Ilya Perry-Ivanova menikahi Nicholas Duncan hanya untuk satu tujuan: melarikan diri dari sangkar emas neneknya yang posesif.
Tapi Nicholas Duncan, sang pecinta kebebasan sejati, membenci setiap detik dari pernikahan itu.
Tujuannya Nick hanya satu: melepaskan diri dari belenggu pernikahannya, yang mana berarti Ilya. Istrinya yang paling indah dan jelita.
Ketika satu pihak berlari ke dalam ikatan itu, dan pihak lain mati-matian berlari keluar, mampukah mereka selamat dari perang rumah tangga yang mereka ciptakan sendiri?
×wasabitjcc
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wasabitjcc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Peka
Untuk sementara waktu, Ilya memaksakan dirinya untuk tidak memikirkan apa pun tentang keambiguan Nick tadi pagi dan segala misteri yang melingkupi pria itu. Ilya memutuskan, karena hari masih panjang, ia lebih baik menikmati momen liburannya itu dengan nyaman. Ia sebaiknya tidak memikirkan apa arti dari setiap mikroekspresi yang terlukis di wajah seorang Nicholas Duncan.
Tujuan kedua setelah turun dari Halaekalā adalah ke pantai Wailea. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih satu jam setengah. Turun dari puncak Halaekalā memakan waktu hampir satu jam-an, dan sisanya adalah perjalanan berlika-liku ke Wailea—tergantung kemacetan jalan.
Di Wailea, mengejutkannya, Nick menyewa resor lagi untuk ditinggali sehari. Ilya sempat memandang Nick dengan heran, tapi Nick menjelaskan kalau pulang-pergi hari itu akan melelahkan.
"Seharusnya kita menginap di sini saja," kata Ilya, begitu ia dan Nick mengikuti seorang pelayan yang membawakan tas mereka dan memimpin jalan di depan. Pantas saja Nick menyuruhnya mengemas banyak pakaian.
"Di sini ramai," sahut Nick. "Aku tidak suka keramaian."
"Oh, jadi kenapa kita ke sini?"
"Itu yang kamu mau, kan?" Nick merotasikan mata, ia memandang Ilya seolah-olah mempertanyakan Ilya dan ingatan pendeknya. Padahal, Nick masih ingat jelas wish-list panjang yang perempuan itu pamerkan di depan matanya. Nick masih ingat setiap detailnya. Torehan dan warna spidolnya.
Coretan bunga dua kali. Spidol merah. Berjalan di pesisir pantai Wailea. Spidol ungu. Pulpen glitter kuning menggaris bawahi nama tempat Wailea. Lalu coretan kupu-kupu. Spidol biru.
"Aku memang mau kesini, tapi..., ummm, berarti kamu sudah mengabulkan dua keinginanku dalam satu hari. Apa itu artinya enam hari ke depan aku akan melakukan apa pun yang kamu ingin lakukan?" Apa Nick berniat menghabiskan sisa liburan mereka dengan tiduran di resor?
"Apakah itu pertanyaan atau pernyataan?" Tanya Nick balik. "Kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri."
Sudut bibir Ilya tertarik turun. "Awww, itu akan sangat buruk."
"Buruk?"
"Ya..., karena kamu tidak menyenangkan!" Ilya tidak berniat bermulut manis pada pria itu. Tidak ketika mereka jauh dari rumah, dan tidak ketika liburannya sedang dipertaruhkan.
"Kamu tidak tahu sedikit pun tentangku, Princess. Aku mungkin akan memberikanmu pengalaman liburan paling berkesan."
"Aku bisa tiduran di rumah, kalau itu yang kamu maksudkan dengan berkesan."
"Kamu meremehkanku," kekeh Nick. Ucapan Ilya begitu lucu baginya, begitu meremehkannya.
Namun, alih-alih mengoreksi sudut pandang perempuan itu, Nick memilih menaruh perhatiannya pada tempat menginap sementara mereka yang berasitektur lebih mewah dari resor pertama mereka. Mewah, berlebihan, dan tidak berkesan.
Nick lebih menyukai penginapan mereka di Kapalua yang lebih menonjolkan kenyamanan daripada kemewahan.
"Pilih kamar yang kamu inginkan," ujar Nick. "Aku akan berganti pakaian dan lima belas menit mendatang, aku mau kamu sudah di ruang tamu, kita akan pergi sarapan sebelum aku melempar kamu ke laut."
"What?" Mata Ilya melotot. Melemparnya ke laut adalah satu hal yang tidak perlu Ilya pertanyakan, Nick tidak akan melemparnya ke mana pun, tidak setelah perbincangan mereka di Halaekalā, tapi lima belas menit? Perempuan mana yang bisa bersiap-siap dalam lima belas menit?
"Tidak ada komplain, Princess. Pergi ke kamarmu dan gunakan sunscreen-mu. Aku tidak mau kamu kembali ke Miami dengan kanker kulit."
"Nice joke, Nicky." Ilya mencebik.
"Aku tidak bercanda. Aku serius. Kamu sangat pucat, kamu butuh perlindungan ekstra." Biasanya, orang yang kekurangan melanin lah yang memiliki kecenderungan terkena kanker kulit. Karena itu, Nick mau Ilya melindungi dirinya dari matahari, mengingat dia seputih kapas.
Ilya ingin melawan ucapan Nick, tapi karena waktu terus bergulir, dan mendebat pria itu berarti membuang-buang waktu, Ilya memutuskan mengambil ranselnya yang bertengger di sofa dan menuju satu kamar yang berada di lantai dua. Berseberangan dari kamarnya, ada kamar kosong yang kemudian diisi oleh Nick.
...----------------...
