**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Nyanyian sumbang
Di rumah kecil yang semakin hari terasa menyempit oleh beban hidup, suara pertengkaran sudah seperti lagu sumbang yang berputar setiap hari, tanpa jeda, tanpa intro, tanpa akhir.
Dari balik dinding tipis kamarnya, Nadra mendengar dengan jelas suara ibunya yang mulai naik, bukan karena ingin berteriak, tapi karena sudah terlalu lama ditahan. Diikuti suara ayahnya yang lebih keras, lebih kasar. Kalimat-kalimat yang seharusnya tak diucapkan, tapi selalu keluar begitu saja.
"Sampai kapan kita begini, Pak?!" teriak sang ibu, suaranya parau dan nyaris pecah. "Semua perhiasan, semua tabungan, bahkan barang-barang penting di rumah ini sudah habis buat bayar utangmu! Kamu pikir kita ini bisa hidup dari angin?"
"Berhenti ceramah!" bentak sang ayah, suaranya memotong udara seperti pisau tumpul. "Kau pikir aku mau hidup begini?! Kalau aku menang jud*i kemarin, kita semua udah pindah ke rumah yang lebih layak!"
"Kalau?!" sang ibu membalas cepat. "Kata 'kalau' itu yang bikin kita nggak pernah maju! Judi itu menyesatkan, Pak! Semua orang tahu itu! Bahkan Tuhan pun melarang! Bapak sudah buta!"
Suara tamparan mendadak memecah udara. Lalu suara benda pecah. Setelah itu hening. Keheningan yang justru lebih memekkan daripada pertengkaran. Langkah kaki kasar terdengar menuju pintu. Pintu dibanting dengan tenaga penuh.
Nadra memejamkan mata sejenak. Menarik napas panjang yang terasa pendek. Ia bangkit pelan dari tempat tidur, lalu berjalan keluar. Di ruang tengah, ibunya duduk bersandar di dinding, tangan menutupi bagian wajah yang memerah. Di bawah matanya, tampak sembab dan sedikit membiru. Namun ia tak menangis. Matanya kosong, seperti telah habis air mata.
Nadra mendekat. Bibirnya mengatup erat, lalu mengumpat dalam hati. "Bangs*at!" ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.
Lalu ia berkata, kali ini pada ibunya. "Bu, kenapa sih nggak pisah aja dari Ayah? Sampai kapan mau bertahan kalau begini terus?"
Ibunya menoleh pelan. Tatapan matanya sayu, suaranya hampir seperti bisikan. "Karena kamu, Nak. Karena kamu masih butuh ayah. Setidaknya untuk mendampingimu kalau suatu hari kamu menikah nanti."
Nadra menunduk. Menarik napas cepat. Sakit itu terlalu dekat untuk dibiarkan lewat begitu saja.
"Aku ngak yakin akan menikah, Bu." ucapnya, suaranya tenang tapi tegas. "Aku takut kalau nanti aku dapat laki-laki kayak Ayah. Lebih baik aku urus Ibu aja. Nggak perlu pria dalam hidupku."
Ibunya tersenyum getir. Tangannya yang lemah mencoba meraih lengan Nadra. "Nak, tidak semua laki-laki seperti Ayahmu. Banyak yang baik. Banyak yang tahu cara memperlakukan perempuan dengan hormat. Dan, Ibu selalu berdoa, suatu hari nanti kamu bertemu salah satunya."
Nadra menggigit bibir bawahnya. Menahan sesuatu yang mulai naik di dadanya. Lalu ia duduk di samping ibunya, memeluknya pelan. Tubuh ibunya yang kecil dan lelah terasa seperti daun yang rapuh. Tapi pelukannya tetap hangat, pelukan seorang ibu yang tak pernah berhenti berdoa, meski dunia terus menamparnya.
Pelukan itu terlepas perlahan, seperti ranting yang tak ingin menjauh dari daun terakhirnya. Sang ibu menarik napas berulang kali, mencoba menenangkan debar yang masih tertinggal di dada. Meski wajahnya memar, dan tubuhnya nyaris tak bertenaga, senyum tetap ia pancarkan, senyum yang selalu dipaksakan agar putrinya tetap kuat.
"Sudah, Nak. Ibu harus lanjut kerja," katanya sambil berdiri perlahan. "Bu Haji Sumarni pasti udah nunggu. Banyak cucian di rumahnya, belum lagi bersih-bersih lantai marmernya."
Bu Haji Sumarni. Seorang wanita paruh baya, angkuh dalam cara bicara dan berdiri, namun di balik mulut pedasnya, ada kebaikan yang diam-diam tumbuh seperti benih tersembunyi. Dialah salah satu dari sedikit orang yang masih mempercayakan pekerjaan rumah pada ibunya.
Nadra menahan lengan ibunya pelan. "Bu, apa nggak sebaiknya Ibu istirahat dulu? Wajah Ibu, luka Ibu tuh belum kering," suaranya pelan, khawatir.
Ibunya menggeleng sambil mengancingkan jaket lesunya. "Ibu masih bisa bekerja, Nadra. Ibu mau lunasi hutang ayahmu ke Pak Broto. Dan, Ibu pengen beliin kamu sepeda listrik lagi. Biar kamu nggak capek jalan kaki ke kafe."
Nadra langsung menggeleng kuat. "Nggak usah, Bu. Aku bisa beli sendiri. Pelan-pelan dari gaji. Lagian jalan kaki tuh bagus buat olahraga. Katanya bisa bikin betis kayak tiang listrik."
