NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perang di Bawah Permukaan Air

Asap tebal dari pelabuhan yang terbakar masih menjadi noda hitam di langit senja, saksi bisu kemenangan kecil mereka. Tapi di dalam ruang kerja Pangeran Mahkota, udaranya terasa lebih menyesakkan. Yi Seon mondar-mandir seperti singa dalam sangkar, tinjunya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Dia sudah gila,” desis Yi Seon, suaranya serak karena amarah. “Mengancam persidangan publik? Menggunakan tuduhan korupsi tanah palsu? Dia akan membakar seluruh kekaisaran hanya untuk menyeret namamu ke dalam lumpur!”

Hwa-young duduk tenang di hadapannya, jemarinya terjalin di pangkuan. Dari luar, ia tampak seperti danau yang beku, tetapi di dalam, jantungnya masih berdebar kencang, sisa dari ketegangan saat menenggelamkan kapal-kapal suplai itu. “Justru itu pertanda bagus, Yi Seon,” balasnya, suaranya dipaksakan untuk tetap stabil. “Itu artinya dia panik. Dia kalah dalam perang pajak, dan Sora berhasil menembus blokade Garam di Utara. Dia kehabisan pilihan.”

“Pilihan?! Dia memilih senjata yang paling mematikan, Hwa-young! Fitnah!” Yi Seon berhenti dan menatapnya tajam. “Kau tidak bisa mengabaikan ini.”

“Aku harus,” potong Hwa-young. Ia berdiri, mendekati Yi Seon dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan, memaksanya untuk menatap matanya. “Dengar. Persidangan ini hanya pengalih perhatian. Asap. Dia ingin kita sibuk di Istana, menyewa pengacara, membela diri di hadapan para menteri yang sudah ada di kantongnya. Sementara kita sibuk, kemenangan Garam kita akan sia-sia. Kita tidak akan memberinya kemewahan itu.”

Yi Seon mengerutkan kening, napasnya masih memburu. “Jadi, kita diam saja saat dia membunuh karaktermu di depan umum?”

“Tepat. Biarkan dia berteriak. Kita punya kartu as yang jauh lebih kuat,  Buku Besar Keuangannya. Kita baru akan memainkannya jika dia benar-benar berani menyeret kita ke pengadilan resmi,” jelas Hwa-young. “Fokus kita sekarang adalah logistik. Sora dan Jenderal Kim sudah mempertaruhkan nyawa mereka membawa Garam itu masuk. Mereka butuh markas. Gudang yang aman.”

“Gudang?”

“Ya. Gudang Gerbang Utara terlalu kecil dan terlalu jauh. Aku butuh gudang kedua. Sebuah titik vital yang menyerang langsung ke jantung monopoli Kang,” kata Hwa-young, matanya berkilat. “Sebuah titik penyeberangan di sungai utama.”

“Tidak mungkin,” bantah Yi Seon. “Matriarch Kang menguasai setiap jengkal sungai itu. Armada angkatan lautnya ada di mana-mana!”

“Dia menguasai pelabuhan besar, tapi dia buta terhadap jalur-jalur kecil,” balas Hwa-young, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Ada titik penyeberangan dekat air terjun yang hanya digunakan perahu nelayan. Di sanalah dia menyembunyikan monopoli bijih besinya selama ini. Dan di sana, ada sebuah gudang tua yang sekarang kosong.”

Mata Yi Seon melebar. “Bagaimana kau tahu?”

“Masa depan membisikkannya padaku,” jawab Hwa-young pelan. “Gudang itu hanya dijaga beberapa preman. Aku harus ke sana sekarang juga. Mengamankannya sebelum Matriarch Kang sadar aku telah menemukan lubang di jaringnya.”

“Kau tidak bisa pergi!” desak Yi Seon, cengkeramannya di lengan Hwa-young mengencang. “Dia sudah menempatkan mata-mata di setiap gerbang. Ini jebakan!”

“Karena itulah aku butuh kau di sini,” Hwa-young melepaskan genggamannya dengan lembut. “Buat keributan. Terlihatlah panik karena ancaman persidangan itu. Buat Matriarch Kang berpikir umpannya telah dimakan. Sementara dia menertawakanmu, aku akan menyelinap keluar dengan bantuan Tuan Park.”

Yi Seon menatapnya lama, pergulatan batin terlihat jelas di wajahnya. Akhirnya, ia menghela napas kalah. “Kembalilah sebelum malam. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa menahannya.”

*

Aroma sungai yang lembap dan bau ikan busuk menyambut Hwa-young dan Mae-ri saat mereka tiba di distrik gudang. Langit yang tadinya berwarna jingga kini mulai menggelap, dan bayangan bangunan-bangunan tua yang reyot tampak seperti monster yang mengintai. Gudang yang mereka tuju tersembunyi di balik barisan pohon willow yang meranggas, batunya yang kokoh tampak menantang waktu.

Hwa-young mengetuk pintu belakang dengan ritme sandi Chungmae. Tiga ketukan cepat, dua ketukan lambat.