Ketika turun dari Halaekalā, Nick sempat memberikan seiris sandwich pada Ilya. Sebagai pengganjal perut sebelum mereka tiba di Wailea. Berkat sandwich itu, Ilya sempat berpikir untuk menolak ajakan sarapan Nick. Ilya berpikir dia baik-baik saja sekarang dan mau bermain air duluan.
Namun, karena Nick memaksanya dengan tatapan tajam yang tidak menerima penolakan, Ilya berakhir mengikuti Nick singgah ke sebuah restoran kelas atas dengan penampilan kontemporer, mewah dan cenderung santai. Ada banyak pengunjung di restoran itu, setiap meja hampir terisi penuh, dan Ilya bisa melihat Nick berdecak tak senang saat melangkah melewati keramaian itu.
"Sudah kubilang, kita tidak perlu sarapan." Ilya mengikuti langkah Nick dan membiarkan pria itu membawanya menuju meja yang berada di luar ruangan. Pemandangan laut terbentang di depan mata, membuat Ilya bernapas gembira hanya dengan menatap kemilau birunya.
Ilya tidak sabar menceburkan tubuhnya ke air itu.
"Kamu butuh sarapan," tekan Nick, matanya kembali mengedar ke sekeliling restoran itu dan menemukan banyak orang—wanita—menatapnya balik dalam kekaguman. Klise.
Nick lalu melihat beberapa pria melirik Ilya, keingintahuan disertai kerlingan godaan bertebaran. Nick menjadi ingin mencongkel mata orang-orang itu.
Kalau bukan karena Nick masih dilingkupi rasa bersalah karena sudah pernah dengan sengaja menyiksa Ilya saat memilih gaun pengantin, membuat perempuan itu kelaparan dan hampir kehilangan kesadaran, Nick tidak akan seketat ini dalam mengurus makan Ilya. Nick tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Seorang gentleman tidak mengulang kesalahan yang sama.
"Tempat ini penuh influencer," kata Ilya, tubuhnya condong pada Nick, setengah berbisik. "Aku sudah menemukan kurang lebih lima influencer di sini."
Untungnya, pikir Nick, Ilya tidak memperhatikan pria-pria kelaparan di restoran itu. Pria-pria yang lapar akan tikaman di leher karena sudah berani memindai istrinya seperti singa kelaparan. Ugh! Waktu terlalu pagi untuk pertumpahan darah!
"Bagaimana kamu tahu?" Nick merespon Ilya sembari menatap helai hitam Ilya yang tertiup angin laut, dan berkibar hingga menempel di pipi dan leher pucatnya. Seperti tinta pada kanvas.
"Aku mengikuti mereka di sosial media," sahut Ilya, ada kegirangan di suaranya. "Apa menurutmu akan norak kalau aku mendatangi mereka dan meminta tanda tangan?"
"Aku tidak berpikir itu norak, tapi aku akan merasa itu..., mengganggu?"
Keantusiasan yang merekah indah di wajah Ilya, sedikitnya surut akibat jawaban Nick yang terlalu rasional dan memang..., benar. Hanya karena seseorang bekerja sebagai selebriti, bukan berarti mereka adalah properti publik yang bisa diganggu kapan pun di mana pun.
Membubarkan lamunan Ilya, Nick menarik fokus Ilya kembali pada sepiring makanan yang baru saja ditata pelayan di atas meja. "Makan, Ilya. Kamu mau bermain di pantai, kan?"
Ilya mengangguk dan menatap sepiring Coconut Macademia Nut Pancakes yang tersaji du depannya. Sebuah menu legendaris dan wajib dicoba di Wailea. Sebuah pancake yang disiram oleh sirup kelapa dan ditaburi kacang makademia. Senyum Ilya merekah lebar saat makanan itu berlabuh di lidahnya.
Segala hal tentang menginginkan tanda tangan para influencer menghilang di benaknya, tergantikan oleh kelezatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ilya menikmati sarapannya dengan ria, sementara Nick duduk di depannya, menyantap makanan dengan menu yang sama, tanpa merasakan ketakjuban.
Nick menatap pisau di tangannya dan ketika hujam perhatian terus jatuh kepada Ilya dari pria yang berperawakan seperti penyanyi rok tahun 80-an, Nick tidak tahan lagi dan berdiri.
"Kamu mau kemana?" tanya Ilya.
"Toilet," kata Nick, lalu tersenyum tipis. Senyum yang kemudian pudar begitu ia berpaling dari Ilya.
Sepuluh menit kemudian, ketika Ilya selesai dengan sarapannya, Nick kembali ke meja mereka dengan buku-buku jari yang sedikit kaku. Nick meregangkan jari-jarinya dan menatap Ilya yang kini memandangnya dengan sepasang iris hijau yang membola polos.
"Ada apa?" tanya Nick, suasana hatinya menjadi sedikit lebih baik—lebih ringan—setelah apa yang ia lakukan tadi. Setelah sedikit pemanasan, pukulan, dan peringatan.
Ilya menatap Nick lama, ragu harus bertanya. Namun, karena Nick terlihat santai, tidak terlihat seperti akan memarahinya, Ilya memutuskan menyuarakan tanya yang mengisi benaknya saat Nick pergi meninggalkannya tadi.
"Kamu tidak membunuhnya, kan?"
"Apa?"
"Pria tadi," ucap Ilya, "Pria yang kamu tatap dengan garang, kamu tidak membunuhnya, kan?"
Nick tidak menyangka Ilya akan peka pada tindakannya, tapi tidak pula ia bereaksi keras atas pengetahuan Ilya. Nick hanya menyandarkan punggungnya di bangku, seringai tipis bermain di parasnya yang kerap kaku. "Sayangnya tidak."
Ya, sayangnya tidak.
Jiwa kemanusiaannya menghentikannya. Menahannya.
...----------------...