Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Aura dingin yang dulu selalu melekat padanya kini tidak lagi terasa menekan. Tatapan matanya masih tajam, tetapi tidak lagi terlihat arogan. Ada ketenangan yang menyelip di sana. Seolah Farhan tidak lagi berdiri di hadapan dunia dengan tembok tinggi, melainkan dengan kesadaran penuh akan dirinya sendiri.
Beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan dengannya spontan menghentikan langkah mereka.
“Selamat pagi, Pak Farhan,” sapa salah satu staf dengan suara hati-hati, seperti biasanya.
Farhan berhenti sejenak.
Gerakan kecil itu saja sudah cukup membuat orang-orang di sekitarnya tertegun. Biasanya, Farhan hanya akan mengangguk singkat, bahkan sering kali hanya melewati mereka tanpa ekspresi. Tapi pagi ini, ia menoleh.
“Pagi,” jawabnya singkat dengan suaranya yang tenang.
Karyawan itu tampak sedikit terkejut. Ia membalas anggukan Farhan dengan senyum kikuk, lalu melangkah pergi sambil melirik rekan di sampingnya. Farhan kembali melangkah masuk ke dalam gedung. Beberapa meter kemudian, ia kembali berpapasan dengan dua karyawan lain dari divisi keuangan.
“Selamat pagi, Pak,” ucap mereka hampir bersamaan yang membuat Farhan mengangguk, lalu berkata,
“Selamat pagi.”
Kali ini, ia bahkan menyelipkan senyum tipis.
Dan itu cukup membuat kedua karyawan tersebut saling bertukar pandang dengan mata membelalak.
“Apa barusan pak Farhan senyum sama kita?” bisik salah satu dari mereka setelah Farhan berlalu.
“Lo juga lihat, kan?” sahut yang lain dengan suara nyaris tak percaya.
Farhan tidak mendengar percakapan itu. Atau mungkin mendengarnya, tapi memilih tidak peduli. Langkahnya tetap mantap menuju lift khusus CEO. Pintu lift menutup perlahan, membawa Farhan naik ke lantai tertinggi gedung itu.
Di dalam lift yang sunyi, Farhan berdiri sendiri. Ia menatap pantulan dirinya di dinding lift yang mengilap. Wajah yang sama. Postur yang sama. Tapi ia tahu, ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai berubah. Ia menghela napas pelan, lalu menutup matanya sejenak.
Entah sejak kapan, pagi ini terasa lebih ringan.
Pintu lift terbuka.
Farhan melangkah keluar dan langsung menuju ruang kerjanya. Ruangan itu luas, didominasi warna gelap dan jendela kaca besar yang menghadap ke kota. Meja kerjanya terlihat rapi seperti biasa, tidak pernah ada yang berubah di sana. Begitu pintu ruangannya tertutup, Farhan meletakkan tas kerjanya di sisi meja, lalu melonggarkan sedikit dasinya. Ia menekan tombol interkom di mejanya.
“Raka,” panggilnya.
Tak lama kemudian, suara dari seberang terdengar.
“Iya, Pak.”
“Tolong ke ruang saya sekarang.”
“Baik, Pak.”
Farhan duduk di kursi kerjanya dan menyandarkan punggungnya dengan santai. Matanya menatap keluar jendela, menyapu gedung-gedung tinggi yang berdiri angkuh. Dulu, pemandangan itu selalu membuatnya merasa berkuasa. Sekarang, semua itu terasa berbeda. Ia hanya melihatnya sebagai bagian dari hidupnya. Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di luar pintu.
“Masuk,” ucap Farhan.
Raka masuk dengan iPad di tangannya. Asisten pribadinya itu masih terlihat sama, rapi, profesional, dan selalu sigap. Namun sejak pagi tadi, ia juga menyadari ada sesuatu yang berbeda dari atasannya.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Raka dengan sopan.
“Pagi,” balas Farhan. “Duduklah.”
Raka duduk di kursi di seberang meja, sembari membuka Ipad-nya.
“Agenda hari ini, Pak,” ucapnya mulai membacakan dengan suara formal. “Pukul sembilan ada rapat dengan divisi operasional untuk membahas laporan kuartal. Pukul sebelas, conference call dengan cabang Singapura. Siang, makan siang kerja dengan jajaran direksi anak perusahaan. Lalu sore hari, review proposal investasi dari mitra Jepang.”
Farhan mendengarkan dengan seksama sembari sesekali mengangguk.
“Saat di meeting internal nanti, pastikan semua kepala divisi hadir,” kata Farhan. “Aku ingin laporan yang lengkap. Kalau ada masalah, jangan ditutup-tutupi.”
Raka sedikit terkejut dengan kalimat itu, tapi segera mengangguk.
“Baik, Pak.”
Farhan menyilangkan jari-jarinya di atas meja.
“Ada lagi?”
Raka terdiam sejenak. Gerakan kecil itu tidak luput dari perhatian Farhan.
