---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 -HARI H PERNIKAHAN RAKA DAN RIANTY
Pagi itu, suasana di hotel mewah tempat acara berlangsung sudah sibuk sejak subuh. Petugas hilir-mudik membawa peralatan, sound system, dan dekorasi tambahan. Di ballroom besar, meja akad sudah tertata rapi. Bunga putih dan melati menghiasi panggung dengan latar tulisan nama Raka dan Rianty di tengah, sederhana tapi berkelas.
Di salah satu kamar hotel, Raka duduk diam di depan cermin. Jas hitamnya sudah terpasang, dasinya rapi, tapi wajahnya pucat. Ibu Ratna berdiri di belakangnya, sibuk menyiapkan pin bunga di dada jas.
“Raka, jangan tegang begitu. Semua sudah diatur,” katanya lembut.
Raka hanya mengangguk. “Iya, Bu.”
Suaranya nyaris tak terdengar.
Di kamar lain, Widuri sedang menyiapkan Arkana. Anak itu berlarian kecil sambil memegang mainan dinosaurusnya.
“Ma, baju aku kayak pangeran ya?” katanya polos.
Widuri tersenyum, merapikan kerah kemeja kecil anaknya. “Iya, sayang. Kamu ganteng banget hari ini.”
Widuri mengenakan gamis cokelat susu yang berenda simple dan jilbab senada. Wajahnya tenang, meski matanya terlihat lelah. Di sampingnya ada Siska, adik Raka, yang menyiapkan Naura dan Rasya—anak nya
Saat semua siap, rombongan keluarga menuju ballroom. Tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh panitia. Tuan Bramasta dan Nyonya Cassandra sudah berdiri di depan pintu masuk, menyapa setiap tamu dengan senyum formal.
Di barisan depan, duduk juga Tuan Darvisan, atasan Raka yang sekaligus sahabat lama Bramasta. Ia tampak tenang, sesekali mengamati suasana.
Ketika penghulu datang, suasana langsung berubah hening. Semua mata tertuju ke arah Raka dan Rianty yang duduk di pelaminan akad.
Rianty tampil anggun dengan gaun modern warna putih tulang, tidak berhijab tapi sopan, lengan panjang, dan tertutup. Tatapannya sesekali menunduk ke arah Raka.
Penghulu membuka acara dengan doa, lalu dimulailah proses akad nikah.
Raka menatap buku nikah di depannya, tangannya sedikit bergetar. Ia mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap tapi mata berkaca.
“Saya terima nikahnya Rianty Bramasta binti Bramasta dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
Suasana hening.
“SAH,” ucap para saksi serempak.
Tamu-tamu bertepuk tangan pelan. Senyum mengembang di wajah banyak orang. Tapi di antara mereka, Widuri hanya menunduk. Di pangkuannya, Arkana duduk manis memegang mainan.
“Ma, ini acara apa?” tanya anak kecil itu polos.
Widuri menelan ludah, mencoba menjawab tenang. “Ini acara papa dan bunda, sayang.”
Arkana mengangguk kecil, lalu kembali sibuk dengan mainannya.
Setelah akad, suasana berganti jadi lebih ramai. Tim wedding organizer mulai menyiapkan resepsi. Musik lembut terdengar, para tamu mulai makan di meja prasmanan.
Raka berdiri di samping Rianty, tersenyum di depan tamu. Tapi di balik senyum itu, dadanya terasa sesak. Ia melirik sekilas ke arah sudut ruangan, di mana Widuri duduk bersama Arkana. Mata mereka sempat bertemu. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat Raka menunduk cepat. Rasa bersalah itu muncul lagi.
Satu per satu tamu datang memberi selamat. Tuan Darvisan ikut maju, menyalami Raka dan Rianty.
“Selamat ya, Rianty. Akhirnya jadi juga.”