Pintu berderit terbuka. Wajah Sora yang kelelahan muncul dari celah gelap. Keringat membasahi pelipisnya, tapi matanya menyala dengan api kemenangan.

“Yang Mulia!” bisiknya, langsung membungkuk hormat.

“Sora, kau berhasil!” Hwa-young balas berbisik, rasa lega yang luar biasa membanjirinya. “Di mana Garamnya?”

“Aman. Tujuh puluh persen stok berhasil masuk sebelum Utara ditutup total. Sisanya sudah kusebar ke jaringan pedagang kecil,” lapor Sora dengan bangga seraya membawa mereka masuk. “Besok pagi, harga Garam Keluarga Kang akan anjlok.”

Di dalam gudang yang luas dan berdebu itu, tumpukan karung Garam yang menggunung tampak seperti harta karun.

“Ini ... luar biasa,” puji Hwa-young. Ia menoleh ke Sora. “Tapi aku lihat raut wajahmu. Ada masalah.”

Sora mengangguk, senyum kemenangannya sedikit memudar. “Kita berhasil, tapi kita hampir bangkrut, Yang Mulia. Pembelian Garam ini menguras hampir seluruh dana likuid Chungmae. Kita punya barang, tapi kita tidak punya uang tunai untuk membayar sewa gudang ini bulan depan, apalagi untuk memulai operasi baru.”

Hwa-young terdiam. Inilah kenyataan pahit dari perang mereka. Setiap kemenangan selalu datang dengan harga yang mahal.

“Dan bukan hanya itu,” lanjut Sora. “Gudang ini sangat strategis, tapi juga sangat rentan. Kita butuh penjaga yang loyal, orang-orang yang tidak bisa dibeli oleh Kang. Para pedagang kecil terlalu takut.”

Hwa-young berjalan mengitari tumpukan Garam, otaknya berputar cepat. Mereka punya suplai, mereka punya markas, tapi mereka tidak punya uang dan tidak punya pasukan.

“Ada ratusan tentara bayaran dan perwira rendahan yang dipecat oleh Kang tahun lalu,” ujar Hwa-young tiba-tiba, berhenti di depan sebuah jendela yang menghadap ke sungai yang gelap. “Dia menuduh mereka korup, padahal mereka hanya menolak perintah ilegalnya. Mereka sekarang menganggur, penuh dendam, dan tidak punya loyalitas pada siapa pun.”

Sora tampak ragu. “Mereka tentara bayaran, Yang Mulia. Mereka hanya loyal pada penawar tertinggi.”

“Mereka loyal pada keadilan yang dirampas dari mereka,” koreksi Hwa-young. “Kita tidak hanya akan menawarkan mereka uang. Kita akan menawarkan mereka kesempatan untuk balas dendam dan sebuah tujuan. Jenderal Kim bersimpati pada mereka. Dia bisa menghubungkan kita.”

Mata Sora berbinar. “Itu ... berisiko, tapi brilian.”

“Tapi itu kembali ke masalah awal,” kata Sora, semangatnya kembali redup. “Kita tidak punya uang untuk menggaji mereka.”

Hwa-young tidak menjawab. Ia berjalan ke sudut gudang yang paling gelap, tempat lempengan-lempengan batu di lantai tampak tidak rata. Ia berjongkok, dan dengan bantuan Mae-ri, mulai menyingkirkan salah satu lempengan yang longgar.

“Yang Mulia, apa yang Anda cari?” tanya Sora, bingung.

“Masa laluku,” bisik Hwa-young.

Di bawah batu itu, tersembunyi sebuah kotak kayu kecil yang sudah lapuk. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Hwa-young membukanya. Di dalamnya, di atas kain beludru yang sudah pudar, terbaring beberapa perhiasan peninggalan Ibunda Ratu. Sebuah kalung giok berukiran naga, gelang emas bertatahkan rubi, dan beberapa cincin permata. Harta terakhir yang menghubungkannya dengan ibunya.

“Ini ... ini warisan kerajaan!” seru Sora, napasnya tertahan. “Nilainya bisa mendanai pasukan kecil!”

Hwa-young mengambil kalung giok itu. Permukaannya terasa dingin di kulitnya, membangkitkan kenangan samar tentang pelukan hangat ibunya. Untuk sesaat, ia hanyalah seorang gadis kecil yang merindukan ibunya, bukan seorang putri mahkota yang merencanakan perang.

“Perhiasan ini tidak bisa memberi makan rakyat,” kata Hwa-young. Ia menutup matanya sejenak, mengubur kesedihannya dalam-dalam. Saat ia membukanya lagi, yang tersisa hanyalah tekad yang dingin. “Tapi uang yang dihasilkannya, bisa.”

“Anda akan menjualnya?” tanya Mae-ri, matanya berkaca-kaca.

“Semuanya,” tegas Hwa-young. “Aku harus mengorbankan masa lalu untuk membeli masa depan.”

Ia menyerahkan kotak itu pada Sora. Tangan Sora gemetar saat menerimanya, merasakan beratnya pengorbanan itu.