“Ada apa?” tanya Farhan yang membuat Raka menelan ludah kecil. Tatapannya turun ke iPad di tangannya, lalu naik kembali menatap Farhan. Ekspresinya terlihat sedikit canggung, sesuatu yang jarang terjadi.
“Sebenarnya… ada satu agenda tambahan, Pak,” ucap Raka dengan hati-hati, membuat Farhan menunggu dan tidak memotong perkataannya.
“Pagi ini, sekitar pukul sepuluh, kita kedatangan utusan dari Dubai, pak.” lanjut Raka. “Mereka ingin membahas rencana kerja sama di bidang properti internasional.”
Farhan mengangguk pelan.
“Kenapa tidak langsung kamu sampaikan dari tadi?” tanya Farhan yang membuat Raka terdiam lebih lama kali ini.
“Karena…,” ia menghela napas pendek, “perwakilan yang datang adalah seorang perempuan, Pak.”
Ruangan itu mendadak sunyi.
Farhan tidak langsung bereaksi. Wajahnya tetap datar, tapi matanya bergerak perlahan, menatap lurus ke depan. Ingatan lama seolah menyusup tanpa diundang. Tentang masa lalu yang membuatnya membangun tembok tinggi terhadap dunia, terutama terhadap perempuan. Raka melanjutkan dengan suara lebih pelan,
“Saya tahu selama ini Bapak selalu menolak bertemu dengan klien perempuan secara langsung. Jadi, saya ragu apakah agenda ini tetap ingin Pak Farhan jalankan atau tidak.”
Beberapa detik berlalu tanpa suara, Farhan menghela napas perlahan.
“Aku tahu,” katanya akhirnya. Suaranya tenang, tidak keras, tidak pula dingin. “Kamu hanya menjalankan tugasmu.”
Ia menoleh ke arah Raka. Tatapannya terlihat tajam, tapi tidak mengintimidasi.
“Siapa namanya?” tanya Farhan yang membuat Raka sedikit terkejut.
“Namanya Nadine Al-Farisi, Pak. Perwakilan utama dari Al-Farisi Group.” ucap Raka yang membuat Farhan mengangguk kecil.
“Baik.”
Raka menunggu perintah dari Farhan dengan sedikit tegang.
“Jadwalkan pertemuannya,” kata Farhan akhirnya. “Aku akan menemuinya.”
Mata Raka melebar tanpa bisa ia sembunyikan.
"Tapi pak?” Ia ragu-ragu. “Apakah pak Farhan yakin?”
Farhan tersenyum tipis. Senyum yang tidak pernah Raka lihat sebelumnya, senyum seseorang yang sedang mencoba berdamai dengan dirinya sendiri.
“Raka,” ucap Farhan pelan, “aku tidak bisa terus hidup dengan membenci sesuatu hanya karena masa lalu.”
Kalimat itu membuat Raka terdiam.
“Kerja sama ini penting untuk perusahaan,” lanjut Farhan. “Dan aku tidak akan mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Kalau aku ingin berubah, aku harus mulai dari sini juga.”
Raka mengangguk perlahan.
“Baik, Pak. Saya akan atur pertemuannya.”
Setelah Raka keluar dari ruangan, Farhan kembali bersandar di kursinya. Ia menatap langit di luar jendela ruangannya yang terlihat biru dan terang. Di benaknya, wajah Kinara terlintas, senyum lembutnya, tatapannya yang penuh doa, cara sederhana perempuan itu yang mengantarnya di teras rumah pagi tadi. Membuat Farhan tersenyum kecil. Perubahan ini tidak mudah. Tapi untuk pertama kalinya, Farhan merasa ia tidak takut menghadapinya.
Farhan yakin, dirinya bisa berubah jika ia mau berusaha, apalagi setelah ia mendapat dukungan penuh dari istrinya Kinara yang selalu setia dan sabar membimbingnya menuju perubahan itu.
Setiap hari adalah kesempatan baru untuk menjadi lebih baik.
Jangan ragu untuk mencoba karena yang belum dicoba belum tentu mustahil.
Jika kamu bisa membayangkannya, kamu bisa mewujudkannya.
Jangan biarkan masa lalu menahan langkahmu, fokuslah pada hari ini dan esok...👌👍😊
Dia yang tulus mencintai kamu sia-siakan dan tak kamu anggap.
Kelak orang yang kamu cintai sudah pergi dan tak peduli lagi maka saat itulah kamu akan menyesal.
Kau bukan hanya menyesal tetapi kau akan merindukan dia yang selalu ada untukmu dan memberikan perhatian kepadamu...😰🤧
hanya karena perbedaan-perbedaan semata..😤
Karena bisa jadi orang yang kamu hina dan remehkan kondisinya lebih baik dan mulia di mata Allah Swt.
dari pertama, aku selalu penasaran apa alasan yang membuat Adilla tega ninggalin Farhan.