sudut kafe Istanbul yang hangat, tiga pria masih duduk dengan tenang.
Meja mereka tak lagi penuh dengan makanan, hanya sisa-sisa minuman dan percakapan yang menggantung di udara.
David memutar gelas di tangannya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan kayu meja.
“Sudah, jangan pikirkan dia lagi,” ucap Adrian datar sambil menatap keluar jendela dan memandangi langit yang mulai berubah oranye.
David mengerucutkan bibirnya sejenak, lalu menarik napas dalam.
“Dia bukan perempuan biasa, Adrian. Kau tahu itu.”
“Tepat,” timpal Yusuf tenang.
“Dan itulah masalahnya.”
Adrian menoleh ke arah mereka dengan tatapannya tajam, tapi tak ada kemarahan.
“Dunia kita terlalu kotor untuk perempuan seperti dia. Semakin dia dekat, semakin kita hancur."
“Atau mungkin kita yang takut pada sesuatu yang terlalu bersih.” ucap David.
Mereka bertiga saling pandang dan setelah itu mereka kembali ke apartemen di Adrian.
Sementara itu di tempat lain dimana Jihan telah sampai di apartemen.
Tubuh yang lelah tak lagi ingin berbicara, hanya ingin beristirahat.
Jihan menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, merasakan kelembutan kasur menyambut setiap bagian dirinya yang kelelahan.
Ia memejamkan mata tanpa sempat berganti pakaian, tanpa menyentuh ponsel lagi.
Jihan bermimpi dimana Samuel mengajaknya berdansa di acara kemarin malam.
Di dalam mimpinya ia sangat bahagia sekali dan tiba-tiba ia melihat mereka bertiga.
Jihan langsung membuka matanya dan ia kemudian tidur.