Senyum kecil mengulas bibir Nadra, mencoba menghibur dengan gurauan. Ibunya menahan tawa sambil menatap putrinya. Ada sedikit cahaya di matanya, cahaya yang tak muncul dari lampu atau langit, tapi dari dalam hatinya yang masih mampu bahagia walau lelah dan luka bertumpuk.
"Betis kayak tiang listrik apaan," gumam ibunya geli.
"Serius, Bu. Nanti betisku jadi bahan konten viral. Judulnya, 'Betis Anti Capek, Rahasia Jalan Kaki Setiap Hari."
Mereka berdua tertawa pelan, tawa yang menggema di ruang sempit tapi cukup untuk mengisi lubang besar yang diciptakan oleh kekerasan dan kesedihan. Dalam gurauan itu, ada kekuatan. Dalam senyum itu, ada cinta yang tak tergantikan.
Ibunya lalu merapikan rambutnya, menepuk pipi Nadra dengan sayang. "Di meja dapur, Ibu udah siapkan makan siang. Jangan lupa dimakan sebelum berangkat kerja, ya."
Nadra mengangguk, matanya hangat. "Siap, Bu. Hati-hati di jalan, ya. Jangan angkat yang berat-berat dulu."
Ibunya mengangguk, lalu berbalik. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, Nadra menarik tangannya dan memberikan kecupan ringan di pipi, sebuah tanda kasih yang jarang ia berikan, tapi hari itu terasa perlu.
"Semangat, Ibu," bisik Nadra, seolah meniupkan kekuatan yang ia kumpulkan dari dalam dirinya sendiri.
Sang ibu tersenyum, lalu melangkah pergi. Tubuhnya mungkin melemah, tapi hatinya kuat. Karena ia tahu selama ada Nadra, ia tak boleh tumbang.
Nadra masih berdiri di depan pintu rumah. Mata hitamnya mengikuti langkah ibunya yang mulai menjauh, melintasi gang kecil, membawa tubuh lelahnya menuju rumah Bu Haji Sumarni. Sinar mentari pagi mulai meninggi. Nadra menatap punggung itu dengan getir. Setiap hari punggung yang sama, berjalan pergi untuk mempertahankan sisa kehidupan. Saat Nadra hendak berbalik masuk, suara berat dan bau asap rokok tiba-tiba menyusul dari belakang.
"Nadra!" panggil ayahnya, dengan nada tak ramah, bahkan cenderung menyuruh.
Langkah Nadra terhenti. Ayahnya, muncul dari arah jalan, masih dengan wajah kusut dan pakaian kumal. Tak ada sapaan hangat, tak ada tanya kabar.
"Kau punya uang nggak?" tanyanya to the point, sambil menggaruk kepalanya sendiri. "Kalau ada, kasih ke Ayah. Nanti kalau menang, Ayah ganti dua kali lipat."
Nadra tidak menjawab. Wajahnya dingin. Tanpa kata, ia melangkah masuk, menahan diri agar tidak pecah di depan orang yang seharusnya melindunginya. Namun baru beberapa langkah, sebuah dorongan ringan mendorong kepalanya dari belakang.
"Dasar anak nggak tahu diri. Dibesarkan susah payah, tapi pelit sama orang tua."
Diam. Nadra tetap diam. Tapi diamnya bukan lagi tunduk. Diamnya adalah bara yang disimpan dalam dada. Ia melanjutkan langkah, tapi suara ayahnya kembali menggelegar.
"Nadra!"
Kali ini, langkahnya berhenti. Perlahan ia berbalik, menatap pria itu, bukan sebagai ayah, tapi sebagai penyebab luka dalam hidupnya. Matanya memerah, bukan karena tangis, tapi karena amarah yang selama ini ia kubur di balik senyum pura-pura.
"Ayah gagal," ucapnya datar, namun menusuk. "Gagal jadi kepala rumah tangga. Gagal jadi suami. Gagal jadi ayah. Gagal, bahkan menghargai hidup sendiri."
Kalimat itu meledak seperti petir di ruang sempit itu. Seketika, wajah pria itu berubah. Mata yang sudah dipenuhi amarah kini terbakar seperti bara api. Tanpa peringatan, tangan kasarnya mencengkeram leher Nadra.
"Kau, anak durhaka! Kau pikir kau siapa, hah?!" suaranya keras, gemetar oleh kemarahan buta.
Nadra mencoba bicara, tapi napasnya terputus-putus. Lidahnya terasa berat, udara seperti lenyap dari paru-parunya. Tangannya mencoba menepis, tapi tak sebanding dengan kekuatan penuh amarah itu.
Matanya mulai berkunang-kunang. Dalam detik-detik yang terasa abadi itu, Nadra merasa kecil, sangat kecil, seperti hanya sekedar debu di rumah yang tak pernah jadi rumah.
Akhirnya, ayahnya melepaskan cengkeraman itu dengan dorongan keras ke arah dinding. Tubuh Nadra terhempas, dahinya membentur keras tembok kusam. Suara benturannya nyaring, meninggalkan sakit yang merambat lambat. Nadra terjatuh, terbungkuk di lantai. Napasnya tersengal, namun masih berusaha mengatur irama, seperti bertahan di batas akhir kehidupan.
Ayahnya tidak menengok. Ia keluar begitu saja. Pintu kembali dibanting. Rumah sunyi. Tapi bukan sunyi yang damai. Ini sunyi yang mengerikan, sunyi yang mengandung trauma.
...Bersambung........
...Terima kasih sudah mendukung....
...Terima kasih atas vote, iklan, dan beberapa hadiah lainnya....