Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Pagi itu, halaman belakang rumah panggung Pak Merta dipenuhi aroma tanah basah dan semerbak bunga liar yang tumbuh liar di tepi pagar bambu. Di tengah halaman, Lira berdiri dengan tubuh sedikit gemetar. Ia sudah berganti pakaian sesuai perintah Pak Merta—sebuah kebaya putih sederhana yang melekat pas di tubuhnya, dipadukan dengan kain batik yang dililit rapi di pinggang. Rambutnya dibiarkan terurai, masih lembap sisa keramas semalam.
Lingkaran garam, kemenyan, dan dedaunan kering mengelilinginya. Asap tipis mengepul, seolah menutupnya dalam sebuah ruang sakral.
“Tarik napasmu perlahan, Lira,” suara Pak Merta tenang namun tegas. Ia berdiri di luar lingkaran dengan tongkat kayu berbalut kain putih. “Jangan melawan cahaya itu. Biarkan ia mengalir, biarkan kau yang memegang kendalinya.”
Lira menelan ludah, jemarinya meremas kain di dadanya. Denyutan cahaya kembali terasa, menusuk dari dalam hingga membuat tubuhnya limbung. “Ahh…” erangnya lirih, mata terpejam menahan sakit. Samar-samar, cahaya putih berkilau dari balik dadanya, menyinari kebaya yang dikenakannya.
“Lira!” Yash yang berdiri di sisi lingkaran langsung melangkah maju, wajahnya tegang. Tapi langkahnya segera terhenti ketika tongkat Pak Merta terangkat.
“Jangan ganggu dia, Yash. Kalau kau terus melindunginya, dia tidak akan pernah belajar.”
“Aku tidak bisa hanya berdiri melihatnya kesakitan!” bentak Yash, jemarinya mengepal, urat di lehernya menegang.
Sementara itu, Lira berusaha menarik napas seperti yang diajarkan. Tubuhnya masih bergetar, keringat mulai membasahi pelipisnya. “Tenang… aku harus tenang…” bisiknya pada diri sendiri. Cahaya itu kembali berdenyut, lebih kuat, menembus tipis kain kebaya hingga seakan tubuhnya dipenuhi retakan cahaya.
“Bagus, Lira,” kata Pak Merta, matanya tajam memperhatikan. “Bayangkan cahaya itu bukan musuh. Ia adalah bagian dari jiwamu. Rangkul, jangan tolak keberadaannya.”
Lira menggigit bibir bawah, menurunkan tangan yang tadi mencengkeram dadanya. Perlahan, pancaran cahaya di dadanya tak lagi meledak liar, tapi berkumpul, mengikuti irama detak jantungnya. Untuk sesaat, wajahnya terlihat lebih tenang, meski matanya masih terpejam.
Namun mendadak, cahaya itu pecah seperti kilatan petir. Sinar putih melesat ke arah pagar bambu, menghantamnya hingga patah dan terbakar di ujungnya. Lira terhuyung, tubuhnya hampir roboh.
“Lira!” kali ini Yash tak lagi peduli. Ia menerobos masuk ke lingkaran, menangkap tubuh Lira tepat sebelum jatuh ke tanah. Gadis itu terengah-engah di pelukannya, wajahnya pucat pasi, napasnya berat.
Pak Merta menghela napas panjang, menatap mereka berdua. “Begitulah… jalannya masih panjang. Tapi ia sudah berhasil menahan setengah dari amukan cahayanya.”
Yash merapatkan pelukannya, mendekap Lira erat seakan takut ia hancur di pelukannya. Dadanya berdegup keras, matanya tajam namun penuh resah. Kalau setiap kali latihan seperti ini… apa aku bisa benar-benar membiarkannya sendirian menanggung beban ini?
...
Malam itu rumah panggung Pak Merta tenggelam dalam keheningan. Hanya suara serangga hutan dan desir angin melewati celah-celah kayu yang menemani. Lira terbaring lemah di dipan kayu kamar tamu, tubuhnya masih gemetar tipis setelah latihan keras sore tadi. Kebaya putih sudah diganti dengan kain tipis yang lebih nyaman, namun wajahnya masih pucat, matanya setengah terpejam.
