NovelToon NovelToon
Bunga Plum Diatas Luka

Bunga Plum Diatas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Balas Dendam / Action / Romantis / Obsesi
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: NurfadilaRiska

Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.

Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.

Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.

Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehangatan yang Tak Seharusnya Ada

Hari itu, Kamp Militer Junwei Jun tidak disibukkan lagi oleh suara denting senjata beradu. Tidak pula langkah-langkah berat latihan.

Untuk kedua kalinya setelah sekian Jingnan kembali ke pegunungan Longfeng, udara pegunungan Longfeng dipenuhi aroma masakan, asap tipis yang mengepul dari dapur besar dikamp itu, serta tawa yang jarang terdengar di tempat sekeras ini.

Sejak matahari condong ke barat, para prajurit telah bergantian memasak, mempersiapkan hidangan untuk pesta malam nanti—sebuah perayaan kecil untuk kedatangan tamu, kehidupan baru yang akan lahir, dan kehangatan yang jarang mereka rasakan.

Di dapur kamp, Jingyan dan Mei Yin sibuk membantu para prajurit yang bergantian memasak. Lengan mereka bergerak lincah—Jingyan dengan gerakan tenang dan teratur, sementara Mei Yin dengan semangat yang kadang berlebihan.

“Wah, Putri Jingyan,” ujar seorang prajurit sambil menghirup udara dalam-dalam, “aroma masakan Putri benar-benar harum.”

Mei Yin yang sejak tadi berjongkok di samping Jingyan langsung berdiri dengan mata menyipit kesal.

“Hei! Aku juga memasak bersama Yanyan jiejie!” protesnya. “Kenapa kamu tidak memuji aku juga?!”

Prajurit itu tersentak. “Ma—maaf, Putri Mei Yin!”

“Tadi aku tidak melihat Putri Mei Yin,” katanya gugup

Mei Yin mengangkat dagunya bangga. “Nah, sekarang lihat, kan?”

“I—iya, Putri. Masakan Putri Mei Yin dan Putri Jingyan… sangat harum, rasanya pasti akan sangat enak.”

Para prajurit lain tertawa kecil

“Tentu saja,” sahut prajurit lain sambil terkekeh, “bahkan mungkin mengalahkan masakan Qingshan.”

Nama itu langsung membuat seseorang menoleh tajam.

Qingshan, yang selama ini dikenal sebagai juru masak terbaik Junwei Jun—bahkan Jingnan selalu memasukkan masakannya ke daftar makanan favoritnya.

Qingshan menatap prajurit itu dengan mata menyipit.

“Awas saja,” katanya dingin, “kalau Putri Jingyan dan Putri Mei Yin kembali ke istana nanti.”

“E-eh… hehehe,” prajurit itu hanya bisa tertawa canggung.

......................

Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk kamp militer Junwei Jun, hutan Pegunungan Longfeng terbentang luas dengan pepohonan tinggi yang rapat. Kabut tipis masih menggantung di antara batang-batang pinus, sementara sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan panjang di tanah yang lembap.

Jingnan, Weifeng, Wei Yu, Ling An, serta beberapa prajurit terpilih sedang melakukan perburuan. Jarak mereka dari kamp cukup jauh—wilayah yang jarang dijamah, tempat binatang liar masih berkeliaran bebas. Ling An terpaksa ikut, bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena perintah langsung dari Jingnan. Ia masih mengingat jelas bagaimana Jingnan menguji keterampilan pedangnya malam itu; gerakan Ling An terlalu rapi untuk sekadar tabib biasa. Jingnan merasa, jika ia mampu menggunakan pedang dengan baik, maka busur dan anak panah seharusnya bukan masalah.

Di tengah langkah mereka yang teratur, Wei Yu menghentikan rombongan dan menatap dua arah berbeda didepannya.

“Jingnan,” ucapnya dengan suara tenang namun tegas, “kau, Tabib Ling An, dan beberapa prajurit ambil arah selatan.”

Ia lalu menoleh ke arah putranya.

“Weifeng, kau dan beberapa prajurit lainnya ikut denganku ke barat.”

Weifeng mengerutkan kening. “Mengapa kita tidak satu arah saja, Ayah?”

“Iya, Paman,” Jingnan menimpali, melirik sejenak ke arah Ling An. “Lebih aman jika bersama.”

Wei Yu tersenyum tipis. “Berburu bukan hanya soal hasil, tapi juga latihan. Kalian perlu belajar mengambil keputusan sendiri.”

Lalu tatapannya beralih pada Ling An.

“Tabib Ling An?”

Ling An menunduk sopan. “Saya ikut saja keputusan jenderal.”

“Baiklah,” Wei Yu mengangguk pelan.

Mereka pun berpisah, menyusuri jalur masing-masing. Tak lama setelah berjalan ke arah selatan, suara kepakan dan decitan terdengar di balik semak. Sekumpulan ayam hutan liar tampak sedang mematuki tanah, sama sekali tak menyadari kehadiran mereka.

Jingnan langsung menarik busurnya. Gerakannya cepat, mantap, tanpa ragu.

Sret!

Anak panah melesat dan—dalam satu tarikan—tiga ekor ayam langsung tumbang. Ayam-ayam lain berhamburan panik ke segala arah.

Tanpa membuang waktu, Ling An ikut membidik. Tangannya stabil, napasnya teratur.

Sret!

Satu ekor ayam jatuh tak jauh dari Jingnan. Weifeng, Wei Yu, dan para prajurit yang berada tak jauh juga segera ikut membidik, suara anak panah bersahut-sahutan di antara pepohonan.

