Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Alhamdulillah," seru Pak Vino saat mendengar bahwa Alina setuju untuk menikah.
"Selamat, Nak. Semoga kedepannya kalian bisa menjadi keluarga sakinah," ucap Bu Resha tersenyum senang.
Zahra dan Raka pun ikut bahagia mendengar kabar tersebut. Akhirnya sulung di keluarga mereka akan melepas masa lajang.
"Tapi, aku penasaran, bagaimana Alina bisa setuju menikah dengan Kakak?" Setahu Zahra selama ini Alina tidak begitu menyukai Brayn yang dinilainya cukup galak dan sering melarang ini dan itu.
"Mungkin dapat hidayah kalau akan dapat suami ganteng," gurau Brayn tertawa.
"Anak Papa yang satu ini memang agak lain," imbuh Raka, membuat Brayn mencebik.
"Awas, dipecat dari ipar loh." Zayn ikut menimpali.
"Dia memang adik ipar durhaka!" ucap Brayn, membuat Raka tertawa.
Brayn lalu melirik sang papa, kali ini raut wajahnya tampak serius.
"Pa, tapi aku dan Alina ada sedikit permintaan."
"Apa itu?"
"Kami tidak mau ada pesta meriah. Pernikahan kami akan digelar secara sederhana dan hanya ada anggota keluarga saja. Apa Papa dan Mama tidak keberatan?"
Bu Resha dan Pak Vino saling melirik satu sama lain.
Sebagai anak sulung, tentu mereka menginginkan pernikahan yang meriah untuk Brayn dan Alina yang bisa dikenang.
"Loh, memangnya kenapa, Nak?" tanya Bu Resha.
"Aku dan Alina sudah sepakat, Ma. Bukan pernikahan besar dan meriah yang menentukan bahagia, yang penting berkah dan bisa membawa kebaikan untuk kami."
"Ya sudah kalau itu keputusan kalian. Kami akan mendukung." Pak Vino tersenyum.
"Jadi kapan kita akan mengulang lamaran?"
"Kalau bisa ... secepatnya, Pa."
"Tapi bagaimana dengan rencana kamu dipindah tugas? Jadi?" Bu Resha menatap putranya.
"Insyaallah. Aku bisa berangkat setelah menikah nanti."
"Dan Alina?"
Brayn tersenyum. "Ikutlah. Masa pengantin baru ditinggal."
Semua orang berbahagia.
Dua hari setelahnya, rombongan keluarga Hadiwijaya mengulang lamaran.
Jika sebelumnya hanya Gilang dan Pak Vino, kali ini acara lamaran melibatkan keluarga inti.
Tidak ada kemewahan yang tampak di sana selain seserahan mahal yang memang sengaja dipersiapkan Bu Resha untuk sang calon menantu.
Kedua keluarga sepakat untuk menggelar pernikahan dua minggu setelahnya, mengingat Brayn harus berangkat keluar kota selama beberapa bulan.
Dan akhirnya, hari pernikahan itu tiba ....
Acara yang berlangsung sederhana itu hanya dihadiri oleh keluarga inti.
Suasana bahagia terlihat di sana. Bagas dan Maya menyambut kedatangan besannya dengan hangat.
Semua dipersiapkan dengan baik, meskipun berlangsung sederhana namun tidak mengurangi nilai sakral.
Brayn berdebar saat duduk di hadapan seorang wali nikah.
Bagas tidak dapat menikahkan putrinya, mengingat Alina yang bernasab pada ibunya karena mereka dulu baru menikah setelah Alina lahir.
Wajah lelaki itu tampak murung selama beberapa saat.
"Bro, jaga anakku baik-baik. Dia satu-satunya yang kumiliki," bisik Bagas.
"Insyallah. Minta doanya, Om Bro."
Bagas menepuk bahunya. Ada air mata yang tertahan di pelupuk mata. Namun, sebisa mungkin ia tahan. Setidaknya ini hari yang bahagia untuk semua orang.
Pandangan semua orang pun teralihkan saat Alina datang dari sebuah ruangan dengan diapit oleh Maya dan Rina.
Paras gadis itu tampak sangat cantik. Mengenakan gaun putih dan pasmina yang menutupi kepala.
Ia menunduk, sesekali menatap calon suami yang duduk diapit oleh Pak Vino dan Gilang.
Keheningan tercipta selama beberapa saat. Brayn menggenggam erat tangan lelaki yang duduk di hadapannya.
Tatapannya lurus dan tajam.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Alina Putri Khoirunnisa dengan mas kawin tersebut tunai karena Allah." Suara lantang Brayn menggema dengan lantang pagi itu.
Seruan sah terdengar memenuhi ruangan. Alina menjatuhkan air mata. Tangannya gemetar dan berkeringat.
