Jodohku Adalah Sahabat Dari Mantan Ku

Tidak lama setelah pertemuan itu, Kak Gio mengajakku ke sebuah warung sederhana di pinggir jalan. Katanya, dia ingin ngopi sebentar, sekalian jajan. Aku mengiyakan saja, walau di dalam hati ada rasa ragu yang sulit dijelaskan. Dia menyalakan motor besarnya—suara mesinnya menggelegar, membuat beberapa burung di pohon terbang kaget. Sedangkan aku, seperti biasa, hanya dengan motor metik kesayanganku yang suaranya kalah jauh.bahkan dari tampilannya juga punya dia lebih gagah dari pada punyaku.

Kami berangkat bersama menuju warung itu. Jalan yang kami lalui sepi, hanya sesekali ada mobil lewat. Angin sore menyapu wajahku, membawa aroma tanah dan daun yang baru saja tersentuh matahari. Aku melirik punggung Kak Gio dari jauh. Punggung yang lebar, tegap, dan terasa penuh rahasia. Entah kenapa setiap kali menatapnya, selalu ada perasaan aneh di dadaku—campuran antara nyaman dan takut.kenapa sikap dia kali ini agak berbeda dari biasanya.

Sesampainya di warung, aku langsung duduk di bangku kayu panjang di sudut dekat jendela. Warung itu sederhana sekali—atapnya dari seng, meja kayunya sudah menghitam dimakan waktu. Kak Gio memesan kopi hitam kesukaannya. “Mbak, kopinya dua ya. Sama gorengan,” katanya dengan suara berat yang entah kenapa terasa hangat di telingaku.

Dia menoleh padaku, “Kamu mau jajan apa? Ada bakwan, pisang goreng, atau tahu isi. Mau aku ambilkan?”

Aku menggeleng pelan. “Nggak usah, Kak. Aku nggak lapar.” sambil senyum manis

Padahal perutku sejak tadi sudah bernyanyi minta diisi. Tapi entah kenapa lidahku keliru. Ada sesuatu yang menahan.dan aku ikutin apa kata hati saja

Kopi yang ka gio pesan sudah datang,Sambil menyeruput kopinya, Kak Gio menatapku lama, seolah ingin membaca pikiranku. Aku menunduk, memainkan sendok di gelas. Di sela-sela suara angin dan percikan minyak goreng, pikiranku melayang pada sesuatu yang belum sempat aku tanyakan—tentang suara anak kecil yang pernah terdengar waktu dia menelponku beberapa hari lalu. Suara tawa kecil yang jelas, lembut, dan penuh kehidupan.

Saat itu aku sempat diam cukup lama. Mungkin dia sudah menikah, pikirku. Mungkin anak itu anaknya. Dan kalau benar begitu, aku harus menahan diri. Aku tidak mau terjebak dalam perasaan yang salah, apalagi kalau ternyata aku hanya “teman cerita” yang datang saat dia bosan.mungkin aku hanya peran pengganti di saat dia bosan,

Aku menatap kopi di depanku. Asapnya berputar pelan, membentuk pola tak beraturan seperti pikiranku sendiri. Kak Gio masih di depan, menatap jalanan kosong. Sesekali ia tersenyum kecil, tapi matanya… matanya seperti menyimpan beban yang tak ingin dia ceritakan.

“Ada yang kamu pikirin, Cila?” tanyanya tiba-tiba dengan nada lembut.

Aku tersentak. “Enggak, Kak. Cuma capek aja.”

Dia mengangguk, tapi aku tahu dia tak percaya.

Waktu berjalan pelan. Suara jangkrik,burung dan angin yang berdesis mulai terdengar di kejauhan. Kopi ka gio sudah hampir habis, tapi tidak ada satu pun kata yang benar-benar keluar. Hanya diam, dan tatapan yang saling mencari arti.

Dalam diam itu, aku sadar—kadang, yang paling menakutkan bukanlah kehilangan seseorang. Tapi mengetahui bahwa seseorang yang kita suka… mungkin tak pernah benar-benar bisa kita miliki.

Karena pengalaman yang sering terjadi pada aku, setiap berhubungan dengan laki2 . Laki2 gak pernah serius sama hubungan yang di jalani.