Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 – Jejak dalam Bayangan
Pagi di Aethra tampak biasa. Salju turun lembut, anak-anak berlarian di alun-alun, dan para pedagang membuka kios mereka dengan wajah cerah. Namun di balik ketenangan itu, bisikan ketakutan menyebar cepat. Semalam, seorang warga ditemukan tanpa jiwa—seperti tubuhnya dikosongkan.
Kael, Elira, Lyra, dan Soren dipanggil oleh kapten penjaga ke markas kota. Ruangannya dingin meski api perapian menyala, dan udara di dalam dipenuhi aroma logam dan perkamen tua.
“Korban ditemukan di distrik timur,” ujar kapten, wajahnya muram. “Tidak ada tanda perlawanan. Hanya… tubuh yang kering, seperti diserap dari dalam.”
Elira mengernyit, jari-jarinya menyusuri halaman bukunya. “Itu ciri khas makhluk bayangan tingkat tinggi. Bukan Wraith biasa, tapi sesuatu yang lebih cerdas… mungkin Vargrith.”
Lyra terkejut. “Vargrith? Itu legenda! Makhluk bayangan yang bisa menyamar sebagai manusia?”
Elira mengangguk pelan. “Dan jika benar ada di Aethra… maka seluruh kota ini dalam bahaya.”
Kael menggenggam pedangnya di pinggang. Hatinya berdegup kencang. Bisikan samar di dalam dirinya seolah mengonfirmasi. “Ya… dia ada di sini. Sang pemburu bayangan. Kau bisa mencium jejaknya sama sepertiku, bukan?”
Ia mengabaikan suara itu dan berkata tegas, “Kalau begitu, kita harus menemukan jejaknya sebelum ada korban lagi.”
---
Mereka memulai penyelidikan di distrik timur. Jalanan sempit dipenuhi rumah-rumah kayu beratap es. Udara di sini lebih dingin, dan banyak jendela tertutup rapat, seakan warga takut menatap keluar.
Soren berjalan paling depan, matanya tajam mengawasi sekitar. “Aku tidak suka tempat ini. Terlalu sepi.”
Lyra berdoa pelan, mengangkat tongkatnya untuk memunculkan cahaya hangat. “Kalau memang ada makhluk bayangan yang menyamar… bagaimana kita bisa membedakannya?”
Elira menunjuk lantai bersalju, di mana jejak kaki samar terlihat. “Dengan ini. Vargrith bisa berubah rupa, tapi mereka tidak bisa menyembunyikan aura dingin dan bekas langkah bayangan mereka.”
Jejak itu menuntun mereka ke sebuah rumah tua di ujung jalan. Pintu kayunya retak, jendela-jendela tertutup rapat, dan hawa gelap merambat dari celah dinding.
Kael menghunus pedang, aurora samar bergetar di bilahnya. “Dia ada di sini.”
---
Saat mereka masuk, ruangan itu gelap dan berbau busuk. Meja terbalik, kursi hancur, dan dinding penuh coretan aneh yang berpendar merah.
Soren menggeram. “Rasanya seperti gua, bukan rumah manusia.”
Tiba-tiba, bayangan bergerak di sudut. Dari kegelapan, muncul sosok pria tua dengan wajah pucat. Matanya kosong, tubuhnya gemetar.
“Tol—tolong…” bisiknya.
Lyra maju, hendak menolong, tapi Kael menahan lengannya. Ada sesuatu yang salah.
Sekejap kemudian, tubuh pria tua itu berubah. Kulitnya retak, matanya menyala merah, dan bayangan hitam meledak keluar dari tubuhnya. Dari balik ilusi manusia, muncul makhluk tinggi dengan tubuh kurus, cakar panjang, dan mulut penuh gigi hitam.
“Vargrith,” desis Elira.
Makhluk itu mengeluarkan suara tawa rendah. “Kalian… pembawa cahaya. Akhirnya datang juga. Tuan kami menunggumu, Kael.”
Kael merasakan jantungnya membeku. Suara itu terlalu akrab dengan bisikan yang selalu ia dengar.
Makhluk itu menyerang. Cakar gelapnya melesat, memecahkan meja kayu. Soren menahan dengan kapaknya, tapi dorongan kekuatan itu membuatnya terhempas ke dinding.
Lyra mengucapkan mantra pelindung, cahaya emas melingkupi ruangan, tapi Vargrith menembusnya seolah itu hanya tirai tipis.
Kael maju, pedangnya menyala dengan kekuatan Aurora’s Heart. Ia menebas, cahaya emas membelah bayangan. Vargrith berteriak, tubuhnya terbelah sebagian, tapi tidak hancur.
Elira berteriak, “Kael! Kau harus menebas inti bayangannya—dadanya, tepat di mana cahaya dan kegelapan bertemu!”
Kael mengangguk, lalu menyiapkan serangan terakhir. Tapi sebelum ia bisa bergerak, Vargrith menatapnya dengan senyum menyeramkan.
“Bayanganmu… lebih dalam daripada milikku. Kau akan jadi tuan yang lebih baik bagi kami daripada Erebos sendiri.”
Kata-kata itu menusuk Kael. Tangannya bergetar, pedang di genggamannya hampir terlepas.
“Lihat? Bahkan musuhmu mengakuinya. Kau ditakdirkan untuk ini, Kael,” bisik suara itu dalam kepalanya.
Kael menutup mata sejenak, lalu berteriak keras, menghempaskan segala keraguan. Ia menerjang maju, pedangnya menusuk tepat ke dada Vargrith. Cahaya aurora meledak, membakar bayangan itu hingga lenyap menjadi abu.
---
Hening menyelimuti ruangan. Hanya napas berat mereka yang terdengar.
Lyra menatap Kael dengan cemas. “Kau… baik-baik saja?”
Kael mengangguk pelan, meski di dalam dadanya ia tahu sesuatu berubah. Kata-kata Vargrith masih terngiang-ngiang.
“Bayanganmu lebih dalam daripada milikku.”
Dan itu adalah kebenaran yang tak bisa ia tolak sepenuhnya.
---