Jingnan segera turun dari kudanya dan mulai mengumpulkan hasil buruan. Ling An ikut turun, membantu tanpa banyak bicara.

“Kau cukup hebat juga berburu,” ucap Jingnan sambil mengambil satu ekor ayam.

“Hanya beruntung saja, Putri,” jawab Ling An ringan.

“Benarkah hanya beruntung?” Jingnan menoleh, tatapannya menyelidik.

“Benar,” Ling An tersenyum tipis.

Jingnan hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia sama sekali tidak percaya. Gerakan Ling An terlalu tenang, dan terlalu terlatih.

“Bawa ini semua,” perintah Jingnan pada para prajurit.

“Baik, Jenderal.”

Setelah semuanya siap, Jingnan kembali menaiki kudanya. Ling An mengikutinya. Namun baru beberapa langkah hendak menyusul Wei Yu dan Weifeng, mata Jingnan tertangkap pada sosok rusa yang sedang melintas di antara pepohonan—ramping, gesit, dan waspada.

Tanpa aba-aba, Jingnan memutar arah kudanya dan langsung mengejar.

Ling An terkejut sesaat, lalu segera ikut memutar kudanya. Kini hanya mereka berdua, berpacu mengikuti rusa yang berlari semakin cepat.

Berkali-kali mereka membidik, namun rusa itu selalu lolos di detik terakhir. Nafas kuda memburu, derap langkah menggema di hutan. Angin menerpa wajah Ling An, dan entah mengapa, untuk sesaat, ia merasa… bebas. Seolah ia bukan lagi seseorang dengan nama samaran, bukan pembawa dendam—hanya dirinya sendiri.

“Ayo, Ling An!” teriak Jingnan tanpa menoleh. “Jangan biarkan rusa itu lolos!”

Jingnan membidik lagi, namun kecepatan kudanya membuat keseimbangannya goyah. Tangannya bergetar. Anak panah terlepas dari genggaman dan jatuh. Dalam sekejap, tubuhnya terhuyung dan jatuh ke samping.

“Jenderal Jingnan—!”

Ling An membuang panahnya, meloncat dari kudanya, dan dengan gerakan cepat langsung memeluk tubuh Jingnan dengan erat. Keduanya terhempas ke tanah, terguling cukup jauh sebelum akhirnya berhenti.

Hening.

Mereka saling bertatapan. Dan jarak begitu dekat hingga napas mereka saling bersentuhan. Detak jantung mereka terdengar jelas—terlalu jelas. Hangat… terlalu hangat.

Namun kehangatan ini tidak boleh bertahan.

Ling An lebih dulu memalingkan wajah, begitu pula dengan Jingnan

“Ling An,” Jingnan segera mengubah posisi, dan duduk di sampingnya Ling an.

“Jenderal Jingnan, kau tidak apa-apa?” Ling An menyentuh keningnya sendiri yang sedikit berdarah, lalu menoleh cemas.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Jingnan cepat. Namun tatapannya tertuju pada luka Ling An. Ia mendekat, memeriksa dengan saksama.

“Tapi kau—”

“Ini hanya luka kecil,” potong Ling An pelan.

“Tunggu di sini,” Jingnan dengan cepat langsung berdiri.

“Jangan pergi, Jenderal,” Ling An menahannya. “Ini benar-benar tidak apa-apa.”

“Kalau tidak segera diobati, aku takut akan semakin parah,” ucap Jingnan, lalu pergi tanpa menunggu jawaban.

Ling An terdiam sesaat.

Kata-kata itu terngiang di kepalanya.

'Kalau tidak segera diobati, aku takut akan semakin parah.'

Ia mengepalkan tangannya perlahan. Luka ini… seperti dendam yang ia bawa. Jika dibiarkan, ia akan membusuk. Jika disembuhkan… segalanya bisa berubah.

Dan itu, adalah sesuatu yang paling ia takuti.

1
Annida Annida
lanjut tor
Arix Zhufa
mampir thor
᥍hυׄnxıׂׅ' ᥍ ᵍᶠ › 🎀: Hi kak, makasii udah mampir💙💙💙
total 1 replies
Adis Suciawati
bagus kak
Adis Suciawati
beberapa lagi kakak kontrak nih kak
᥍hυׄnxıׂׅ' ᥍ ᵍᶠ › 🎀: iya kak💙
total 1 replies
Adis Suciawati
lala lama cinta akan datang sendiri nya
Adis Suciawati: ceritanya siga warga China ya kak
total 2 replies
Adis Suciawati
ini kasih nya seperti nama nama orang China ya ka
᥍hυׄnxıׂׅ' ᥍ ᵍᶠ › 🎀: betul kak, ceritanya juga memang china kak💙💙
total 1 replies
Adis Suciawati
bagus kak,kisah nya unik kak
Adis Suciawati: iya kak semoga kisah kita banyak peminat nya ya kak
total 2 replies
Mizuki : Bahriru Suraiya
Bagus kak mulai ada perkembangan 👍
semangat teruslah aku dukung🔥❤️
᥍hυׄnxıׂׅ' ᥍ ᵍᶠ › 🎀: Makasiii" 💙💙💙
total 1 replies
Mizuki : Bahriru Suraiya
mantap lah lanjutkan 💪, semangat terus author.
᥍hυׄnxıׂׅ' ᥍ ᵍᶠ › 🎀: Makasii yap💙💙
total 1 replies
Mizuki : Bahriru Suraiya
aku ngebayangin si Mei Yin🤣
᥍hυׄnxıׂׅ' ᥍ ᵍᶠ › 🎀: Mei Yin cantik" kelakuannya buat geleng-geleng😅
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!