“Jual ini di pasar gelap perbatasan Timur. Jauh dari mata-mata Kang,” perintah Hwa-young. “Gunakan uangnya untuk merekrut para prajurit itu. Bayar mereka dua kali lipat. Beri mereka alasan untuk bertarung demi Chungmae.”

“Baik, Yang Mulia. Saya akan berangkat besok subuh,” kata Sora, menggenggam kotak itu seolah nyawanya sendiri.

*

Tiga hari kemudian, Hwa-young kembali ke gudang di bawah selubung malam. Di Istana, ia telah memainkan perannya dengan sempurna, berpura-pura jatuh sakit karena stres akibat ancaman persidangan, membuat Matriarch Kang merasa di atas angin.

Suasana gudang telah berubah total. Tumpukan Garam sudah diatur rapi, dan kini ada dua puluh pria berwajah keras yang bergerak tanpa suara di sekitar perimeter. Mereka tidak mengenakan seragam, tetapi postur dan tatapan mata mereka menunjukkan disiplin militer yang kental.

Sora menyambutnya dengan senyum lebar. “Semua berjalan lancar, Yang Mulia. Perhiasan itu terjual dengan harga fantastis. Dana kita aman untuk enam bulan ke depan. Dan mereka…,” Sora menunjuk ke para prajurit, “…mereka lebih dari sekadar tentara bayaran. Mereka siap mati untukmu.”

Seorang pria tegap dengan bekas luka di pelipisnya melangkah maju dan membungkuk dalam-dalam. “Kapten Yoon, siap melayani Anda, Yang Mulia.”

Hwa-young menatap langsung ke matanya yang tajam. “Kapten. Aku tidak membeli kesetiaanmu dengan uang. Aku membelinya dengan janji keadilan. Apakah kau siap untuk mengambilnya kembali dari Keluarga Kang?”

“Kami akan mengambilnya kembali dengan bunga, Yang Mulia,” jawab Kapten Yoon, nadanya sedingin baja. “Keluarga Kang merampas kehormatan kami. Kami akan merampas seluruh rantai pasokan mereka.”

“Bagus,” kata Hwa-young. “Misi pertamamu,  lumpuhkan monopoli bijih besi mereka. Kau tahu rute dan jadwal patroli mereka. Aku ingin kau mencegat kapal mereka dan merebut kargo mereka.”

“Kami sudah memetakannya, Yang Mulia,” kata Kapten Yoon. Ia memberi isyarat, dan salah seorang anak buahnya membentangkan sebuah peta besar di atas peti kayu. “Patroli mereka punya celah tiga puluh menit setiap empat jam. Cukup bagi kita untuk beraksi.”

Hwa-young mencondongkan tubuh ke atas peta, mempelajari garis-garis yang menandai rute sungai. Sebuah rencana mulai terbentuk di benaknya. “Kita akan mulai besok malam. Gunakan perahu nelayan kecil, serang dengan cepat, lalu menghilang ke desa-desa seberang.”

“Ada satu masalah, Yang Mulia,” sela seorang prajurit yang berdiri di samping Kapten Yoon. Wajahnya pucat dan tegang. Ia adalah pengintai yang baru saja kembali dari tepi sungai.

“Apa itu?” tanya Hwa-young, firasat buruk mulai merayapinya.

“Saat kami mengintai tadi ... kami melihat aktivitas yang tidak biasa. Bukan patroli. Kapal-kapal pekerja milik Kang ... mereka melakukan sesuatu di dasar sungai. Tepat di jalur penyeberangan kita.”

Hwa-young dan Sora saling berpandangan. “Melakukan apa?”

Kapten Yoon melangkah maju, rahangnya mengeras. “Para nelayan lokal membicarakannya. Mereka bilang ... Matriarch Kang sedang memasang sesuatu.”

Suasana di dalam gudang mendadak menjadi dingin. Semua mata tertuju pada Kapten Yoon.

“Dia memasang…,” suara Kapten Yoon bergetar karena marah, “…rantai besi raksasa di bawah permukaan air. Sebuah jaring yang akan menghalangi semua perahu yang mencoba menyeberang tanpa izin darinya.”

Hwa-young merasakan darahnya seakan membeku. Rantai besi. Sebuah pertahanan fisik yang brutal dan tak terduga. Matriarch Kang selangkah lebih maju. Dia tahu titik kelemahan ini akan dieksploitasi.

“Kapan ... kapan rantai itu akan terpasang sepenuhnya?” desis Hwa-young. 

Pengintai itu menelan ludah, matanya dipenuhi kepanikan.

“Menurut informasi terakhir, mereka akan menyelesaikan penarikan rantai terakhir ... malam ini, Yang Mulia.” Kapten Yoon menatap Hwa-young, sorot matanya menunjukkan betapa gawatnya situasi mereka. “Dalam satu jam, jalur logistik kita akan tertutup selamanya. Kita ... kita akan terperangkap.”

1
Noveni Lawasti Munte
ahhhh dialognya kek sinetron ikan terbang🙄🙄🙄😄😄😄😄
Putri Haruya: muasek?
total 1 replies
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!