Beruntung pagi ini wajahnya terpoles makeup, jika tidak wajah pucatnya pasti akan terlihat jelas.
Lantunan doa terdengar. Ia merasa semakin sesak menekan dada. Berusaha mempertahankan tubuhnya.
Ketika akan mencium tangan lelaki yang baru saja menjadi suaminya, ia tiba-tiba merasakan denyutan di kepala, sekeliling berputar dan segalanya terasa buram.
"Alina!" pekik Brayn menahan tubuh yang tiba-tiba ambruk.
Mendekap tubuh lemah itu, Brayn berusaha membangunkan dengan menepuk pipi pelan.
Melihat wajah pucat Alina tentu membuatnya khawatir. Namun, ia seorang dokter, tahu apa yang harus dilakukan jika menghadapi situasi seperti ini.
Terlebih para orang tua tampak panik dan khawatir.
Para keluarga dari masing-masing seketika berkerumun untuk melihat kondisi Alina dan apa yang menyebabkannya sampai pingsan.
"Bu, aku bawa ke kamar saja, ya?" Brayn menatap sang ibu mertua.
"Iya, Nak," sahut Maya mengangguk. "Ke kamar tamu saja dulu, soalnya kamar Alina di atas."
Sepasang tangan kokoh itu mengangkat sang pemilik tubuh lemah, tak ada kesulitan saat ia menggendong istrinya.
Tubuh tegapnya melangkah membelah kerumunan orang-orang menuju kamar tamu.
Ia membaringkan Alina ke tempat tidur, membenarkan bantal dan menyentuh kening.
Wajah Alina tampak pucat walaupun terpoles makeup. Kening dan telapak tangannya berkeringat.
Beberapa anggota keluarga pun ikut masuk dan memenuhi ruang kamar. Suara saling bertanya ada apa dengan Alina pun terdengar.
"Ada minyak angin tidak, Bu?" tanya Brayn.
"Ada, sebentar, Ibu carikan." Maya yang dipenuhi rasa khawatir itu bergegas keluar dari kamar, sebab sebelumnya tidak pernah ia mendapati putrinya pingsan.
Sementara Bagas tampak gelisah berdiri di sudut kamar sambil memandangi putrinya.
Brayn melirik semua orang yang ada di kamar itu. Banyaknya yang masuk membuat ruangan terasa sesak.
Di antara kerumunan orang itu ada Siska dan Bu Resha sedang membuka jendela kamar yang tertutup rapat dan menyibak tirai lebar-lebar.
"Maaf, yang lain boleh keluar dulu, biar ada udara yang masuk," pinta Brayn.
Perlahan para anggota keluarga yang sempat memenuhi kamar mulai bergantian keluar.
Tak lama berselang Siska kembali masuk dengan membawa tas kecil miliknya, berisi alat kesehatan standar yang selalu dibawa seorang dokter ke mana-mana.
Siska langsung memeriksa kondisi Alina. Brayn membiarkannya meskipun ia suami Alina.
Sang ibu mertua pun kembali masuk ke kamar setelah berkeliling di kamarnya mencari minyak angin.
Brayn langsung meraih botol kecil berwarna hijau tersebut.
"Biar aku saja, Bu." Ia mulai menyapukan cairan hangat itu ke telapak tangan, perut dan kaki. Lalu, ke lekukan leher dan pelipis.
Mengoles sedikit di ujung hidung juga. Kemudian kembali berpindah ke bawah, melakukan pijatan ringan pada tangan dan kaki.
Siska yang sedang memeriksa kondisi Alina itu melirik sejenak. Tatapannya sendu melihat betapa perhatian dan khawatir lelaki itu terhadap istrinya.
Bahkan Brayn sedang memangku kakinya dan memijat pelan. Tatapan penuh cinta terlihat dalam matanya.
"Sepertinya Alina hanya kelelahan, deh. Mungkin kurang istirahat dan kurang memperhatikan pola makannya," papar dokter wanita tersebut.
"Akhir-akhir ini Alina memang seperti itu. Kadang seharian lupa makan," sahut Maya memandang putrinya.
"Tidak apa-apa, Tante. Alina baik-baik saja, kok." Siska tersenyum sambil memasukkan kembali peralatan ke dalam tas.
"Terima kasih, Siska."
Tatapan Siska kembali tertuju pada kaki Alina yang sedang dipijat oleh suaminya, memandangnya sebentar, lalu tersadar.
Gadis berhijab itu langsung bangkit dari tempat tidur.
"Kalau begitu aku keluar dulu."
"Terima kasih, Sis." ucap Brayn tanpa melirik wanita itu karena fokus dengan Alina.
Sebelum benar-benar keluar kamar, Siska hanya menatap punggung tegap itu. Menghela napas dan menutup pintu.
**********
**********
up lagi thor