Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Beberapa hari kemudian.
Storm yang kondisinya mulai membaik berjalan menyusuri lorong penjara bawah tanah. Udara lembap dan bau besi memenuhi ruangan itu. Setiap langkahnya bergema, menandakan betapa sunyinya tempat itu.
Di ujung ruangan, Mimi terlihat terikat pada balok kayu dalam posisi berdiri. Tangannya diangkat ke atas, kulitnya penuh luka cambukan yang sudah mengering namun masih memerah. Tatapannya tetap tajam—penuh kebencian.
Begitu melihat Storm, Mimi mencibir.
"Ah Zhu, kalau berani… bunuh saja aku," katanya dengan nada ketus, seolah tidak merasakan sakit sedikit pun.
Storm mendekat dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya dingin.
"Membunuhmu terlalu mudah bagimu," ujar Storm tenang tapi menusuk. "Aku tidak menyangka anak yang diadopsi oleh orang tuaku ternyata pengkhianat. Bahkan seekor kucing dan anjing masih jauh lebih baik darimu."
Mimi mengeluarkan tawa pendek yang sumbang.
"Kau hanya beruntung karena tidak mati."
Storm memejamkan mata sejenak, menahan emosi. Lalu ia menatap Mimi lagi—kali ini tajam, penuh luka lama yang menganga.
"Sejak kecil kau iri padaku. Aku tidak pernah menyentuhmu sedikit pun, tapi kau selalu menginginkan apa pun yang aku suka. Aku selalu mengalah… selalu mencoba memahami. Tapi kau justru semakin berani, bahkan melewati batas hingga mencoba membunuhku."
Storm maju satu langkah, suaranya bergetar oleh amarah yang ditahan.
"Kau jangan lupa. Sejak kecil sampai dewasa, semua yang kau makan, yang kau pakai, setiap satu pun barang yang kau punya, semuanya berasal dari keluarga Shu. Dan apa yang sudah kau berikan sebagai balasannya? Tidak ada. Kami seperti memelihara seekor serigala tanpa hati."
Wajah Mimi berubah masam, namun ia tetap berusaha angkuh.
"Benar! Aku iri padamu!" serunya. "Kenapa aku tidak dilahirkan di keluarga kaya? Semua orang menyukaimu! Banyak tuan muda ingin menikahimu! Kau lulus menjadi dokter, lalu mendekati Jenderal! Semuanya yang aku inginkan ada padamu, dan aku tidak punya apa-apa! Kenapa?! Padahal aku lebih cantik darimu!"
Storm tersenyum tipis—senyum penuh kegetiran.
"Tuhan tidak akan menolong orang yang berhati iblis," jawabnya dingin. "Sejak kecil kau sudah terbiasa merebut milik orang lain. Sifat itu tidak pernah hilang hingga sekarang."
Ia menunduk sedikit, suaranya melembut namun pahit.
"Apakah kau pernah bertanya pada dirimu sendiri… apa yang sudah kau lakukan demi papa dan mama? Mereka mencintaimu dengan tulus. Mereka memberimu rumah, kasih sayang, pendidikan… hidup yang pantas. Tapi kau tetap tidak puas.
"Kalau tahu begini… sejak dulu seharusnya kami biarkan saja kau hidup di jalanan."
"Lagi pula aku tidak bisa kabur. Bunuh saja," kata Mimi, suaranya ketus namun terdengar kelelahan.
Storm mendekat satu langkah, menatapnya dari atas.
"Aku menjadi dokter untuk menyelamatkan orang, bukan membunuh. Aku tidak sehebatmu dalam hal kekejaman."
Storm tersenyum miring, sinis.
"Tapi asal kau tahu… kalau ini terjadi di tahun 2025, kau pasti sudah kusiksa sampai kau berlutut meminta mati."
Mimi mengernyit tajam.
"Apa yang kau bicarakan?"
"Kau tidak akan paham," jawab Storm datar. "Negara ini punya undang-undang. Aku akan menyerahkanmu kepada Jenderal untuk menjatuhkan hukuman atas perbuatanmu."
Di luar ruangan, Lucien dan Max berdiri diam. Sejak beberapa menit lalu, mereka mendengarkan seluruh percakapan itu melalui celah pintu. Lucien merasa aneh dengan ucapan Storm yang menyebut tahun 2025.
Di dalam, Mimi tertawa sinis.
"Dasar penggoda. Kau hanya pura-pura baik di depan semua orang."
Storm menegang, namun ia tersenyum pahit.
"Aku dulu memang bodoh," katanya perlahan. "Setelah kembali hidup di penjara… aku mulai berubah. Dan aku ingin membalas orang yang membuatku sengsara."
Ia menatap Mimi dari atas ke bawah, tatapannya bagai belati.
"Tapi sebelum aku sempat membalasmu… kau sudah lebih dulu diusir dari keluarga, dan sekarang kau ada di tanganku."
Storm mendekat hingga wajah mereka hanya terpisah satu jengkal. Suaranya rendah namun tajam.
"Aku bisa saja membunuhmu dengan racunku. Bahkan tanpa menyentuhmu. Tapi aku tidak ingin mengotori tanganku."
Ia berbalik perlahan, meninggalkan Mimi yang terengah-engah menahan amarah dan rasa malu.
"Manusia sepertimu tidak layak mati di tanganku," ucap Storm tanpa menoleh.
"Nikmati saja hidupmu di dalam penjara… sampai kau membusuk."
Saat Storm melangkah keluar dari ruang penjara, pintu besi berderit keras. Begitu ia mengangkat wajah, tubuhnya langsung menegang—Lucien dan Max sudah di depan pintu, seolah sejak lama menunggu.
"Jenderal!" seru Storm terkejut, jantungnya hampir meloncat keluar.
Lucien menatapnya lama. Tatapannya bukan marah, bukan pula curiga… tapi dalam dan menusuk, seolah mencoba membaca isi kepala Storm hingga ke dasar.
"Apa maksudnya… tahun 2025?" tanya Lucien perlahan.
Nadanya tenang, tapi atmosfer langsung berubah tegang. Max melirik Storm, wajahnya bingung—ia juga mendengar kata itu.
"Jenderal… aku—" Storm menunduk, jemarinya gemetar.
Lucien mendekat selangkah, kursi rodanya bergeser halus.
"Ah Zhu," ujarnya lembut tapi tegas, "kau menyebut tahun yang belum terjadi. Dan itu bukan pertama kalinya."
Storm menelan ludah, tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya.
"Apakah kau… menyembunyikan sesuatu?" tanya Lucien lagi. Mata hitamnya menatap lurus, tak memberi ruang untuk berbohong.
Storm memejamkan mata sejenak.
"Apa yang harus aku lakukan? Kalau aku jujur… apakah mereka akan percaya? Atau justru aku dianggap gila?"
kasian juga q am ortux tp klo.yg begitu tiba2 ngilang, pasti sepi n sedih