Pintu kamar berderit pelan. Yash masuk, membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air jahe. Langkahnya tidak tergesa, seakan takut mengganggu tidur Lira. Ia duduk di tepi dipan, menatap wajah Lira dengan sorot yang jarang terlihat darinya—bukan obsesi, bukan amarah, melainkan kekhawatiran yang jujur.
“Kau harus makan sedikit,” ucap Yash lembut. Nada suaranya berbeda dari biasanya, lebih rendah, lebih menenangkan. Ia menyendok bubur, meniupnya sebentar, lalu menyodorkannya ke bibir Lira. “Aku tahu kau terbiasa kuat sendiri… tapi kali ini, biarkan aku yang menjagamu.”
Bibir Lira terkatup rapat, niat menolak sudah di ujung lidah. Namun tatapan Yash yang dalam, tulus, membuat pertahanannya runtuh perlahan. Ia akhirnya membuka mulut, menerima suapan pertama dengan enggan.
“Bagus,” bisik Yash, tersenyum samar. Ia terus menyuapkan bubur dengan sabar, tanpa terburu-buru, bahkan sesekali menyeka sudut bibir Lira dengan kain kecil.
Lira menatapnya diam-diam dari sela kelopak matanya. Ada yang berbeda… tangan yang biasanya mencengkeram penuh kuasa kini bergerak hati-hati, seakan takut menyakitinya. Tatapan yang biasanya menusuk dengan obsesi kini berubah menjadi tatapan seorang pria yang benar-benar takut kehilangan.
Selesai makan, Yash meletakkan mangkuk, lalu mengambil kain basah dari wadah kecil. Dengan hati-hati ia mengompres kening Lira, usapannya lembut di pelipis, menenangkan denyut sakit di kepala. “Tidurlah… tubuhmu terlalu dipaksa hari ini.”
Lira menghela napas panjang, matanya menatap Yash yang begitu dekat. “Yash…” panggilnya lirih.
Yash menoleh, menatapnya penuh perhatian. “Hm?”
“Terima kasih.” Suara Lira nyaris berbisik, namun tulus.
Sejenak Yash terdiam, lalu senyumnya muncul tipis, hangat. Ia meraih jemari Lira, menggenggamnya erat tapi lembut. “Aku berterima kasih padamu… karena masih bertahan.”
Untuk pertama kalinya, Lira tidak menarik tangannya. Ia membiarkan genggaman itu bertahan, dan di dalam hatinya, sesuatu yang selama ini kaku perlahan mulai melunak.
Malam kian larut. Cahaya lampu minyak temaram bergetar di dinding kamar kayu, menebar bayangan yang lembut. Lira masih berbaring, jemarinya tetap dalam genggaman Yash. Suasana hening, hanya suara jangkrik dari luar jendela yang menemani.
Tiba-tiba, suara Yash pecah di antara keheningan. Nada suaranya rendah, namun sarat dengan sesuatu yang lebih dalam.
“Lira…” ia menunduk, menatap jari-jemari mereka yang saling terkait. “Kau tahu… aku dulu hanyalah makhluk yang mengerikan. Hidupku hanya diisi dendam. Setiap hari, yang kupikirkan hanya cara membalas rasa sakit yang kuterima.”
Lira menoleh perlahan, matanya mencari wajah Yash. Ia bisa merasakan getaran jujur dalam suaranya.
“Tapi… setelah aku mengenal Arum,” lanjut Yash, suaranya merendah, seperti sedang mengenang sesuatu yang rapuh. “Dia mengubahku. Dia yang mengajariku memaafkan, bahkan orang-orang yang sudah menghancurkanku. Dia pula yang mengajarkanku ikhlas… dan mengenalkanku pada cinta.”
Ada jeda. Yash menarik napas dalam-dalam, sorot matanya berkilat samar.
“Tapi Arum… hanya memberiku rasa cinta, tanpa mengajariku bagaimana cara mencintai. Yang kutahu waktu itu hanya satu: melindungi… dan memilikinya. Aku pikir itu sudah cukup.”
Lira terdiam, dadanya bergemuruh. Kata-kata Yash terasa jujur, bahkan rentan, sesuatu yang jarang ia bayangkan keluar dari mulut makhluk sekeras Yash.