Ia menatap Rianty, lalu menambahkan pelan, “Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu kejar selama ini. Semoga kamu bisa jaga perasaan orang-orang di sekitarmu.”
Rianty hanya tersenyum kaku.
“Terima kasih, Pak,” jawabnya singkat.
Tuan darvisan kemudian bertanya dimana widuri dan arkana?"raka menunjuk ke arah mereka."ah saya tadi tidak melihat " jawab tuan darvisan
"Baik lah saya mau kesana untuk memberikan ini pada arkana langgeng ya kalian"
setelah tuan darvisan, datang lah dika ia menoleh pada rianty dan berbicara "kamu sudah mendapat kan apa yang kamu mau walaupun tidak sesempurna widuri kan" ia mengangkat alis nya seaakan membaca kegelisan yang tersirat di wajah rianty
Rianty tersenyum tipis menahan perasaan campur aduk pikiran nya sesaat kembali pada syarat syarat yang raka berikan waktu itu ,pada keputusan yang membawa mereka berdua ke momen ini.
Tak lama, Tuan Bramasta menghampiri Raka, menepuk bahunya. “Kamu sudah jadi bagian dari keluarga kami sekarang. Jaga nama baik keluarga ini.”
Raka hanya mengangguk. “Iya, Pak.”
Di sisi lain ruangan, Rianty mencari keberadaan Widuri. Setelah menemukannya, ia berjalan perlahan menghampiri, diikuti oleh ibunya. Semua orang memperhatikan langkahnya, suasana mendadak lebih tenang.
Widuri berdiri, menyambut dengan senyum sopan.
“Assalamu’alaikum,” sapa Rianty pelan.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Widuri lembut.
Beberapa detik hening. Lalu Rianty menarik napas panjang dan berkata, “Mbak Widuri… aku tahu semua ini nggak mudah. Tapi aku datang bukan untuk menang. Aku cuma mau minta izin dan restu. Aku janji, aku akan jaga perasaan Raka, jaga batas, dan nggak akan ganggu kehidupan mbak.”
Widuri menatapnya lama, matanya bergetar, tapi suaranya tetap tenang. “Aku sudah ikhlas, Rianty.
Semua sudah terjadi, dan aku cuma berharap semuanya bisa dijalani dengan baik. Yang penting Raka nggak lupa tanggung jawabnya.”
Rianty mengangguk pelan, lalu spontan memeluk Widuri. Pelukan itu singkat tapi hangat, membuat beberapa tamu terdiam menyaksikan.
Ibu Ratna yang melihat dari jauh hanya mengusap mata, menahan haru.
Setelah itu, Rianty kembali ke pelaminan, sementara Widuri duduk kembali di tempatnya. Arkana menatapnya sambil bertanya, “Ma, bunda tadi peluk mama, kenapa?”
Widuri tersenyum. “Itu tanda baik, sayang. Artinya kita semua harus saling sayang.”
Menjelang sore, acara resepsi perlahan berakhir. Para tamu mulai meninggalkan ruangan.
Raka berdiri di depan pintu ballroom, menyalami tamu terakhir. Dari kejauhan, ia melihat Widuri berjalan keluar bersama Arkana.
Hatinya bergetar, tapi ia hanya bisa memandang punggung mereka menjauh. Dalam hati, ia tahu — semua sudah terlambat.
Kalimat yang berputar di kepalanya hanya satu: nasi sudah jadi bubur.
Widuri sempat menoleh sekali ke arah Raka sebelum melangkah ke mobil. Tatapan singkat itu cukup untuk menegaskan segalanya.
Ia telah ikhlas.
Dan Raka, meski berdiri di tengah kemegahan, tahu bahwa kebahagiaan hari ini tidak sepenuhnya miliknya.
#tbc
---
haiii Haii readers gimana bab ini akhirnya Rianty menikah juga keinginan terkabul walaupun dengan janji itu gimana kelanjutan
jangan lupa like vote komen kirsan nya ya!!! papayyy