“Dan ketika aku kehilangan dia…” suara Yash serak, tatapannya kini jatuh ke mata Lira, menelanjangi perasaannya yang paling dalam, “…aku berjanji pada diriku sendiri. Jika aku menemukan cinta lagi… aku tidak akan pernah melepaskannya. Apa pun yang terjadi.”
Jantung Lira berdegup kencang, pipinya memanas. Ada dorongan untuk menjauh, tapi jemarinya tak sanggup melepaskan genggaman Yash. Ia menelan ludah, lalu berbisik, “Yash… tapi mencintai bukan berarti memiliki sepenuhnya. Cinta juga… membebaskan.”
Tatapan Yash melembut, meski ada keteguhan di sana. Ia menggeleng pelan.
“Mungkin begitu menurutmu… tapi bagiku, Lira, kau adalah alasan aku bertahan di dunia ini. Tanpamu… aku kembali hanyalah makhluk kosong.”
Lira terdiam, hatinya bergetar di antara takut dan haru. Untuk pertama kali, ia melihat Yash bukan sebagai sosok yang menakutkan, melainkan seorang pria yang sedang berjuang memahami cinta—dengan caranya sendiri yang masih kaku, tapi tulus.
Yash terdiam sejenak, genggamannya pada jemari Lira semakin erat. Tatapannya dalam, nyaris membuat Lira tak sanggup berpaling.
“Sepanjang hidupku…” suaranya pecah lirih, “…aku hanya menunggumu bereinkarnasi. Zaman berganti zaman, aku hanya terus menunggu. Setiap kali aku menemukan wajah yang sama… aku berharap itu dirimu. Tapi selalu saja tak ada cahaya dalam dirinya.”
Ia menarik napas panjang, menundukkan wajahnya. Ada luka yang begitu tua di sorot matanya, nyaris abadi.
“Kau tahu bagaimana rasanya, Lira? Menyaksikan wajahmu terlahir kembali, namun bukan kau yang ku tunggu… hanya bayangan kosong. Aku mendekat, aku mencoba… tapi tak pernah kutemukan jiwa yang sama. Aku… hampir gila karenanya.”
Lira tercekat, bibirnya sedikit bergetar. Tubuhnya ingin menjauh, tapi hatinya justru terikat pada tatapan Yash yang begitu hancur. “Yash…” bisiknya, ragu. “Kau… menungguku selama itu?”
Yash mengangguk pelan. Jemarinya naik menyentuh pipi Lira, namun gerakannya penuh gentar, seakan takut disentuhannya akan menakutkan.
“Dan ketika akhirnya aku menemukanmu… dengan cahaya itu… dengan jiwa yang sama… aku bersumpah pada diriku sendiri, Lira. Kali ini… aku tidak akan melepaskanmu lagi.”
Jantung Lira berdentum keras, dadanya terasa sesak. Antara terhanyut oleh pengakuan itu… dan takut pada obsesi yang begitu dalam.
Lira perlahan bangkit dari rebahannya, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia menunduk, meraih tangan Yash yang besar dan kokoh, lalu membawanya ke pangkuannya. Dengan kedua tangannya yang mungil, ia menggenggam erat jemari Yash.
“Yash…” suaranya lembut, nyaris bergetar. “Kau pasti… sangat kesepian selama ini.”
Mata Yash membelalak tipis, seakan tidak percaya mendengar kalimat itu keluar dari bibir Lira. Tangannya yang dingin sedikit gemetar dalam genggaman hangat Lira.
“Maaf… aku tidak mengingatmu,” lanjut Lira dengan tatapan tulus, menembus obsesi yang selama ini menyelimuti Yash. “Tapi… aku akan mengajarkanmu bagaimana cara mencintai, dan bagaimana menerima cinta. Kau tidak harus lagi menunggu dalam kesepian itu sendirian.”
Suasana kamar mendadak hening. Hanya suara nafas keduanya yang terdengar—berat, terhubung. Yash menunduk, bahunya bergetar halus, seakan seluruh kekuatan yang ia banggakan runtuh di hadapan kalimat sederhana itu.
Perlahan, ia menutup mata, membiarkan kepalanya condong sedikit mendekat. Jemarinya balik menggenggam tangan Lira dengan erat, kali ini bukan lagi sebagai penguasa yang mendominasi… melainkan sebagai seseorang yang nyaris rapuh, yang akhirnya menemukan tempat untuk pulang.